Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa Terorisme NZ Targetkan Masjid (Dr Farid Hafez)

Ali Farkhan Tsani - Senin, 1 April 2019 - 05:17 WIB

Senin, 1 April 2019 - 05:17 WIB

4 Views

Oleh: Dr Farid Hafez, Peneliti senior di Departemen Ilmu Politik, Universitas Salzburg dan peneliti senior untuk Inisiatif Jembatan di Universitas Georgetown

Teroris supremasi kulit putih bisa saja memilih berbagai tempat dan benda lain untuk melakukan serangannya. Namun dia memilih tempat ibadah Islam, yaitu masjid. Mengapa?

Pertanyaannya mungkin terdengar sederhana pada awalnya. Tetapi kita harus meluangkan waktu untuk merenungkan aspek terorisme ini.

Ini bukan tentang apa yang dimaksud masjid bagi umat Islam. Karena ini juga tidak masalah bagi supremasi kulit putih. Namun bagaimana masjid telah menjadi target untuk proyeksi jahat yang kita temukan dalam ideologi Islamofobia.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Dalam imajiner ideolog anti-Muslim, ada sejumlah bahan yang sangat terbatas yang telah dianggap sebagai “simbol” Islam. Simbol yang telah berubah menjadi masalah kontestasi politik.

Dalam wacana tentang Islam, bahan yang paling menonjol tidak diragukan lagi adalah jilbab, bagi wanita Muslim dan masjid.

Orang bisa mengamati bagaimana, pertama, benda-benda ini telah dibingkai ulang. Sama seperti jilbab saat ini dibayangkan sebagai simbol “penaklukan perempuan” dalam masyarakat Muslim patriarki. Masjid pun dibayangkan sebagai tempat radikalisasi, di mana umat Islam diajarkan untuk membenci orang-orang dari agama lain. Demikian tuduhan Islamofobia.

Ini adalah pembingkaian ulang makna materi-materi ini yang di banyak tempat telah menyebabkan umat Islam kehilangan kebebasan mereka.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Sementara kebebasan beragama telah menjadi pusat bagi sebagian besar negara-negara Barat sejak akhir Perang Dunia II. Namun hak kebebasan ini telah dipertanyakan dalam berbagai cara bagi umat Islam sejak 1990-an.

Islamofobia yang dilembagakan telah menjadi normal hari ini. Wanita Muslim tidak diizinkan mengenakan jilbab di beberapa tempat terbatas. Ini larangan untuk murid, di tempat lain juga berlaku untuk guru, dan di tempat lain lagi ada di beberapa layanan publik.

Selain itu, masjid telah menjadi masalah yang diperdebatkan, mulai dari larangan menara masjid yang terkenal di Swiss, hingga larangan yang kurang diketahui. Misalnya, pembangunan masjid dan menara di dua negara Austria.

Dan janganlah kita melupakan perdebatan di sekitar Masjid Ground Zero di New York atau debat lain yang muncul seputar pembangunan sejumlah masjid di Cologne.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Ingat, betapa frustrasinya Muslim AS karena Barack Obama, yang disebut presiden harapan, tidak dapat mengunjungi masjid. Obama seolah menyerah pada suasana ketakutan yang dipicu oleh retorika anti-Muslim radikal yang disebarkan oleh orang-orang seperti Pamela Geller dari Tea Party.

Masjid tidak lagi menjadi simbol pemberdayaan, seperti yang diingat oleh begitu banyak orang Afrika-Amerika, tetapi sebaliknya telah berubah menjadi objek ketakutan. Ini telah meninggalkan bekasnya.

Di sisi lain, pada teroris anti-Muslim. Masjid telah didaftar menjadi target di mana orang ditembak. Mulai dari Masjid Finsbury Park London hingga terkini Masjid Christchurch di New Zealand.

Penembakan massal di New Zealand adalah yang paling mematikan dalam sejarah baru-baru ini, di mana masjid telah lama menjadi sasaran.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Sebuah situs web telah memetakan kejahatan rasial dan serangan terhadap masjid sejak 2015.

Tidak heran, kemudian, bahwa masjid memainkan peran sentral dalam manifesto yang diposting oleh teroris supremasi kulit putih sebelum serangan.

“Kami akan menghancurkan setiap masjid dan menara di kota Konstantinopel,” postingan menyebutkan, merujuk pada nama lama Istanbul, ketika kota itu berada di bawah kekuasaan Kristen.

Dia sengaja memilih masjid Christchurch karena baginya, ia “memiliki lebih banyak penjajah” dan mewakili “bangunan optik asing” dan dituduh memiliki hubungan dengan “ekstremisme”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Masjid bagi Islamofobia adalah kumpulan dari berbagai jenis ekstremisme, asing, dan supremasi.

Dengan demikian, menantang serangan teroris ini mengharuskan kita untuk terutama menantang wacana yang lebih luas yang telah memungkinkan diskriminasi hukum terhadap Muslim. (A/RS2/P2)

Sumber: Anadolu Agency.

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Khadijah
Indonesia
Internasional