Oleh: Chamid Riyadi, Wartawan Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Waktu adalah salah satu nikmat tertinggi yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada semua manusia. Sudah sepatutnya kita memanfaatkannya dengan seefektif dan seefisien mungkin untuk menjalankan tugas sebagai khalifah-Nya di bumi ini.
Karena begitu pentingnya waktu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah bersumpah pada permulaan berbagai surat dalam Al-Qur’an yang turun di Makkah dengan berbagai macam bagian dari waktu. Misalnya bersumpah demi waktu malam (wallail), demi waktu siang (wannahaar), demi waktu fajar (walfajr), demi waktu dhuha (wadhdhuha), dan demi masa (wal-‘ashr).
Salah satunya di dalam Surat Al-Lail ayat 1-2, Allah berfirman yang artinya, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang.”
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Menurut pengertian yang populer di kalangan para mufassirin dan juga pendapat kaum muslimin secara umum, jika Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya, maka hal itu mengandung maksud agar hamba-hamba-Nya (umat Islam) memperhatikan kepada segala apa yang diperintah dan apa yang dilarang-Nya serta agar hal tersebut mengingatkan mereka akan besarnya manfaat yang terkandung didalamnya.
Namun fakta yang terjadi, masih banyak diantara kita yang tak sadar lebih sering menyepelekan waktu daripada memanfaatkannya. Padahal waktu adalah nikmat yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepada kita secara cuma-cuma.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Ashr (103) : 1-3, yang artinya, “Demi masa (1). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3)”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian ketika ia tidak bisa memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara maskimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka yang mampu memberi manfaat bagi orang banyak dengan melakukan aktivitas amal shalih.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Disiplin Bangsa Jepang
Bangsa Jepang saja, yang notabene sebagian besar bukan Muslim, tetapi karena melaksanakan nilai-nilai Islam, yakni optimal mengamalkan ayat tentang pentingnya waktu. Maka menjadi bansga yang maju.
Berikut berbagai budaya disiplin bangsa Jepang yang cukup terkenal itu:
Pertama, Prinsip Bushido. Prinsip tentang semangat kerja keras yang diwariskan secara turun-menurun. Semangat ini melahirkan proses belajar yang tak kenal lelah. Awalnya semangat ini dipelajari Jepang dari barat. Tapi kini baratlah yang terpukau dan harus belajar dari Jepang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Kedua, Prinsip Disiplin Samurai. Prinsip yang mengajarkan tidak mudah menyerah. Para samurai akan melakukan harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pedang ke perut jika kalah bertarung. Hal ini memperlihatkan usaha mereka untuk menebus harga diri yang hilang akibat kalah perang.
Kini, semangat samurai masih tertanam kuat dalam sanubari bangsa Jepang, namun digunakan untuk membangun ekonomi, menjaga harga diri, dan kehormatan bangsa secara teguh. Semangat ini telah melahirkan bangsa Jepang menjadi bangsa yang tak mudah menyerah karena sumber daya alamnya yang minim juga tak menyerah pada berbagai bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
Ketiga, Konsep Budaya Keishan. Perubahan secara berkesinambungan dalam budaya kerja. Caranya harus selalu kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep Keishan menuntut kerajinan, kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul kemauan untuk selalu belajar dari orang lain.
Keempat, Prinsip Kai Zen. Mendorong bangsa Jepang memiliki komitmen tinggi pada pekerjaan. Setiap pekerjaan perlu dilaksanakan dan diselesaikan sesuai jadwal agar tidak menimbulkan pemborosan. Jika tak mengikuti jadwal, maka penyelesaian pekerjaan akan lambat dan menimbulkan kerugian.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Oleh karena itu, perusahaan di Jepang menerapkan peraturan “tepat waktu”. Inilah inti prinsip Kai Zen: optimal biaya dan waktu dalam menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
Kelima, Perusahaan Untung Besar, Saya Juga Akan Untung. Disiplin dan semangat kerja inilah yang membentuk sikap dan mental kerja yang positif. Disiplin juga menjadikan para pekerja patuh dan loyal pada perusahaan atau tempat mereka bekerja. Mereka mau melakukan apa saja demi keberhasilan perusahaan tempat mereka bekerja.
Bahkan, mereka sanggup bekerja lembur tanpa mengharapkan bayaran tambahan. Karena mereka beranggapan jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan kompensasi setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka sudah tertanam keinginan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Gagal melakukan tugas sama halnya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga diri mereka merasa hilang.
Keenam, Malu, Kalau Pulang Lebih Cepat. Mereka yang pulang lebih cepat dianggap sebagai pekerja yang tidak penting dan tidak produktif. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja. Kecintaan orang Jepang pada pekerjaannya, membuat mereka fokus pada pekerjaannya. Tanpa ada pengawas pun mereka bekerja dengan baik, penuh dedikasi, dan disiplin.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Ketujuh, Kerja Ya kerja, Istirahat Betul-betul Istirahat. Ketika jam 8 pagi masuk kerja, tak ada lagi obrolan dan canda, mereka langsung bekerja di depan komputer masing-masing atau sibuk langsung di depan pekerjaannya masing-masing. Baru ketika tiba saatnya hiru gohan no jikan (makan siang) mereka hentikan aktivitas masing-masing dan bercanda ria dengan teman-teman sambil menuju shokudo (kantin).
Kedelapan, Disiplin Soal Kecil-kecil. Sampah yang jatuh di area kerja, harus dipungut dengan tangan kosong (sude), tidak boleh memakai alat. Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, Anda harus segera pungut, tidak peduli siapa yang membuangnya, Anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya.
Dalam bukunya Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia”, ia mengatakan bahwa bangsa ini memiliki jiwa segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bisa jadi, hal inilah yang menjadi akar permasalahan atas makin keropos dan terkikisnya budaya malu bangsa kita saat ini.
Kesembilan, Tidur 30 Menit, di Waktu Jam Istirahat. 60 menit jam makan siang, rata-rata dibagi 30 menit untuk urusan makan siang, 30 menit untuk tidur sejenak, guna memulihkan energi lagi. Mereka akan sisihkan waktu untuk tidur sambil merebahkan kepala di meja kerja masing-masing. Re-charge energi.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Berkat budaya kerjanya itu maka mereka bisa menjadi bangsa yang tingkat ekonominya serta bidang teknologinya sejajar, bahkan dalam beberapa bidang lebih maju dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.
Orang Jepang terkenal dengan etos kerjanya yang luar biasa. Etos kerja ini memiliki peranan penting atas kebangkitan ekonomi jepang, terutama setelah kekalahan Jepang di perang dunia kedua. Dulu orang Jepang bukanlah orang yang memiliki etos kerja tinggi. Mereka tidak disiplin dan lebih senang bersantai dan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.
Sebagai seorang Muslim tentu kita harus lebih pandai mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i.
Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Dalam sejarah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. dan orang-orang Muslim generasi pertama, terungkap bahwa mereka sangat memperhatikan waktu, sehingga mereka mampu menghasilkan sejumlah ilmu yang bermanfaat dan sebuah peradaban yang mengakar kokoh dengan panji yang menjulang tinggi. Jika kita sadar bahwa pentingya manajemen waktu, maka tentu kita akan berbuat untuk dunia ini seolah-olah akan hidup abadi, dan berbuat untuk akhirat seolah-olah akan mati esok hari.
Semoga melalui artikel ini kita semua (khususnya Penulis) bisa lebih semangat dalam melaksanakan kewajiban yang diamanahkan, baik kewajiban terhadap yang menciptakan kita, kewajiban di sekitar lingkungan keluarga serta kewajiban kita di sebuah perusahaan atau tempat kita bekerja.
“Hiduplah sesukamu tapi engkau pasti mati, berbuatlah sesukamu tapi pasti engkau akan dibalas (sesuai perbuatanmu itu).” (Al-Hadits).
Tentu akan menjadi sangat hebat bagi Muslim, jika benar-benar mengoptimalkan waktu, bukan semata dalam urusan yang disandarkan pada ekenomi dan teknologi, seperti bangsa Jepang. Namun, karena umat Muslim langsung bersumberkan dan bersandarkan pada Al-Quran, maka jauh lebih luar biasa. Karena Al-Quran merupakan pedoman dan sumber kehidupan bagi manusia yang mutlak kebenarannya, terjamin hasilnya, abadi serta bernilai dunia dan akhirat.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Itulah seperti yang disimpulkan Raehanul Bahraen dalam media Muslimafiyah, mereka bangsa Jepang dan orang-orang yang disiplin waktu menjadi maju dan unggul karena mengamalkan ajaran Islam dalam hal menghargai dan mengoptimalkan karunia waktu. Dari berbagai sumber. (T/P010/R02/P4).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah