Gerakan Pemanenan Air Hujan Didorong Sebagai Sumber Air Alternatif

Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Dr. Hayati Sari Hasibuan, S.T., M.T..(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Dr. Hayati Sari Hasibuan, S.T., M.T. mendorong gerakan pengelolaan dan pemanfaatan melalui sebagai sumber air alternatif.

Menurutnya, pemakaian air yang tidak terkontrol akan mengancam keberlanjutan air, sehingga perlu dilakukan konservasi air. Salah satu metode konservasi air dalam rumah tangga di lingkungan permukiman adalah memanen , yaitu mengumpulkan, menampung dan menyimpan air hujan.

“Upaya pengelolaan air lainnya yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan air hujan yang biasanya terbuang sia-sia. Melalui sistem Pemanenan Air Hujan yang melibatkan penampungan dan beberapa tahapan filterisasi, air hujan dapat digunakan sebagai air baku dengan atau tanpa pengolahan lebih lanjut, karena relatif lebih bersih,” ujar Dr. Hayati dalam Diskusi pada Peluncuran Program Water Stewardship di Lingkungan Masjid yang digelar di Masjid Istiqlal Jakarta, Rabu (2/8).

Dia menyampaikan, air hujan yang dipanen dapat digunakan untuk multi tujuan seperti menyiram tanaman, mencuci, mandi dan bahkan dapat digunakan untuk memasak jika kualitas air tersebut memenuhi standar kesehatan.

Apabila memanen air hujan dipraktikkan secara berkesinambungan, lanjut Hayati, maka akan dapat membantu memelihara keberlanjutan air dan keberlanjutan lingkungan sebagai pendukung perikehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.

Berkolaborasi dengan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Unilever Indonesia mengimplementasikan pilot project program Water Stewardship pada empat masjid di wilayah Jadebek, yaitu Masjid Istiqlal, Masjid Arief Rahman Hakim – UI Salemba, Masjid Ukhuwah Islamiyah – UI Depok, dan Masjid Agung At-Tin.

Hayati mendukung program tersebut yang memberikan manfaat lebih luas dengan turut mengupayakan konservasi air dan peningkatan akses air bersih di level komunitas, seperti di lingkungan pesantren dan masjid.

Masjid menjadi sasaran yang tepat karena merupakan salah satu fasilitas umum yang banyak dikunjungi dan menggunakan air bersih dalam jumlah yang cukup tinggi. Selain itu, masjid memiliki potensi yang sangat besar untuk memulai, meneladani, dan menyebarluaskan edukasi kebiasaan baik dalam menghemat dan memanfaatkan air bersih ke berbagai lapisan masyarakat.

Menurut Hayati, pesantren dan masjid dapat menjadi pusat komunal untuk implementasi penatagunaan air dalam bentuk upaya efisiensi dan daur ulang air.

Krisis air bersih mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap air tanah, bahkan di Indonesia angkanya mencapai hingga 80%. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena eksploitasi air tanah yang berlebihan dapat berujung pada beragam masalah yang tak kalah pelik, sehingga dibutuhkan kolaborasi multi pihak untuk menerapkan sistem pengelolaan air yang lebih bijak untuk menjaga keberlanjutan pasokan air bersih di permukaan sekaligus mengurangi ketergantungan pada air tanah.

Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional RI menunjukkan bahwa capaian sanitasi aman di Indonesia – yang salah satunya dinilai dari kualitas air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari – masih relatif rendah.

Kurangnya ketersediaan air bersih di permukaan menjadikan air tanah sebagai penopang kebutuhan air bersih bagi masyarakat, dimana 80% kebutuhan air bersih khususnya di wilayah perkotaan, pusat industri dan permukiman padat berasal dari air tanah.(L/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.