Allah Mengetahui Apa yang Nyata dan Tersembunyi, Kajian Al-Baqarah 33

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA, Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَّكُمْ إِنِّيْ أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ
وَ الْأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ (٣٣)

Artinya: “Berkata Dia (Allah): Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya! Maka tatkala telah diberi­tahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia : Bukankah telah Aku katakan kepada kamu, bahwa sesungguh­nya Aku lebih mengetahui rahasia semua langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembuyikan” . (Q.S. Al-Baqarah [2]: 33)

Ini merupakan lanjutan ayat sebelumnya yang menyebutkan penciptaan manusia oleh Allah, untuk menjadi khalifah di muka bumi.

Maka ayat 33 ini menunjukkan tentang keistimewaan kedudukan mulia manusia itu di sisi Allah.

Ayat ini juga merupakan bukti bahwa manusia mendapat ajaran secara langsung dari Allah. Yaitu, ketika manusia yang pertama diciptakan, Nabi Adam Alaihis Salam, diminta untuk memberitahu nama-nama benda. Allah mengajari Adam nama segala macam benda, baik dzat, sifat, maupun af’al (perbuatan-Nya).

Sebagaimana dijelaskan sahabat Ibnu Abbas, yaitu nama segala benda yang besar maupun yang kecil.

Kemudian Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para , “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda tersebut, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Penafsiran Ibnu Abbas melanjutkan, bahwa Allah berfirman, yang artinya: “Sebutkanlah nama-nama benda yang telah Aku perlihatkan kepada kalian, hai para malaikat yang mempertanyakan: `Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?’ Yaitu dari kalangan selain kami, Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu?’ Jika ucapan kalian itu benar bahwa jika Aku menciptakan khalifah di muka bumi ini selain dari golongan kalian ini, maka ia dan semua keturunannya akan durhaka kepada-Ku, membuat kerusakan, dan menumpahkan darah. Dan jika Aku menjadikan kalian sebagai khalifah di muka bumi, maka kalian akan senantiasa mentaati-Ku, mengikuti semua perintah-Ku, serta menyucikan diri-Ku. Maka jika kalian tidak mengetahui nama-nama benda yang telah Aku perlihatkan kepada kalian itu, padahal kalian telah menyaksikannya, berarti kalian lebih tidak mengetahui akan sesuatu yang belum ada dari apa-apa yang nantinya bakal terjadi”.

Lalu Allah melanjutkan firman-Nya, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah itu diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”‘

Zaid bin Aslam menambahkan, bahwa Adam menjelaskan beberapa nama itu, seperti: “Engkau ini Jibril, engkau Mikail, engkau Israfil, dan seluruh nama-nama, sampai pada nama burung gagak.”

Mujahid menambahkan,bahkan nama-nama burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu.

Setelah keutamaan Adam atas malaikat ini terbukti dengan menyebutkan segala nama yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya, maka Allah berfirman kepada para malaikat: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”

Berdasarkan ayat ini, segala yang telah diciptakan oleh Allah, hendaklah semua makhluk termasuk malaikat dan manusia menerimanya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Karena  Allah mengetahui segala apa yang tampak maupun yang disembunyikan.

Apabila malaikat tidak setuju ketika  Allah hendak menciptakan Adam sebagai khalifah, ia langsung ditegur oleh Allah dengan mudahnya. Hal ini sekaligus menjadi satu dalil bahwasanya kita sebagai manusia tidak boleh bertanya mengapa Allah menjadikan sesuatu atau apa sebab Allah menghalalkan dan mengharamkan sesuatu karena itu semua adalah hak wewenang dan murni pengetahuan Allah.

Jangan kita merasa diri kita mengetahui lebih daripada Allah. Yang menjadikan manusia ialah Allah dan begitu juga apa yang memberi manfaat maupun mudarat adalah kesemuanya diketahui oleh Allah.

Hendaknya kita berserah diri kepada Allah setelah kita mengetahui bahwa tiap-tiap sesuatu termasuk yang tersembunyi. Begitu pula yang tampak secara lahir sebagaimana sifat malaikat berserah diri kepada Allah dan itulah sifat yang mulia dan terpuji.

Begitulah, seperti diuraikan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, bahwa Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu tentang suatu kejadian di dalam alam ghaib, dengan kata yang dapat kita pahamkan. Namun akal kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.

Walaupun seperti dikemukakan ulama kontemporer, bisa juga dipakai penafsiran-­penafsiran yang masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.

Jadi, seperti ayat tersebut tentu tidak sebagai yang kita pikirkan. Pertemuan Allah dengan Malaikat-Nya itu tidak terjadi di satu tempat seperti kita bayangkan. Karena kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap­-hadapan duduk bermuka-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, malaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.

Di sinlah keimanan dalam jiwa menentukan. Sama seprti pada kampung akhirat, walaupun mata belum pernah melihat, raga juga belum pernah ke sana. Namun jiwa imanlah yang mementapkan pecaya dan yakin. Jadi, ini soal keyakinan bukan pemikiran atau nafsu filsafat.

Karena itu, betapapun modernnya filsafat itu, maka yang lebih menenteramkan adalah iman, dan ke sanalah tujuan kepercayaan itu. Demikian majunya dalam alam filsafat sekalpun. Namun jika berkenaan dengan soal-soal ghaib, maka orang beriman akan tenteram dengan pendiriannya, mengimani apa-apa yang dari Allah itu. bukan memfilsafatinya, yang bisa jadi kemudian akan menimbulkan keraguan.

Imam Al-Ghazali sampa memberikan contoh.bahwa api itu wajib menghangusi, dan air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jika ditanyakan tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tidak hangus dibakar api, maka jawabnya adalah bahwa hal itu bukanlah tugas akal filsafat. Itu adalah tempatnya iman.
Bahkan, pelopor filsafat modernpun, Emmanuel Kant, dalam hal kepercayaan dia pernah berkata, “Betapapun kemajuan saya dalam berpikir (befilsafat), tapi saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya untuk percaya”.

Wallaahu a’lam bishshowwab. (RS2/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.