Larangan Israel Lumpuhkan Industri Mebel di Gaza

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Setahun yang lalu, Mohammed Ajour  memperoleh sekitar 2.500 shekel ($ 650) per bulan dari pekerjaannya sebagai pembuat mebel.

Namun saat ini, Ajour yang tinggal di akan merasa beruntung jika dalam sebulan penghasilannya bisa mencapai 1.000 shekel ($ 250). Bulan lalu (Juni) ia hanya membawa pulang 800 shekel.

Setelah kehilangan pekerjaannya sebagai penjahit karena cedera yang berhubungan dengan pekerjaan, Ajour menjadi pembuat mebel melalui program pelatihan kejuruan yang baru didirikan, namanya Irada.

Irada didanai oleh Turki. Program ini melatih orang cacat Palestina di Gaza untuk memungkinkan mereka mendapatkan mata pencaharian mereka sendiri.

Namun, pada Maret 2015 Israel melarang impor papan kayu sebagai “item penggunaan ganda”, dilarang memasuki Gaza dengan alasan “masalah keamanan”. Saat ini, daftar barang-barang seperti itu mencakup lebih dari 110 produk.

Israel telah memberlakukan blokade Gaza sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di wilayah Palestina yang miskin itu sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya, kegiatan ekonomi di Gaza telah lumpuh dan menghadapi kesulitan besar dalam memproduksi barang-barang yang diperlukan secara lokal.

Di antara puluhan bahan, Israel mengontrol ketat pengiriman semen, pelat baja, papan kayu dan bahkan fiberglass, dengan klaim bahwa bahan-bahan itu akan digunakan untuk membangun terowongan oleh faksi perlawanan Palestina.

“Israel melarang impor papan kayu dengan ketebalan lebih dari satu sentimeter. Tak lama setelah itu, mereka melarang pengeras cat,” kenang Ajour. Israel mengatakan ini dapat digunakan dalam pembuatan senjata. Sebulan kemudian, Israel mengizinkan impor papan maksimal setebal dua sentimeter.

Larangan itu tidak menghentikan Ajour dari membuat mebel, tapi itu membuat pekerjaannya jadi lebih sulit. Dulu, ia membutuhkan waktu lima hari untuk membuat sebuah sofa, tapi sekarang harus dua pekan atau lebih.

Dengan diperlukannya waktu tambahan untuk menyelesaikan satu set kursi, produksi Ajour turun menjadi sepertiga, dan dengan demikian itu menjatuhkan pendapatannya.

Pengrajin mebel di Gaza, Palestina, Mohammed Ajour. (Foto: Belal Aldebbour)
Pengrajin mebel di Gaza, Palestina, Mohammed Ajour. (Foto: Belal Aldebbour/Al Jazeera)

Di Gaza, satu set sofa terdiri dari sembilan kursi yang terbuat dari lima kursi dari ukuran variabel.

Setelah larangan Israel diterapkan, harga kayu di pasar gelap Gaza melonjak.

“Harga satu meter kubik kayu beech mencapai 7.000 shekel ($ 1.810), dibandingkan dengan harga asli 2.800 shekel,” kata Amro Abu Alqumboz, manajer proyek Irada.

Sementara itu, harga pengeras cat naik 600 persen. Bahkan pada harga tinggi seperti itu, pasokan tetap langka dan pengeras cat yang tersedia berkualitas rendah.

Mengingat harga saat ini, Abu Alqumboz memperkirakan bahwa sebuah perabot sekarang biayanya naik 150 persen daripada sebelum ada larangan Israel. Akibatnya, permintaan menurun lebih dari setengah.

“Perekonomian sudah lambat, dan harga baru menyeret permintaan turun,” katanya kepada Al Jazeera.

Wadah Bseiso, Sekretaris Serikat Industri Kayu Gaza mengatakan, keputusan Israel membatasi impor bahan baku, terutama kayu dan pengeras, telah memaksa 700 lokakarya keluar dari bisnis ini dan menyebabkan lebih dari 10.000 pekerja menganggur.

Serikat mendesak pemerintah Israel untuk mencabut larangan impor bahan baku. Sebaliknya, Oktober lalu, Israel tiba-tiba mencabut larangan ekspor furnitur Gaza untuk pertama kalinya sejak 2007. Militer Israel mengatakan, keputusan itu dimaksudkan untuk menjamin stabilitas di Gaza dan meningkatkan ekonominya. Tapi warga Palestina di Gaza melihat keputusan itu berbeda.

“Selama Israel terus membatasi masuknya bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mebel, keputusan Israel akan tetap relevan,” kata Bseiso.

Jamal Elessi, pembuat dan pemilik toko mebel mengatakan, permintaan lokal mulai bergeser ke arah mebel impor, karena harga kompetitif muncul dengan mengorbankan kualitas. Ia takut bahwa tren baru akan memperburuk penderitaan produsen lokal.

“Pengepungan telah mengikis daya beli pelanggan. Pada suatu kali, saya menjual rugi demi pengadaan uang tunai untuk membayar karyawan saya,” kata Elessi.

Namun ia menegaskan, ia tidak akan mengorbankan kualitas untuk meningkatkan penjualan.

Menurut Mohammad Abu Jayyab, Editor Jurnal Ekonomi Gaza, larangan ini telah menciptakan masalah baru bagi industri kayu Gaza.

Abu Jayyab mengatakan, situasi buruk industri Gaza memberi kesempatan emas bagi produsen Israel.

“Israel mendapat keuntungan melalui pajak impor bahan baku warga Palestina. Sekarang, warga Gaza tidak memiliki pilihan kecuali mengimpor pintu yang siap pakai dan mebel, sementara produsen Israel mengisi pundi-pundinya,” katanya. (P001/P4)

Sumber: Tulisan Belal Aldabbour di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.