LAILATUL QADAR

Yakhsallah Mansyur

Yakhsallah MansyurOleh: KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.*

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (١) وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ (٢) لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٌ مِّنۡ أَلۡفِ شَہۡرٍ (٣) تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيہَا بِإِذۡنِ رَبِّہِم مِّن كُلِّ أَمۡرٍ (٤) سَلَـٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ (٥)/ القدر [۹۷]: ۱-۵.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al Qur’an] pada malam kemuliaan. (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (3) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (4) Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar. (5) (Q.S. Al [97]: 1-5)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyebutkan seorang laki-laki Bani Israil yang berjuang di jalan Allah dengan senjatanya selama seribu bulan terus menerus.

Kaum muslimin mengagumi perjuangan orang tersebut. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan surat di atas (ayat 1 s.d. 3) bahwa satu malam lebih baik daripada perjuangan orang Bani Israil selama seribu bulan.

Surat ini diperselisihkan masa turunnya. Ada yang berpendapat ia turun sebelum hijrah, ada juga yang berpendapat sesudahnya. Yang menyatakan surat ini turun sebelum hijrah, bahwa ia turun setelah surah ‘Abasa dan sebelum surah Asy-Syams. Sedang yang menyatakan surah ini turun setelah hijrah, bahwa ia turun sebelum surah Al-Baqarah dan sesudah surah Al-Muthafifin.

Kalau melihat kandungannya yang berbicara tentang Lailatul Qadar, yang merupakan salah satu malam di bulan Ramadhan dan mengingat bahwa puasa Ramadhan baru ditetapkan pada tahun kedua Hijrah, cukup beralasan pendapat yang menyatakan surah ini turun sesudah hijrah (Madaniyah).

Pada ayat 1, Allah menyatakan إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ, artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam Al-Qadar.”

Kata “anzalnahu” (Kami telah menurunkannya) menunjukkan bahwa Allah menurunkan Al-Quran melalui perantara makhluk-Nya yaitu malaikat Jibril. Sedang kata “anzalna” terambil dari kata nazala (نزل) yang berarti turun atau pindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

Pada malam Al-Qadar itu Al-Quran diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke langit dunia kemudian diturunkan secara berangsur-angsur dari langit dunia kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa malam turunnya Al-Qur’an itu pada bulan Ramadhan.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ …/ البقرة [۲]: ۱۸۵.

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran ..(Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

Pada ayat ini (Q.S. Al-Qadar [97]: 1) kata Al-Qur’an tidak disebut secara tegas (eksplisit) tetapi menggunakan kata ganti (dhomir) “nya”. Hal ini – Wallahu A’lam – untuk memberi kesan keagungan Al-Qur’an, karena salah satu bentuk pengagungan yang dikenal dalam bahasa adalah tidak menyebut nama yang diagungkan selama telah ada qorinah (indikator) yang dapat mengantarkan kepada yang diagungkan itu.

Kata “lailat” secara bahasa berarti hitam pekat. Sedang secara istilah adalah bagian waktu yang dimulai dari tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menjelaskan apakah turunnya Al-Qur’an pada awal, pertengahan atau akhir malam tapi Allah menjelaskan bahwa malam turunnya Al-Qur’an adalah malam yang mulia (Al-Qadar).

Pada surat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut kalimat Al-Qadar berulangkali. Hal ini menunjukkan bahwa kemuliaan malam itu adalah kemuliaan yang sukar diketahui hakikatnya.

Kata “Al-Qadar” pada ayat ini, menurut para ulama, memiliki empat pengertian.

Pertama, penetapan. Artinya pada malam ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mulai menetapkan agama-Nya untuk manusia yang akan melepaskan mereka dari kerusakan dan kehancuran.

Kedua, pengaturan. Artinya pada malam ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatur khitthah atau strategi bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam mengajak manusia kepada agama tersebut.

Ketiga, kemuliaan. Artinya pada malam ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuliakan hamba-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Dan pada malam ini manusia juga dimuliakan dengan dikeluarkan dari kegelapan kepada cahaya petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang gilang gemilang.

Keempat, sempit. Artinya pada malam ini bumi seakan-akan menjadi sempit karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi.

Ayat 2, وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ  , artinya “apakah yang menjadikan engkau tahu apakah malam Al-Qadar?

Ungkapan “وَمَآ أَدۡرَٮٰكَ” tidak digunakan Al-Qur’an kecuali menyangkut persoalan besar dan hebat yang tidak mudah diketahui hakikatnya sehingga disimpulkan bahwa penggunaan ungkapan tersebut berkaitan dengan Lailatul Qadar menunjukkan kehebatan malam itu dan hakikatnya tidak mudah untuk diungkap kecuali dengan bantuan Ilahi.

Dalam Al-Qur’an kalimat “ma adraka” terulang tiga belas kali. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian dan tiga kali yang mengatakan: wa ma adraka ma al-thariq, wa ma adraka ma al-aqabah dan wa ma adraka ma lailatul qadar.

Ayat 3, لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٌ مِّنۡ أَلۡفِ شَہۡرٍ, artinya “Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan.”

Kemuliaan Lailatul Qadar jika dikaitkan dengan turunnya Al-Qur’an adalah karena pada malam itu dimulai babak baru kehidupan manusia di mana Al-Qur’an akan menerangi dan memberi petunjuk mereka untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Hidup manusia bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai ke tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlainan maka apabila tidak ada alasan pasti akan terjadi benturan dan tabrakan. Dengan demikian mereka memerlukan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupan.

Peraturan tersebut tidak mungkin diserahkan kepada manusia karena manusia mempunyai dua kelemahan, pertama, keterbatasan pengetahuan dan kedua, sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri).

Kalau demikian yang mengatur lalu lintas haruslah Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena Dia yang paling mengetahui sekaligus tidak memiliki kepentingan. Untuk mengatur kehidupan tersebut maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an. Oleh karena itu malam turunnya Al-Qur’an adalah lebih baik dari seribu bulan.

Menurut Musthafa Al-Maraghi kata “seribu” berarti menunjukkan kebaikan yang sangat banyak bukan menunjukkan bilangan tertentu, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

…يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ… البقرة [۲]: ٩٦.

(…Salah seorang di antara mereka (orang Yahudi) sangat berkeinginan seandainya mereka diberi umur seribu tahun… (Q.S. Al-Baqarah [2]: 96), yakni hidup yang sangat lama.

Apabila seribu bulan itu dihubungkan dengan orang yang beribadah pada malam itu maka orang yang beribadah pada malam itu akan mendapat pahala melebihi pahala ibadah pada seribu bulan yang lain bahkan insya Allah lebih dari itu.

Ayat 4, تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيہَا بِإِذۡنِ رَبِّہِم مِّن كُلِّ أَمۡرٍ, artinya “Turun malaikat-malaikat dan Roh pada malam itu dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan.”

Pada malam itu para malaikat turun laksana perutusan atau satu delegasi bersama Jibril dengan izin Allah. Di sini memberi kesan bahwa turunnya para malaikat itu membawa sesuatu yang sangat istimewa karena mereka turun atas perintah dan perkenan Allah untuk mengatur segala urusan manusia baik mengenai ajal, rizqi, problematika dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ (٣) فِيہَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ (٤)/ الدخان [٤٤]: ٣-٤.

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (3) Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (4)(Q.S. Ad-Dukhan [44]: 3-4)

Menurut para ahli tafsir yang dimaksud “segala urusan” pada ayat ini adalah segala urusan yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti hidup, mati, rizqi, untung baik, untung buruk dan sebagainya.

Ayat 5, سَلَـٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ, artinya “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”

Kata “salam” terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 42 kali yang digunakan untuk berbagai maksud; (a) Ucapan salam yang berfungsi sebagai doa, (b) Keadaan atau sifat sesuatu, (c) Menggambarkan sifat mencari kedamaian, (d) Sebagai sifat Allah.

Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid malam itu yang ada hanya kebaikan dan tidak terdapat keburukan sampai terbitnya fajar.

Fajar pada mulanya berarti membelah sesuatu menjadi luas dan jelas. Munculnya matahari disebut fajar karena matahari bagaikan membelah kegelapan malam.

Ibnu Qayyim berkata mengenai kedamaian ini, “Hati yang mencapai kedamaian dan ketentraman mengantar pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanah, riya kepada ikhlas, lemah kepada teguh dan sombong kepada tawadhu.” Itulah sebagai alamat jiwa yang telah mencapai kedamaian dan itu pula dapat dijadikan bukti pertemuan dengan Lailatul Qadar yang datang setiap akhir bulan Ramadhan.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa sebab tidak adanya kejelekan di malam itu adalah karena setan-setan tidak ada yang keluar di malam itu. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ/ رواه أحمد

“Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa bangun di malam-malam itu dengan dorongan mencari pahalanya, Allah Tabaaroka wa Ta’ala mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang berikutnya, ia terjadi pada malam ganjil; kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau malam terakhir. Tanda-tanda lailatul qadar adalah malamnya yang terang seperti ada rembulan terbit, tenang, sunyi, tidak dingin, tidak panas, dan tidak dihalalkan bagi bintang-binatang untuk dilemparkan di malam itu hingga pagi. Dan di antara tanda-tandanya adalah di pagi harinya matahari terbit merata, pancaran cahayanya tidak menyilaukan, cahanya seperti bulan, dan tidak halal bagi setan untuk keluar di saat itu.” (HR. Ahmad No. 21702)

Awal surah ini berbicara tentang turunnya Al-Qur’an dan di akhirnya berbicara tentang kedamaian. Hal ini memberi isyarat bahwa kedamaian dan keselamatan hanya dapat diraih dengan mengikuti tuntunan Al-Qur’an. Wallahu A’lam bis Shawwab. (T/P06/R2)

*Pimpinan Ma’had Al-Fatah Indonesia

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments: 0