MENJAMURNYA BUDAYA SUAP

Oleh Bahron Ansori*

Istilah menyuap sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat kita. Suap menyuap bisa terjadi di setiap tempat dan situasi. Bahkan kini, suap menyuap menjadi fenomena dalam kehidupan birokrasi. Bukan rahasia lagi, untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan yang diidam-idamkan umpamanya, seseorang rela mengeluarkan uang berapapun asal jabatan yang diinginkannya bisa diraih.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suap ialah uang sogok. Tapi juga suap bisa disebut dengan uang pelicin untuk memuluskan jalan dari berbagai hal, agar segala sesuatu yang dianggap hambatan dapat teratasi sesuai dengan harapan sang penyuap. Tidak ada suap atau pelicin yang disandingkan dengan sesuatu yang baik. Setiap mendengar kata suap, selalu saja ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya.

Dalam Bahasa Arab, suap disebut dengan risywah. Risywah merupakan sebuah problema umat Islam saat ini. Secara etimologi risywah terambil dari kata رشا yang artinya menurut Ibn Faris Ibn Zakariyah (menunjukkan sebab sesuatu menjadikan ia ringan dan lunak), apabila dikatakan artinya.

Menurut Ibn Atsir, risywah artinya tali (al-habl) yang dibentangkan untuk menimba air di sumur. Dari makna ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya pemberian sesuatu kepada orang lain diharapkan dapat memudahkan urusannya atau dengan adanya tali maka air akan mudah ditimba sehinga sampai kepada maksud yang dituju.

Sementara, secara terminologi, menurut Abdullah Ibn Abdul Muhsin, risywah ialah sesuatu yang diberikan kepada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu, supaya orang yang memberi mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan keinginannya.

Menurut Ali Ibn Muhammad al-Sayydi a-Sarif al-Jurjani, risywah ialah suatu pemberian kepada seseorang untuk membatalkan suatu yang hak dan membenarkan yang batil. Risywah juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu yang menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa risywah adalah pemberian kepada orang lain yang mengandung unsur pamrih yang bertujuan membatalkan yang halal dan atau membenarkan yang batil dan ia dijadikan alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

Suap dalam Islam

Dalam ajaran Islam, suap adalah sesuatu yang sangat diharamkan. Suap berarti memberi sejumlah harta benda kepada pelaku birokrasi di mana dengan tanpa pemberian tersebut, hal itu memang sudah menjadi kewajibannya yang harus ditunaikan.

Menurut Ibnu Abidin, suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya supaya orang itu memutuskan sesuatu hal yang memihak kepadanya atau agar ia memperoleh keinginannya dengan pemberian tersebut.

Suap termasuk salah satu dosa besar yang diharamkan Allah SWT atas hamba-hamba-Nya, dan Rasulullah SAW juga melaknat pelakunya. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2).

Melakukan suap, berarti juga memakan harta orang lain secara batil, karena ia memberi uang kepada orang lain (secara tidak semestinya) dengan maksud untuk menghalangi kebenaran. Allah SWT berfirman,  “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 188).

Pengharaman suap meliputi tiga unsur yaitu: penyuap, yang disuap dan perantara dari keduanya. Hal ini seperti dalam sabda Rasulullah SAW “Allah SWT melaknat penyuap, yang disuap dan perantara dari keduanya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Memakan hasil suap, berarti memakan barang haram. Allah SWT mengancam dan mencela orang-orang Yahudi karena memakan yang haram, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (Al Maidah: 42)

Setiap barang yang haram, pasti akan diganjar Allah SWT dengan api neraka. Nabi SAW bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas baginya.”

Kemudian ditanyakan kepada Nabi SAW “Apakah barang yang haram itu?”

Nabi SAW,  “Suap dalam proses hukum.”

Hukum suap menjadi sangat diharamkan jika tujuannya adalah memutarbalikkan yang batil menjadi benar atau membenarkan kebatilan atau menganiaya seseorang.

Sesuatu yang diberikan dalam suap, adakalanya berupa harta benda, uang atau apa saja yang bermanfaat bagi si penerima sehingga keinginan penyuap tersebut dapat terwujud.

Allah SWT tidak akan pernah menerima sedekah dari hasil suap. Sebab Allah SWT hanya akan menerima apa-apa yang baik dari hamba-hamba-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT baik, tidak mau menerima kecuali baik dan sesungguhnya Allah SWT menyuruh orang-orang mukmin sebagaimana menyuruh kepada para rasul.” (HR. Ahmad).

Jadi, seorang Muslim wajib menjauhi dan mewaspadai suap serta memberi peringatan kepada orang-orang yang melakukannya karena suap mengandung kejahatan dan merupakan dosa besar yang berakibat sangat buruk. Wallahua’lam. (R2/IR)

*Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0