Kisah Khalifah Umar Membebaskan Masjid Al-Aqsha

Kubah (depan) dan kubah Masjid Kubah Batu (belakang). (Dok. Press TV)

Oleh: Rendy Setiawan, Mahasiswa STAI Al-Fatah Bogor

Tegak berdiri di bumi Palestina, Masjid al-Aqsha merupakan satu dari tiga situs suci umat Islam. Posisinya di membuat Al-Aqsha berada di jantung konflik tiga agama besar. Islam, Kristen, dan Yahudi bersama-sama mengajukan klaim kepemilikan. Situs bersejarah ini telah berulang kali menyaksikan konflik dan perebutan kekuasaan.

Cikal bakal Al-Aqsha sudah ada sejak masa nabi-nabi terdahulu. Hadis Rasulullah dari Abu Dzar al-Ghifari menyebutkan, Al-Aqsha adalah masjid tertua di dunia setelah Masjidil Haram. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Firas al-Khateeb dalam tulisannya berjudul The Al-Aqsha Mosque Through The Ages yang dimuat dalam situs Lost Islamic History.

Hadits ini mengisyaratkan, Masjid Al-Aqsha sudah ada sejak anak turun pertama Ibrahim. Ibnu Qayyim al-Jauzy menerangkan, Nabi Yaqub dan Dawud diketahui pernah membangun ulang masjid tersebut. Kemudian, Sulaiman merenovasinya pada tahun 960 SM.

Sejak awal, situs ini berstatus masjid, bukan kuil atau sinagog. Ketika Islam diturunkan di jazirah Arab, agama ini melanjutkan ajaran tauhid dari nabi-nabi sebelumnya. Baitul Maqdis, tempat ibadah yang dibangun Nabi Sulaiman di Yerusalem pada zaman kuno otomatis menjadi bagian dari sejarah Islam.

Masjid Al-Aqsha, disebut juga Bait Al-Maqdis, berarti “masjid yang jauh”. Masjid ini berlokasi di sebuah area persegi empat yang disebut al-Haram asy-Syarif. Luas kompleks itu sekitar 133.950 meter persegi. Berbentuk persegi empat, Al-Aqsha hanya memiliki satu kubah. Orang sering salah mempersepsikan masjid ini dengan situs di sebelahnya, Dome of The Rock atau Kubah Batu yang memiliki kubah keemasan menjulang.

Masjid Al-Aqsha telah bertahan melintasi berbagai masa. Yerusalem kembali ke tangan Muslim semasa Khalifah Umar bin Khattab pada 638 M. Sejumlah literatur mencatat peristiwa penaklukkan bersejarah ini. Mulai dari al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal, Jerusalem: The Biography karya Simon Sebag Montefiore, hingga Karen Armstrong dalam Jerusalem Satu Kota Tiga Iman.

Pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Yerusalem. Saat itu Yerusalem di bawah tanggung jawab Pemimpin Kristiani Uskup Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Yerusalem.

Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Yerusalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab sendiri yang datang langsung menerima penyerahan darinya.

Mendengar kabar tersebut, Khalifah Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Yerusalem. Sang khalifah berangkat dengan hanya berkendara keledai dengan ditemani satu orang pengawal.

Setibanya di Yerusalem, Umar disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dan kagum dengan sosok pemimpin muslim satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederhana yang tidak jauh berbeda dengan pengawalnya. Umar diajak mengelilingi Yerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di gereja ini).

Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan mengubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat di situ sehingga menzalimi hak umat Nasrani. Umar shalat di luar gereja, lalu tempat Umar shalat itu dibangun Masjid Umar bin Khattab.

Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah, mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Yerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim.

Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Yerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Yerusalem.

Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Yerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Yerusalem, karena penduduk Yerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Yerusalem).

Penduduk Yerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Yerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka.

Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Yerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.

Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).

Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai perbandingan, 23 tahun sebelum Yerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil Yerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Yerusalem yang dikuasai umat Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.

Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Yerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan.

Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi dari Yerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena salah seorang pemandu Umar di Yerusalem adalah seorang Yahudi yang bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk beribadah di reruntuhan bangunan Nabi Sulaiman dan Tembok Ratapan. Padahal sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini masih diperdebatkan.

Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.

Setelah Yerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi.

Bersama para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan wilayah tersebut kemudian merenovasi kompleks Masjid Al-Aqsha.

Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani Umayyah Yerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan. Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.

Penaklukkan Yerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika menaklukkan kota tersebut.

Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana. (A/R06/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.