IISD Prihatin Rokok Tingwe Makin Marak

Jakarta, MINA – Indonesia Institute for Social Development () menyatakan keprihatinan atas fenomena merokok dengan melinting rokok sendiri, atau lebih populer sebagai Tingwe atau nglinthing dhewe (melinting sendiri-bahasa Jawa), semakin marak belakangan ini.

Program Director IISD Ahmad Fanani menilai dalam beberapa tahun terakhir, tren konsumsi produk tembakau telah mengalami perubahan, termasuk pergeseran dalam preferensi konsumen terhadap berbagai jenis produk tembakau. Selain rokok elektrik, salah satu tren yang patut diperhatikan adalah pertumbuhan konsumsi tembakau linting ini.

“Jika dulu tingwe lekat dengan image rokok orang tua, sekarang mulai ada upaya mendorong Tingwe jadi semacam pop culture. Tentunya ini harus jadi perhatian kita untuk memperkuat perlunya regulasi yang ketat pada peredaran ini,” kata Ahmad dalam keterangan tertulisnya kepada pers di Jakarta, Selasa (21/11).

Tembakau linting adalah produk tembakau yang dijual dalam bentuk tembakau iris dan kemudian dilinting menjadi rokok oleh konsumen sendiri. Secara resmi, dalam peraturan perundang-undangan produk tembakau tingwe ini disebut dengan istilah Tembakau Iris (TIS).

Dianggap konsumsinya terlalu kecil, oleh regulasi produk ini diatur berbeda dengan produk rokok jadi. Sebagai contoh, TIS dikecualikan dari kewajiban untuk uji kandungan, pencantuman kadar nikotin dan TAR, pun demikian dalam kebijakan fiskal, tarif cukai TIS relatif lebih kecil dari cukai rokok jadi. Bahkan TIS dibebaskan dari cukai jika diperjualbelikan eceran dengan kemasan tradisional.

Ahmad memaparkan hasil investigasi yang dilakukan IISD pada 40 toko tembakau iris di Tangsel dan sekitarnya melalui wawancara tatap muka pada 10-15 Oktober 2023, tren penggemar tembakau linting atau tingwe saat ini mulai bergeser ke anak muda.

“Banyak kalangan anak muda yang mulai beralih ke rokok tingwe karena dirasa lebih hemat dibandingkan membeli rokok keluaran pabrikan seperti SKT maupun SKM. Produk TIS ini juga beredar dengan beragam varian rasa, dari imitasi rokok pabrikan hingga berbagai rasa. Sementara gerai-gerai tembakau menjamur di pinggir-pinggir jalan, mempermudah akses pembelian,” papar Ahmad.

Dia mencatat faktor pendorong adanya tekanan ekonomi mendorong akibat pandemi Covid-19, konsumen mencari produk alternatif yang lebih terjangkau, ditambah cukai terus naik, harga rokok makin tinggi. Selain itu, harga TIS jauh di bawah rokok pabrik. 100 gr TIS dengan harga 15-20 ribu bisa dilinting menjadi 100 batang

Menurut Ahmad, di tengah kehilangan pendapatan dan pekerjaan akibat pandemi Covid-19, banyak orang mencari cara lebih ekonomis untuk memenuhi hasrat akan candu rokok.

“Dari segi ekonomi, tidak mengherankan jika semakin banyak perokok yang beralih ke tingwe karena biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok pabrik. Terlebih lagi, dalam situasi krisis pandemi yang berlarut-larut, tingwe menjadi pilihan yang masuk akal secara finansial,” ungkapnya.

Ahmad juga mengungkapkan, perokok tingwe kini menjadi salah satu segmen pasar yang paling menjanjikan karena tembakau iris (TIS) masih terjangkau harganya. Ditambah varian rasa dan aroma yang ditawarkan sangat beragam. Dari imitasi varian rokok pabrikan hingga pusparagam buahbuahan, semua tersedia. Hal ini tentu menjadi daya pikat tersendiri selain variable harga.

“Tak hanya orang tua, kelompok usia yang lebih muda, bahkan kalangan mahasiswa dan pelajar turut menjadi konsumennya. Gerai-gerai tembakau juga mulai bermunculan di perkotaan, mempermudah akses konsumen untuk mendapatkannya. Gejala yang mulanya dipicu tekanan ekonomi sebagai siasat untuk menghemat uang, tingwe lambat laun berkembang menjadi tren gaya hidup baru,” katanya.

Ahamad mengungkapkan, Indonesia Tobacco (ITIC) merupakan produsen yang fokus pada produk Tembakau Iris pertama yang go publik dan listing di BEJ. Dalam kurun limatahun, penjualan produk Tembakau Iris dari ITIC tumbuh mengesankan lebih dua kali lipat.

Menyikapi hal tersebut, belum lama ini, IISD menggelar lokakarya guna menginisiasi forum curah pikir untuk memahami secara utuh dan lebih baik tentang gejala pertumbuhan tingwe ini, sekaligus sebagai upaya awal untuk mengantisipasi potensi downshifting konsumsi rokok ke tingwe dan untuk mengatasi dampak-dampak yang mungkin muncul.

Penasehat IISD Dr. Sudibyo Markus menyampaikan, tiga serangan dari industri rokok yakni secara konvensional masih maraknya produk rokok pabrikan. Kedua, meningkatnya rokok elektrik, di mana penggunaan rokok elektrik meningkat signifikan pada masa dan pasca pandemi Covid-19. Sebagian besar penggunanya adalah kaum muda.

Ketiga, gencarnya narasi publik soal tembakau yang dirancang industri tembakau yang dipublikasikan ke media.

Indonesia, jelasnya, juga merupakan negara yang masih menyiarkan iklan rokok di media massa, termasuk elektronik, media digital, dan luar ruang, sementara lebih dari 140 negara sudah melarang iklan rokok dalam semua bentuk. Harga jual rokok di Indonesia pun lebih murah bila dibandingkan dengan negara tetangga.

“Industri rokok terus melancarkan kebohongan publiknya. Perusahaan tembakau terlibat dalam konspirasi untuk menyesatkan masyarakat tentang bahaya merokok,” tegasnya.

Perketat Regulasi

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti, mengatakan, pihaknya sedang menyusun regulasi lebih baik agar pengendalian rokok ke depan bisa diupayakan, sehingga permasalahan terkait rokok ini bisa diselesaikan.

“Pemerintah mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dengan peraturan pemerintah. Ketentuan lebih lanjut untuk pengamanan zat adiktif ini berupa rokok elektrik juga diatur dengan peraturna pemerintah,” ujarnya.

Menurutnya, dampak rokok tingwe ini dari sisi kesehatan sudah jelas sama seperti produk rokok yang lain. Kios dan toko tembakau yang bebas dibuka di mana saja memberikan kesan bahwa merokok adalah sesuatu yang normal, padahal sebenarnya ini adalah produk yang harus kita kendalikan.

“Perlu adanya pengetatan pengaturan dari sisi perdagangan dan industri untuk bisa mengatur peredarannya, karena ini terkait perizinan berusaha supaya rokok serta kadar nikotin dan tart yang terkandung tidak jelas, sehingga akan menyebabkan permasalahan kesehatan ini semakin meningkat di masyarakat,” ujarnya.

Eva juga menambahkan, upaya-upaya harus dilakukan sehingga dampak rokok tingwe ini dari sisi kesehatan tidak memperberat permasalahan akibat rokok ini, selain dari produk rokok yang dijual di pabrikan dan rokok elektronik.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI, Benget Saragih, menanggapi fenomena rokok tingwe atau TIS yang makin marak ini, dengan menekankan izin pengedaran rokok tingwe itu sendiri harus jelas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 pada Pasal 9 berbunyi Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Meski dikecualikan dari kewajiban untuk uji kandungan, rokok tingwe/TIS ini wajib mencantumkan Peringatan Kesehatan Bergambar (PHW) pada Kemasan,” ujar Benget.

Koordinator Kelompok Substansi Pengawasan Informasi Produk Tembakau BPOM RI, Daryani, tindak lanjut dari pengawasan terhadap produk rokok tingwe ini masih belum optimal.

“Sebagian besar produsen rokok tingwe ini badan usahanya kategori UMKM sehingga terkendala pada korespondensi alamat produsen tidak ditemukan,” ungkapnya.

Ridhwan Fauzi, National Professional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia, menyampaikan terkait tingwe belum ada pengaturan secara spesifik. namun jika berbicara rekomendasi WHO jika produk itu mengandung tembakau apapun itu, maka harus tunduk pada peraturan produk tembakau yang sudah berlaku.

“Jadi harus ada PHW nya, harus dilarang iklannya, dibatasi penjualannya, harus mengekuti standar peraturan produk tembakau konvensional dalam hal ini rokok rokok cigarette,” katanya.

Dia mendorong penguatan kebijakan pengendalian tembakau yang mengatur terkait rokok tingwe ini guna menurunkan prevalensi perokok, khususnya mencegah dan melindungi generasi muda untuk menjadi perokok pemula.

Evi Rachmawati, jurnalis senior Kompas menyampaikan, media mempunyai peran penting untuk kembali menggugah kesadaran semua pihak terkait kebijakan pengendalian tembakau, termasuk pada rokok tingwe.

“Media masih sangat minim menyuarakan soal fenomena rokok tingwe ini. Pemberitaan soal bahayanya dampak merokok dan fenomena rokok tingwe ini perlu digencarkan,” pungkasnya.

Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa di Indonesia dari 2011 hingga 2021. Tidak hanya itu, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan dari tahun 2013 hingga 2018.

Indonesia memiliki tingkat konsumsi rokok yang tertinggi di dunia. Penting untuk mencatat bahwa rokok telah terbukti sebagai penyebab utama dari berbagai penyakit mematikan seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.