Kesedihan di Balik Pembunuhan Imam Masjid di New York

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Di satu lingkungan yang tenang dengan pohon-pohon tumbuh di pinggir jalan dan deretan rumah yang rapi, di New York, Amerika Serikat, komunitas Muslim berduka di balik pintu-pintu yang tertutup.

Pada tanggal 13 Agustus lalu, di Ozone Park, imam Masjid Jami Al-Furqan New York, Maulama Akonjee yang berusia 55 tahun bersama sahabatnya Thara Uddin 64 tahun, ditembak dan dibunuh saat mereka berjalan pulang usai salat Asar di masjid.

Semua Muslim di lingkungan itu terkejut dan sedih terhadap kejadian itu. Termasuk Emrul Alam, seorang Muslim yang juga bekerja.

“Saya sudah salat di belakang imam ini selama tiga tahun. Dia orang yang sangat rendah hati dan tidak punya masalah dengan siapa pun,” kata Alam. “Semua orang terkejut dan kecewa.”

Warga Muslim AS lainnya, Somir Uddin (57) mengatakan bahwa sebelum pembunuhan itu, masjid penuh oleh sekitar 500-700 orang jemaah yang salat Jumat. Namun sekarang, sebagian jemaah memilih untuk salat di rumah sebagai gantinya.

“Semua orang takut. Penyerang bahkan bukan dari lingkungan ini. Kami tidak tahu mengapa dia datang ke sini,” kata Somir Uddin yang tinggal di dekat Masjid Al-Furqan.

Somir Uddin mengaku tidak takut dengan adanya penyerangan itu, baginya tidak ada pilihan lain selain datang salat ke masjid.

Ia mengatakan tidak akan terintimidasi. “Saya tidak peduli bahkan jika saya mati. Saya akan datang kepada Tuhan,” katanya.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, Aksi Solidaritas Palestina Menggelora di Berbagai Kampus Indonesia

Sosok Imam Akonjee dan Thara Uddin

Namun, keluarga Imam Akonjee tetap menderita kerugian atas pembunuhan itu.

Anak imam, Saif Akonjee (23) mengungkapkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang terjadi terhadap ayahnya yang harus wafat dengan cara ditembak.

Sementara keponakannya Asif Mirza (35) mengisahkan bahwa Imam Akonjee mengajarkan kepada seluruh anggota keluarganya dan Muslim yang lain, untuk hidup berdampingan dengan semua agama dan tidak menghakimi siapa pun.

Rabu, 17 Agustus, 2016, pemilik restoran lokal Nurul Hoque berbicara selama wawancara dengan Associated Press (AP) di luar Masjid Jami Al-Furqan di lingkungan Ozone Park, Queens, New York. (Foto: AP Photo / Mary Altaffer)
Rabu, 17 Agustus, 2016, pemilik restoran lokal Nurul Hoque berbicara selama wawancara dengan Associated Press (AP) di luar Masjid Jami Al-Furqan di lingkungan Ozone Park, Queens, New York. (Foto: AP Photo / Mary Altaffer)

Sang imam adalah seorang pencari nafkah utama bagi keluarganya. Kematiannya meninggalkan seorang istri, lima anak laki-laki dan dua anak perempuan. Semua anaknya tinggal di New York, kecuali satu yang tinggal di Bangladesh, negara asal kedua orang yang dibunuh.

Menurut putrinya yang berusia 29 tahun (ia tidak mau namanya disebutkan), Imam Akonjee punya satu mimpi besar untuk anak bungsunya.

Akonjee berharap anak bungsunya kelak menjadi seorang insinyur yang sukses. Namun, harapan itu menjadi tanda tanya setelah kepergiannya.

Anak-anaknya berada di Amerika karena ayahnya. Sang ayah yang mengurusi mereka dan sang ayah yang mencintai mereka.

Baca Juga:  Guinea Berpenduduk Mayoritas Muslim, Sepak Bola Olahraga Populer

Hanya beberapa rumah dari rumah Imam Akonjee, ada rumah keluarga Thara Uddin yang juga berduka. Saudara Thara Uddin yang bernama Mashuk Uddin (55) selalu menahan air matanya jika mengenang kakaknya.

“Dia selalu merawat seluruh keluarga, tapi saya tidak bisa menyelamatkannya,” katanya. “Semua orang mengatakan dia orang baik.”

Salah satu anak Thara Uddin dari lima anak mengatakan, keluarganya terlalu takut untuk keluar meninggalkan rumah usai peristiwa itu.

“Hati saya hancur,” kata Shible Ahmad (21). “Anda dapat mengganti uang, Anda dapat mengganti rumah Anda, tetapi Anda tidak dapat mengganti ayah Anda.”

Aminur Rashid (35) pemilik bangunan dua lantai tempat Uddin tinggal, menjelaskan bahwa Thara Uddin adalah sosok yang benar-benar baik dan damai.

“Dia tidak punya masalah dengan siapa pun,” katanya. “Saya memberitahu dia untuk tidak berjalan sendirian di malam hari, tapi ia tetap pergi ke stasiun kereta bawah tanah setiap hari lalu berjalan pulang bersama anaknya. Dia mengatakan kepada saya untuk tidak khawatir, karena dia tidak mengganggu siapa pun.”

Pada 14 Agustus, sehari setelah penembakan, polisi New York menangkap Oscar Morel, seorang pria Hispanik berusia 35 tahun yang lahir dan dibesarkan di Brooklyn, New York. Dia didakwa atas dua kasus pembunuhan dan kepemilikan senjata.

Kejahatan Kebencian

Beberapa anggota komunitas etnis Bangladesh yang berjumlah 25.000 orang, meyakini bahwa Morel melakukan kejahatan rasial. Sebab, ketika dibunuh, kedua korban membawa uang, tetapi pembunuh pergi tanpa mengambil uang sepeser pun dari korban.

Baca Juga:  Ustadz Adi Hidayat, Pakar Al-Qur’an yang Langka

Khairul Kukon (34), seorang organizer masyarakat dan broker real estate mengungkapkan bahwa saat pembunuhan, Imam Akonjee membawa lebih dari $ 1.000 dalam bentuk uang tunai, tidak ada yang diambil oleh Morel si pembunuh.

“Saya menyalahkan maniak (Donald) Trump untuk kekacauan dan Islamofobia yang ia telah ciptakan, dengan retorika dan cara dia menggambarkan Muslim,” kata Kukon, mengacu pada pernyataan kontroversial calon presiden dari Partai Republik itu tentang Muslim.

“Ini jelas kejahatan rasial. Orang-orang yakin dengan kampanye Trump dan apa yang mereka tonton di Fox News,” kata pemilik restoran lokal, Nurul Haque.

Kukon juga meyakini komunitasnya tidak memiliki permusuhan terhadap tetangga Hispanik mereka, lingkungan yang banyak ditempati orang-orang berdarah Italia.

Namun menurutnya, komunitas Muslim tidak bisa menyalahkan seluruh etnis Hispanik untuk kejahatan yang dilakukan oleh satu “serigala”.

Sekelompok pemuda Puerto Rico yang ditanya oleh Al Jazeera menyatakan ketidaksetujuannya atas apa yang terjadi kepada Imam Akonjee dan Thara Uddin.

Joe Puma, seorang pria Italia yang bekerja untuk Kontruksi Manhattan mengisahkan masa ketika masjid pertama kali didirikan. Sebagian masyarakat awalnya bingung setelah mendengar panggilan azan untuk salat.

“Bukan maksud yang buruk, itu hanya asing bagi mereka,” katanya dan menekankan bahwa mereka hidup beragam dalam kerukunan di lingkungan itu. “Tapi bagi saya itu seperti mendengar lonceng gereja.” (P001/P2)

Sumber: tulisan Sara Hassan di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.