Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kawanan Belalang dan Perubahan Iklim

Rudi Hendrik - Jumat, 7 Februari 2020 - 05:48 WIB

Jumat, 7 Februari 2020 - 05:48 WIB

8 Views

Wawancara dengan Richard Munang, pakar Program Lingkungan PBB untuk iklim dan Afrika

Negara-negara Afrika Timur telah berjuang dengan gerombolan belalang gurun sejak awal 2020, dalam apa yang disebut sebagai wabah terburuk yang pernah terjadi di kawasan itu dalam beberapa dekade.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperingatkan bahwa meningkatnya jumlah belalang gurun menunjukkan ancaman yang sangat mengkhawatirkan bagi ketahanan pangan dan mata pencaharian di Tanduk Afrika.

Menurut pembaruan FAO baru-baru ini tentang naiknya belalang gurun, situasi saat ini mungkin semakin diperburuk oleh pembiakan baru yang akan menghasilkan lebih banyak infestasi belalang di Ethiopia, Kenya dan Somalia dan mungkin negara lain.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Program Lingkungan PBB (UNEP) mewawancarai Richard Munang, pakar UNEP di bidang iklim dan Afrika, tentang hubungan antara faktor-faktor lingkungan, perubahan iklim dan keadaan darurat belalang.

Berikut transkip lengkap wawancara tersebut:

UNEP: Apa hubungan antara belalang dan perubahan iklim?

Richard Munang: Selama periode tenang – dikenal sebagai resesi – belalang gurun biasanya terbatas pada gurun semi-arid dan arid Afrika, Timur Dekat dan Asia Barat Daya yang menerima hujan kurang dari 200 mm setiap tahunnya. Dalam kondisi normal, jumlah belalang berkurang, baik oleh kematian alami atau melalui migrasi.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Namun, lima tahun terakhir lebih panas daripada yang lain sejak revolusi industri dan sejak 2009. Penelitian telah mengaitkan iklim yang lebih panas dengan kawanan belalang yang lebih merusak, membuat Afrika terpengaruh secara tidak proporsional, 20 negara dengan pemanasan tercepat di dunia berada di Afrika. Cuaca basah juga mendukung multiplikasi belalang. Secara luas, curah hujan di atas rata-rata yang melanda Tanduk Afrika dari Oktober hingga Desember 2019 mencapai 400 persen di atas jumlah curah hujan normal. Hujan abnormal ini disebabkan oleh dipol Samudera Hindia, sebuah fenomena yang ditekankan oleh perubahan iklim.

UNEP: Bagaimana negara dan individu bisa lebih siap?

Richard Munang: Sementara perubahan iklim adalah fenomena global, Afrika menonjol karena kerentanannya yang terutama didorong oleh rendahnya tingkat perkembangan sosial ekonomi. Orang yang hidup dalam kemiskinan menghadapi kerentanan yang semakin besar terhadap dampak perubahan iklim karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk segera pulih dari dampaknya. Dalam hal ini, belalang gurun merusak tanaman di ladang sebelum panen, memusnahkan pakan ternak dan satwa liar.

Penerapan solusi aksi iklim, seperti desentralisasi pengering surya ke pelaku rantai nilai agro dapat memastikan bahwa mereka dapat memperoleh hasil pangan hingga 30 kali lebih banyak dengan mampu mempertahankan hasil panen dan menjual selama offseason atau memberi mereka fleksibilitas untuk mengkompensasi peristiwa yang tidak terduga seperti kawanan belalang ini. Hal ini juga dapat menciptakan peluang perusahaan untuk rantai nilai tambahan untuk membuat pengering surya ini. Intervensi seperti ini sangat penting untuk meningkatkan ketahanan iklim bagi beberapa komunitas yang paling rentan di seluruh benua.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

UNEP: Bagaimana cara belalang dikontrol?

Richard Munang: Mengontrol gerombolan belalang gurun terutama dengan menggunakan bahan kimia organofosfat oleh penyemprot yang dipasang di kendaraan dan udara. Pada tingkat lebih rendah oleh ransel dan penyemprot genggam.

Penelitian ekstensif sedang berlangsung mengenai kontrol biologis dan cara lain dari kontrol non-kimia dengan fokus saat ini pada patogen dan pengatur pertumbuhan serangga. Kontrol oleh predator alami dan parasit sejauh ini terbatas karena belalang dapat dengan cepat menjauh dari kebanyakan musuh alami. Sementara orang dan burung sering memakan belalang, cara ini tidak cukup signifikan mengurangi tingkat populasi (belalang) di wilayah yang luas.

UNEP: Apa peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pengendalian belalang?

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Richard Munang: Tanggapan PBB terhadap kontrol serangan belalang bersifat multi-lembaga. Di saat sektor langsung yang berisiko adalah ketahanan pangan, perubahan iklim memainkan peran yang memperburuk.

Salah satu peran UNEP adalah untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan terbaru tentang tren iklim yang muncul untuk menginformasikan kebijakan lintas sektor dan memastikan ketahanan dibangun di sektor terkait.

Peran Organisasi Meteorologi Dunia adalah untuk meramalkan perubahan cuaca yang lebih cepat yang dapat memperburuk serangan belalang.

Sementara bentuk kontrol tradisional yang dipertimbangkan adalah penggunaan pestisida, dampak bahan kimia ini terhadap lingkungan dan ekosistem penting lainnya adalah kunci bagi ketahanan pangan — seperti lebah dan serangga lain, yang tidak hanya menyerbuki hingga 70 persen dari makanan kita, tetapi juga mungkin berdampak pada kesehatan manusia — tidak dapat diabaikan. Peran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah untuk mengklasifikasikan risiko potensial dari berbagai agen kimia untuk memungkinkan pemerintah berinvestasi dalam yang paling aman.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

Salah satu mandat dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) adalah untuk memberikan informasi tentang situasi umum belalang dan untuk memberikan peringatan dan perkiraan tepat waktu kepada negara-negara yang terancam invasi. Organisasi ini mengoperasikan layanan informasi tentang belalang gurun yang tersentralisasi. Selain itu, memberdayakan masyarakat dengan teknologi untuk nilai tambah seperti pengering surya — yang juga merupakan solusi tindakan iklim — memungkinkan mereka mempertahankan hasil panennya. Ini memungkinkan panen awal pada awal serangan untuk memastikan mereka menghemat sebagian besar hasil panennya. (AT/RI-1/P1)

Sumber: UNEP

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Wawancara
Asia
Tausiyah