BMKG: Waspadai Fenomena La Nina Triple Dip

Jakarta, MINA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika () mengatakan,  “triple-dip” 2020-2023 (tiga tahun beruntun) menjadi ancaman bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam keterangan resminya yang dikutip MINA pada Ahad (16/10), fenomena ini sudah dimulai pada pertengahan 2020 dan diprediksi akan tetap berlangsung hingga akhir 2022 dan kemungkinan berlanjut hingga awal 2023 mendatang, sehingga dinamai “Triple Dip”.

“Triple Dip La Nina adalah fenomena unik. Masyarakat dan Pemerintah pusat hingga daerah perlu mewaspadai bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, bandang, angin kencang, cuaca ekstrem, dan tanah longsor,” tuturnya.

Fenomena tersebut sebelumnya pernah terjadi dari 1973 -1975 serta 1998-2001. Fenomena ini akan berpengaruh terhadap pola cuaca – iklim di Indonesia. Salah satunya menyebabkan sebagian wilayah Indonesia mengalami musim hujan lebih awal.

La Nina sendiri adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di bawah kondisi normalnya.

Di sisi lain, pendinginan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tersebut diikuti oleh menghangatnya suhu permukaan laut di perairan Indonesia sehingga menggiatkan pertumbuhan awan-awan hujan dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Dipaparkan Dwikorita, pola cuaca La Nina adalah salah satu dari tiga fase El Nino Southern Oscillation (ENSO). Ini mengacu pada suhu permukaan laut dan arah angin di Pasifik dan dapat beralih antara fase hangat yang disebut El Nino, fase yang lebih dingin dengan sebutan La Nina dan fase netral.

Fenomena La Nina membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat di Indonesia, meski sebenarnya dampak La Nina tidak pernah sama karena dipengaruhi faktor lainnya.

“Yang perlu juga diwaspadai adalah penyakit yang biasa muncul di musim hujan, mulai dari diare, demam berdarah, Leptospirosis, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit, dan lain sebagainya. Semua harus bersiap,” imbuhnya.

Sementara itu, dalam kesempatan tersebut Dwikorita juga menyampaikan bahwa BMKG berkolaborasi dengan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) guna memperkuat sistem peringatan dini di Indonesia mengantisipasi dahsyatnya arus perubahan iklim.

Kerja sama tersebut dikoordinasikan oleh Kapus Diklat BMKG Dr. Nelly Florida Riama. Kolaborasi yang dilakukan berupa observasi dan analisis guna peningkatan akurasi informasi cuaca dan iklim di Indonesia.

Selain itu juga digelar workshop, seminar, simposium, dan berbagai pelatihan lain guna pengembangan sumber daya manusia (SDM) BMKG. Dwikorita mengatakan, kerja sama BMKG dengan NOAA telah berlangsung cukup lama, dan telah diwujudkan dalam berbagai macam program bersama.

Salah satunya yang merupakan program rutin tahunan yakni dengan melakukan pelayaran ke Samudra Hindia untuk melakukan perawatan Buoy, serta melakukan pengukuran variabel laut hingga kedalaman 5.000 meter.
Hasil dari pengukuran ini kemudian dianalisis bersama dan disajikan dalam tulisan ilmiah yang dipresentasikan dalam seminar internasional.

“BMKG dan NOAA juga melaksanakan kegiatan Indonesia Prima (Indonesia Program Initiative on Maritime Observation and Analysis) yakni ekspedisi yang bertujuan untuk meningkatkan kerapatan observasi cuaca dan prediksi cuaca kelautan di Samudra Hindia,” jelasnya.

Kerja sama strategis ini, lanjut Dwikorita, adalah bagian dari upaya BMKG untuk berdiri sejajar dengan pusat iklim global lainnya. Apalagi, letak Indonesia yang sangat strategis sehingga dapat memainkan peran penting dalam pemantauan cuaca dan iklim global.(R/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.