Kesaksian Mahasiswa JMI Saat Pasukan India Menyerang

Oleh: Nehal Ahmed & Grace Raju, mahasiswa JMI New Delhi

Pada 15 Desember, berhari-hari setelah India mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial, yang menurut para kritikus adalah “anti-Muslim”, sebuah protes besar meletus di kampus Universitas Jamia Millia Islamia (JMI) di New Delhi.

Protes itu dibubarkan oleh Polisi Delhi serangan sepanjang malam. Puluhan mahasiswa dipukuli dengan tongkat di tengah penembakan peluru gas air mata. Saksi mata, termasuk dua penulis di bawah, mengatakan bahwa mereka juga mendengar suara tembakan selama penyerbuan di kampus mereka.

Berbagai laporan media mengutip para pejabat rumah sakit di New Delhi yang mengatakan, mereka merawat setidaknya dua mahasiswa JMI dengan luka-luka akibat peluru langsung.

Berikut adalah kesaksia mahasiswa kepada Al Jazeera:

15 Desember terdaftar sebagai hari yang mengerikan bagi universitas kami, Jamia Millia Islamia (JMI). Ratusan mahasiswa diserang secara brutal oleh polisi pada hari itu karena memprotes secara damai undang-undang kewarganegaraan baru.

Unjuk rasa mahasiswa yang damai menentang UU Amandemen Kewarganegaraan (CAA) berubah menjadi medan perang di luar kampus, ketika polisi bersenjata lengkap berusaha menghalangi aksi.

Mereka memasang barikade di dekat area Sarai Jullena, tepat di luar kampus JMI di Delhi Selatan untuk mencegah para demonstran bergerak ke Parlemen India.

Setelah beberapa pemrotes mencoba melintasi barikade, polisi menggunakan tongkat pemukul untuk membubarkan para pemrotes. Aksi protes damai pun segera berubah menjadi kekacauan. Properti publik dirusak dan bus dibakar.

Di tengah pembakaran, para polisi mulai mengejar kami menuju universitas dan menembakkan gas air mata.

Polisi tampak seperti balas dendam ketika mereka memasuki perpustakaan, ruang baca, ruang kelas, dan bahkan masjid.

Kami melihat polisi merusak properti universitas ketika mereka menuduh para mahasiswa.

Kami melihat mereka menyerbu ruang baca di lantai dasar Perpustakaan Zakir Husain. Mereka melempar meja dan kursi di atas.

Kami beruntung lolos dari kemarahan mereka.

Kami juga mendengar suara tembakan.

Segera, polisi mulai menembakkan peluru gas air mata di dalam perpustakaan. Beberapa dari kami mengunci ruang baca di lantai pertama untuk menyelamatkan diri.

Kami mendengar gedoran keras dan tendangan ke pintu. Setelah hampir 40 menit, polisi memerintahkan mahasiswa untuk keluar dari gedung, dan banyak di antara kami diseret dan dipukuli di luar perpustakaan.

Mereka melakukan pelecehan, menyebut kami “teroris” dan berteriak, “Bunuh bajingan.”

Para mahasiswa diminta untuk meninggalkan kampus dengan tangan terangkat, seolah-olah kita adalah penjahat.

Kami mendengar teriakan dari masjid, toilet, dan ruang kelas terdekat. Bahkan para mahasiswa yang sudah terluka dalam kekacauan itu tidak selamat dan meronta-ronta dipukul tongkat.

Pengejaran polisi dimulai sekitar jam 5 sore dan berakhir sekitar jam 10 malam, dengan puluhan mahasiswa dibawa pergi oleh polisi.

Lebih dari 100 siswa yang terluka dirawat di rumah sakit di daerah tersebut.

Kekerasan memaksa administrasi universitas untuk menunda ujian akhir semester dan menyatakan liburan musim dingin, meminta mahasiswa untuk mengosongkan asrama.

Hampir 50 siswa ditahan, beberapa dibawa pergi ketika mereka menerima perawatan medis di Rumah Sakit Safdarjung, Pusat Trauma AIIMS, Rumah Sakit Al Shifa dan Rumah Sakit Keluarga Kudus.

Sungguh mengejutkan melihat kekerasan dalam skala seperti itu dilepaskan ke mahasiswa di JMI. Kami mendengar tindakan keras serupa di Universitas Muslim Aligarh, sekitar 130 km dari Ibu Kota.

Ketakutan yang kita alami secara individu atau sebagai kelompok tentu menyatukan kita dalam perjuangan kolektif kita dalam merebut kembali ruang universitas dan kita akan segera mengatasi cobaan ini.

Ketika kami menceritakan penderitaan kami, polisi masih belum mengangkat barikade. Kebrutalan mereka terlihat di setiap sudut kampus.

Setiap noda darah memiliki kisah untuk diceritakan. Sementara pecahan kayu, kaca dan logam di koridor kampus adalah saksi dari penumpasan besar-besaran.

Serangan itu telah mengubah persepsi kami terhadap administrasi universitas dan negara, tetapi itu tidak meredupkan semangat kami dan juga tidak melemahkan perjuangan kami.

Serangan itu bukan hanya “bentrokan” lain antara mahasiswa yang berbeda pendapat dan pasukan pemerintah, tetapi sebuah perjuangan yang berkelanjutan melawan sifat tidak manusiawi dari negara.

JMI, yang memiliki sejarah panjang perjuangan selama gerakan nasional untuk kemerdekaan, sekali lagi menjadi sorotan.

Tujuan di balik protes itu adalah untuk menyampaikan ketakutan komunitas Muslim atas CAA dan juga rencana partai sayap kanan Bharatiya Janata yang berkuasa untuk melakukan penghitungan jumlah warga negara secara nasional.

Para siswa JMI memilih universitas sebagai ruang untuk mengekspresikan perbedaan pendapat mereka atas hukum.

Kampus seharusnya adalah ruang yang memungkinkan hak demokrasi kita untuk memberikan sudut pandang alternatif baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

Tujuan dari gerakan kami adalah untuk mengungkapkan ketakutan dan kekhawatiran sejumlah besar orang, terlepas dari kasta, agama atau jenis kelamin, yang merupakan warga negara yang sah dari negara sekuler yang resmi ini. (AT/RI-1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.