Oleh Syaikh Dr. Abdurrahman as-Sudais,
Imam Masjidil Haram Makkah al-Mukarramah
Segala puji hanya bagi Allah. Kepada-Nya kita memuji dan memohon ampun. Allah yang telah mensyari’atkan hukum-Nya serta menundukkan alam ini dan alam pun patuh kepada-Nya.
Ya Allah kepada Engkau pujian yang telah menciptakan kami, dan yang telah memberikan hidayah dan memberikan rezqi kepada kami. Engkau pula yang mengaruniakan keamanan, menyatukan kalimat-Mu dengan Al-Quran serta memadukan barisan kaum Muslimin.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Kewajiban dan Hak dalam Pandangan Islam
Semoga Engkau karuniakan terhadap segala yang kami mohonkan, dan hanya kepada Engkaulah segala bentuk pujian dan terima kasih kami.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak disembah selain Allah, yang tiada sekutu bag-iNya. Allah yang menjelaskan segala hak-hak pemimpin dan hak-hak umat yang dipimpinnya, untuk senantiasa mendengar dan ta’at, dan menganugerahkan kesatuan dan persatuan.
Saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah Nabi dan Rasul-Nya, semulia-mulia da’i (penyeru) untuk didengar dan dipatuhi.
Shalawat beserta salam semoga tercurah kepada keluarganya dan para shahabat nyayang mulia, yang telah dikaruniakn kepada mereka menjadi sahabat yang patuh dan setia. Juga kepada para tabi’in generasi sesudahnya, dan yang ikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menggapai Syahid di Jalan Allah Ta’ala
Saya nasihatkan kalian dan diri saya agar senantiasa bersyukur terhadap hidayah Islam, dan juga segala nikmat yang lainnya. Oleh karena itu, maka bertakwalah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, baik secara sembunyi atau terang-terangan.
Allah mengingatkan kita di dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan perhatikan oleh diri kalian bekal yang akan dibawa untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat” . (Q.S. Al-Hasyr [59] : 18).
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Yang Maha Agung dengan segala perbuatannya, menjauhi segala yang yang bertentangan dengan jiwanya, itulah kekayaan yang sebenarnya, Dan akan didapatinya kemudian di surga Firdaus yang tinggi derajatnya.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Mempersiapkan Generasi Pembebas Masjid Al-Aqsa
Syariat Khilafah
Wahai kaum Muslimin,…..
Syari’at Islam, bertujuan untuk menjelaskan sebaik-baik kemaslahatan dan setinggi-tingginya maksud kehidupan, serta membersihkan jiwa dari segala kejahatan dan keburukan.
Islam adalah risalah terakhir dan mengumpulkan segala syariat sebelumnya. Islam jugalah yang paling sempurna untuk bekal kehidupan manusia, karena Islam adalah risalah yang penuh dengan keberkahan serta selalu sesuai dengan situasi dan kondisi, mencakup segala urusan kehidupan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Allah berfirman.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab (Al-Qur’an), untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslimin”. (Q.S. Al-Nahl [16] : 89).
Di antara ajaran Islam adalah untuk memperbaiki demi kemaslahatan urusan hamba dalam berbagai aspek kehidupannya, menerangi dengan jelas demi perbaikan, ia merupakan sebaik-baiknya petunjuk, yang mementingkan keberhasilan demi menegakan kebenaran yang tidak akan merugi, dan selanjutnya menolak segala keburukan dan kejahatan.
Salah satu permata urusan yang Allah gambarkan memiliki skala prioritas dalam syari’at Islam adalah urusan hukum dan kepemimpinan (Imaamah), yakni urusan umat terhadap peraturan yang mulia, serta manhaj atau jejak Khilafah yang mendapat petunjuk.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Sekiranya orang-orang tidak memiliki Imaam yang dita’ati, maka tidak akan ada yang memecahkan permasalahan dalam syari’at Islam ini. Maka, terkebirilah hukum, rusaklah urusan umum, terlantarlah anak-anak yatim dan tidak aka ada urusani haji ke Baitullah al-Haram.
Imaam Ahmad berkata, “Akan terjadi fitnah sekiranya tidak ada seorang Imaam yang mengurusi manusia”.
Imaam Mawardi juga berkata, “Keimaamahan adalah pokok utama, sebab dengannyalah tegaknya kaidah-kaidah agama dan tersusunnya kemaslahatan umat. Sehingga stabil dan lancaralah urusan yang umum dan yang khusus”.
Oleh karena itu, urusan kepemimpinan dan kewilayahan merupakan yang amat perioritas dan sangat penting dalam agama Islam. Ini semua ini telah diletakkan pondasinya oleh Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Artinya: “Apabila tiga orang keluar bepergian, maka salah seorang di antaranya hendaknya menjadi amir (pemimpin)”. (HR Abu Daud dengan sanad yang Shahih).
Di dalam Al-Quran Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…..
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tha’atlah kalian kepada Allah,dan tha’atlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian…..”. (QS An-Nisa [4] : 59).
Imaam Ibnu Taimiyyah berkata bahwa ayat ini turun berkenaan dengan hal umat tentang wajibnya tha’at atas segala perintah Ulil Amri, kecuali jika memerintah mema’siati Allah.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Atas dasar jejak yang lurus dan benar ini maka para Shahabat Rasul, semoga Allah meridhai mereka, setelah wafatnya baginda Nabi, mereka berkumpul di rumah Tsaqifah Bani Sa’dah, dan membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah sebelum menguruskan jenazah baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Mereka tidak dapat tidur pada malam harinya dengan kejadian musibah yang besar tersebut kecuali setelah ada ikatan bai’at kepada seorang Imaam untuk meneruskan kepemimpinan baginda Nabi.
Kemudian Abu Bakar menjelang akhir hayatnya memohon agar digantikan oleh Umar bin Khattab. Begitupun Umar bin Khattab sebelum wafatnya, mengangkat enam orang sahabat untuk mengangkat Utsman bin ‘Affan sebagai penggantinya. Maka kemudian Ustman bin Afan dibae’at sebagai Khalifah, begitu seterusnya Ali bin Abi Thalib. Semoga Allah meridhai mereka semua. Allahu Akbar.
Maha Suci Allah yang telah menjadikan Khilafah stabil dan lancar. Mereka menegakan keimaamahan sebagi bangunan yang kokoh, mewasiati kekhilafan supaya tidak fakum, setelah kewafatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Kewajiban Adanya Khalifah
Saudara Seiman,….
Sesungguhnya membai’at seorang Imaam atau Khalifah yaitu berjanji untuk mendengar dan ta’at pada yang ma’ruf, yang disukai atau tidak, yang senang atau susah, dan tidak merebut urusan yang dipegang oleh yang berhak (Imaam/Khalifah) adalah wajib menurut Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma’ Ummat.
Allah berfirman:
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ…..
Artinya: “ Sesungguhnya yang berbai’at kepadamu adalah berbai’at kepada Allah…..“. (QS Al-Fath [48] : 10).
Para ulama berpendapat bahwa ayat ini walaupun diturunkan tentang bai’atnya para shahabat kepada Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sesungguhnya selanjutnya adalah bai’at kepada seorang Imaamul Muslimin atau Imaam atau Khalifah, karena ajaran itu berdasar kepada keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab.
Ayat ini sebagai dalil wajibnya melaksanakan bai’at, dan larangan merusak dan membatalkannya,
…فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : “…..Barang siapa yang meruksak bae’atnya, maka ia telah meruksak dirinya, dan barang siapa yang menunaikan janjinya maka Allah akan memberikanya pahala yang besar”. (QS Al-Fath [48] : 10).
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menjadi Umat Unggul dengan Al-Qur’an
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Artinya : “Barang siapa yang mati dalam pundaknya tidak memiliki Imaam maka matinya laksana bangkai jahiliyyah”. (HR Muslim).
Dari Ubadah bin Shamit, “Kami telah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mendengar dan ta’at terhadap perkara yang senang atau yang susah, disukai atau dibenci, tidak mementingkan diri, dan tidak merebut sesuatu yang dipegang oleh ahlinya (Kepemimpinan)“. (HR Muslim).
Urusan bai’at telah menjadi ketetapan syari’at, telah diwajibkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bai’at merupakan urusan pokok dalam agama, sebagai petunjuk agama, yang diwajibkan oleh syara’ untuk melaksanakan dan menunaikannya, karena bai’at adalah pokok dalam agama dan wajib menurut syari’at.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Diangkatnya seorang Imaam adalah melalui bai’at”.
Imaam Karamani berkata, “Bai’at kepada Islam sebagai lambang dari ikatan dan perjanjian.”
Urgensi Bai’at
Allahu Akbar… Wahai Kaum Muslimin,
Sesungguhnya bai’at itu ibarat matarantai untuk mendengar dan tha’at, khususnya demi kecintaan kepada Allah dan Rasul.
Hubungannya merupakan ikatan ibadah demi tingginya kemaslahatan agama, terangkatnya syariat Islam, berkibarnya panji-panji keselamatan, manjauhkan dari kepentingan individu, cita-cita pribadi, cinta palsu, pujian yang semu, serta dari kepatuhan yang sia-sia.
Adapun Urgensi Kewajiban dan tanggung jawab bai’at adalah:
Pertama, hakikat paling prioritas dalam bai’at adalah perintah untuk mendengar dan tha’at selama tidak maksiat.
Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabada, yang artinya, “Adalah wajib pada setiap orang untuk mendengar dan tha’at, terhadap yang disukai ataupun dibenci, kecuali diperintah untuk ma’siat”.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, yang maknanya, “Dengar dan tha’atlah kalian, karena bagi mereka ada tanggung jawab yang dipikul, dan bagi kalian juga memiliki tanggung jawab yang sama”.
Imam Tahawi berkata, bahwa tidak melihat alasan ke atas para pemimpin dan orang-orang yang memegang urusan, mencabut diri dari ketha’atan terhadap mereka , dan bahwa mentha’ati mereka adalah bagian dari tha’at kepada Allah. Hal ini adalah wajib untuk mentha’ati mereka selama tidak memerintah kepada maksiat.
Imaam Abu Hafiz Abu Zur’ah al-Raazy berkata, yang artinya, “Kami mengetahui seluruh ulama di seluruh pelosok, baik di Hijaz, Iraq, Syam dan Yaman, bahwa mereka melarang untuk keluar dari kepemimpinan. Adanya adalah wajib tha’at kepada Imaam/Khalifah yang diangkat Allah untuk mengurus urusannya, sama sekali dilarang mencabut dari dari ketha’atan, dan dilarang menyendiri, dan dilarang berselisih atau berfirqah-firqah”.
Kedua, urgensi bai’at adalah untuk menjaga kedudukan dan kehebatan Imamah.
Telah diriwayatkan oleh Imaam Abu Daud dan Imaam At-Turmidzi dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, “ Barangsiapa yang menghina Sultan (Imaam) Allah di muka bumi ini, maka Allah akan menghinakannya”.
Dalam hadits lain baginda juga bersabda, yang artinya,” Di antara yang dapat kemuliaan Allah adalah memuliakan orang tua muslim, memuliakan pembawa (hafidz) Al-Qur’an, dan memuliakan pemimpin yang adil”. (HR Abu Daud dengan sanad yang baik).
Imaam Al-Qurafi kerkata, “Mengambil kemaslahatan umum adalah wajib, dan ia tidak akan dapat diambil melainkan oleh pemimpin kepada makmumnya. Apabila menyelisihi ke atas mereka, maka kemaslahatan akan tertunda (tidak akan dimiliki)”.
Imaam al-Mawardi berkata, “Hendaknya seorang Imaam itu memiliki kehebatan yang lebih”.
Ketiga, untuk tetap terjaganya nasihat sesuai dengan kehendak syari’at dan agar tidak membiarkannya dalam kesalahan.
Seperti yang disabdakan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Tamim al-Daari, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِنَبِيّهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Artinya : “Agama itu nasihat. bagi Allah, dan bagi Rasul-Nya, dan bagi para pemimpin Islam dan seluruhnya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Imaam as-Saukani berkata, “Hendaknya bagi siapa yang nampak kesalahan seorang Imaam agar menasihatinya, dan jangan sampai membiarkannya. Terutama bagi siapa yang menyaksikannya, bahkan hendaknya mengambil tindakan wajar dengan terus menasihatinya’.
Sebagian mengira bahwa mengkritik ahlil halli wal aqd, ulama, para da’i, orang-orang baik adalah tidak benar, dan menasihatinya dianggap merupakan puncak ketidakstabilan, ketidakbenaran, dan menjadikan masyarakat berpecah. Sebenarnya justru nasihat demi menjaga kehebatan para pemimpin. Karenanya, nasihat perlu terus ditegakkan.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata, ”Mengingkari pemimpin dengan meninggalkannya adalah puncak segala keburukan dan fitnah sehingga akhir zaman”.
Keempat, urgensi bai’at merupakan doa.
Imaam Tahawi berkata, “Hak-hak para pemimpin adalah kita mendoakan mereka untuk memperbaiki diri dan memohon maaf”.
Imaam Ahmad berkata, “Sekiranya saya memiliki doa yang dikabul, niscaya saya akan suguhkan doa ini untuk Imaam”.
Kelima, baiat untuk membantu para pemimpin menyatukan hati dengan umat.
Demi terorganisirnya kemaslahatan agama dan urusan dunia, tidak ragu lagi bahwa pemimpin memiliki kewajiban terhadap umatnya untuk dapat menggembala dengan menunaikan segala amanah dan menegakan keadilan serta mengaplikasikan hokum agama.
Pemimpin yang diabai’at, juga berfungsi untuk menjaga keamanan, menghapuskan kedzaliman, menolong orang yang didzalimi, menjaga kemaslahatan umat serta menolak kerusakan dan kemudharatan.
Sesungguhnya kesatuan jama’ah sangat penting, terutama dalam situasi yang penuh dengan tantangan dan konflik, yang diliputi oleh berbagai problematika dan krisis, dengan ditunggangi oleh berbagai afiliasi dan loyalitas pada kepartaian dan organisasi yang sesat, yang menimbulkan sikap ekstrimisme, kekerasan dan terorisme, yang pada akhirnya dijangkiti penyakit ketidakadilan dan tirani.
Ini menjurus kepada pertumpahan darah, peperangan, mengarah kepada kerusakan di muka bumi, dengan adanya pembunuhan dan pembakaran atas nama Islam. Berbagai kerakusan dan kebuasan yang melampaui batas, bahkan melebihi batas agama dan moralitas, yang tidak diajarkan dan tidak dikehendaki oleh agama dan kemanusiaan di manapun berada.
Ini semua bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Seperti dalam riwayat Imaam Bukhari, yang artinya, “Tidak boleh menyiksa dengan api kecuali oleh pemelihara api (Allah)”.
Penutup
Ya Allah kami berlepas diri dari perbuatan orang-orang yang dzalim yang bersikap tirani. Mereka yang lebih berpegang pada ayat yang mutasyabih dan berhujjah dengan hadits lemah dan mansukh (terbatal), mereka bahkan menjauh dari golongan ulama dan menyimpang dari nash yang shahih.
Kepada para pemuda harapan umat yang cerdik pandai, janganlah kalian sampai terbius dan tertipu oleh seruan yang mengatasnamakan Islam.
Janganlah kalian tertipu oleh ajakan yang sebenarnya justru bertentangan dengan syariat Islam. Karena Islam adalah agama pema’af, rahmah, kasih sayang, lapang dada, dan berlepas diri dari sikap kekerasan.
Langkah yang paling tepat bagi umat Islam saat ini adalah mencari jalan keluar dari berbagai fitnah dengan mengikut jejak yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam dalam mengaplikasikan agama yang agung ini.
Adapun sebaik-baik loyalitas dan anutan terhadap Islam adalah dengan dengan bersegera membai’at Imaam yang hak untuk mendengar dan tha’at dalam keadaan suka ataupun tidak, dan jangan merebut urusan yang dipegang oleh ahlinya yang lebih berhak.
Tidaklah akan berjaya bagi umat Islam pada setiap masa dan zaman, kecuali bersama Imaam yang bergerak bersama demi mengaplikasikan syariat dan undang-undang Allah. (T/K05/P4)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْأ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
نفَعني الله وإياكم بالذِّكرِ الحكيم، وبهَديِ سيِّد المُرسَلين، أقولُ قولي هذا، وأستغفرُ الله العظيمَ الجليلَ لي ولكم، ولسائرِ المسلمين والمُسلِمات من كل الآثام والخطيئاتِ، فاستغفِرُوه وتوبُوا إليه، إنه هو الغفورُ الرحيم.
*Khutbah Imam Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah Syaikh Dr. Abdurrrahaman As-Sudais, Jumat, tgl 23 Rabi’ul Akhir 1436 H./13 Februari 2015 M. Diterjemahkan oleh Dudin Shobaruddin, Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) Kuala Lumpur, Malaysia.