Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Surga di bawah telapak kaki ibu, al-jannatu tahta aqdamil ummahati. Begitulah Rasulullah saw. mengajarkan kepada umatnya akan kemuliaan kaum ibu. Wanita dalam Islam mendapat tempat yang mulia, tidak seperti dituduhkan oleh sementara masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan wanita sebagai ‘kelas bawah’ dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Kedudukan mulia kaum wanita itu ditegaskan dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagaimana dikisahkan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَةٍ قَالَ أُمُّكَ قاَلَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw.. Kemudian bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk dihormati?”, Nabi menjawab:”Ibumu”, kemudian siapa Wahai Nabi?, “Ibumu” jawab Nabi lagi, “kemudian siapa lagi Wahai Nabi?:” Ibumu” kemudian siapa Wahai Nabi? “bapakmu”, jawab Nabi kemudian.” (HR. Bukhari Muslim) Islam memberikan hak wanita yang sama dengan laki-laki untuk memberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa dan negara. Ini ditegaskan dalam al-Mukmin ayat 40
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فؤلئك يدخلون الجنة يرزقون فيها بغير حساب
“Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS. al-Mukmin: 40)
Betapa Islam telah meruntuhkan batasan antara laki-laki dan perempuan apalagi dalam hal amal peribadatan. Tidak ada pilih kasih, dalam Islam antara laki-laki dan perempuan. Allah swt akan selalu merespon doa’-do’a dan permohonan kaum muslim baik lelaki maupun perempuan. semua doa itu akan didengarkan oleh-Nya. Begitulah janji-Nya dalam Ali Imran ayat 195.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakkan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195)
Demikianlah Islam memposisikan perempuan, bahkan Rasulullah saw mengajarkan bahwa manusia baik lelaki maupun perempuan semuanya setara laksana gigi sisir yang rata.
النَّاسُ سَوَاسِيَةٌ كَأَسْنَانِِ الْمُشْطِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو الزُّبَيْرِ
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
“Manusia itu sama dan setara laksana gigi sisir.” (HR. Ahmad dan Abu al-Zubair)
Ayat dan hadis di atas adalah bukti pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum dan anugerah kemuliaan dari Allah Swt. Persoalan yang muncul kemudian bahwa sekalipun Islam telah mendasari penyadaran integratif tentang wanita tidak berbeda dalam beberapa hal dengan laki-laki, pada kenyataannya prinsip-prinsip Islam tentang wanita tersebut telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang dianugerahkan Allah Swt. kepada wanita.
Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilineal dan kenyataan pada tingkat perbandingan proporsional antara laki-laki dan wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena kondisi, sosial dan budaya) memiliki kelebihan atas wanita. Yang pada gilirannya telah menafikan atau mengurangi prinsip-prinsip mulia tentang wanita.
Oleh karena itulah maka di tengah-tengah arus perubahan yang menggejala di berbagai belahan dunia yang pada prinsipnya menuntut kembali hak-hak sebenarnya dari wanita, maka umat Islam perlu meninjau dan mengkaji ulang anggapan-anggapan yang merendahkan wanita karena distorsi budaya, berdasarkan prinsip-prinsip kemuliaan Islam atas wanita.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Harus diakui bahwa memang ada perbedaan fungsi laki-laki yang disebabkan oleh perbedaan kodrati/fitri. Sementara di luar itu ada peran-peran non kodrati dalam kehidupan bermasyarakat yang masing-masing (laki-laki dan perempuan) harus memikul tanggungjawab bersama dan harus dilaksanakan dengan saling mendukung satu sama lain. Sebagaimana firman Allah Swt.:
الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
“Dan orang-orang laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar…” (QS. al-Taubah : 71) Peran domestik wanita yang hal itu merupakan kesejatian kodrat wanita seperti; sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka, hamil, melahirkan, menyusui, dan fungsi-lain dalam keluarga yang memang tidak mungkin digantikan oleh laki-laki, Firman Allah Swt.
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاء إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاء الذُّكُورَ
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. As-Syura :49)
Mengatasi itu semua, Islam pun telah mengatur hak dan kewajiban wanita dalam hidup berkeluarga yang harus diterima dan dipatuhi oleh masing-masing (suami istri).Akan tetapi ada peran publik wanita, di mana wanita sebagai anggota masyarakat, wanita sebagai warga negara yang mempunyai hak bernegara dan berpolitik, telah menuntut wanita harus melakukan peran sosialnya yang lebih tegas, transparan dan terlindungi.
Dalam konteks peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Maka dengan demikian, kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Partisipasi wanita dalam sektor non kodrati merupakan wujud tanggungjawab kita bersama dalam ikut memprakarsai transformasi kultur, kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan wanita Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Jangan malah sebaliknya, menjadikan perempuan salah satu kambing hitam kemajuan dalam kehidupan kita. sesungguhnya hanya orang yang hinalah yang menghinakan perempuan dan mereka yang memuliakan perempuan pastilah orang yang mulia, wallahua’lam.(RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata