MUI : PENTING PENETAPAN HARI SANTRI DAN ULAMA

Hari Santri dalam Perspektif Lembaga Keagamaan (Foto : Kemenag)
Lembaga Keagamaan (Foto : Kemenag)

Bogor, 4 Rajab 1436/23 April 2015 (MINA) – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Makruf Amin mengatakan, penetapan hari santri sangat penting karena merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap peran ulama dan santri.

“Penetapan hari santri itu berarti ada pengakuan terhadap peran santri, tentu saja peran ulama, di dalam kehidupan berbangs adan bernegara, baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan. Itu yang penting,” kata  Makruf Amin saat menjadi pembicara (FGD) Pendidik dan Kependidikan Keagamaan dengan tema “Hari Santri dalam Perspektif Lembaga Keagamaan,” Kamis, di Bogor.

Menurutnya, penanaman rasa cinta Tanah Air sudah ditanamkan sejak dulu kepada para santri di lingkungan pesantren. Bahkan, lanjut kyai Makruf, di pesantren dikenal ungkapan hubbul wathan minal Iman. “Intinya cinta Tanah Air itu termasuk daripada iman. Itu penanaman yang hidup di dalam pesantren,” jelas Kyai Makruf. demikian keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

“Oleh karena itu, para ulama mengajarkan kita untuk mencintai Tanah Air dan merasa memiliki. Kalau orang jawa istilahnya handarbeni Negara,” tambahnya.

Kyai Makruf menggarisbawahi bahwa semangat membela Tanah Air yang diyakini para ulama dan santri terus dipegang erat ketika Indonesia merdeka.

Ini ditunjukan ketika proses pembahasan dasar Negara, demi kemaslahatan yang lebih luas, para ulama dan santri mau berkompromi untuk tidak menjadikan negaranya sebagai Negara Islam. “Jika ulama ingin Negara ini Negara Islam, tentu tidak akan terbentuk NKRI,” tegasnya.

Disinggung mengenai waktu yang akan ditetapkan sebagai hari santri, Kyai Makruf mengaku tidak mempunyai pilihan tertentu. “Bagi saya tanggal tidak penting, yang penting ada hari santri, perlu ada ittifak,” tegasnya.

Namun demikian, Kyai Makruf mengingatkan para peserta FGD dengan dua momentum besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Momentum yang pertama adalah tahapan perjuangan yang oleh Sartono Kartodirjo disebut sebagai kebangkitan agama (religious revival).

Menurutnya, perjuangan ulama dan santri di Indonesia  dalam membebaskan negara dari kolonialisme sudah dilakukan jauh sebelum lahirnya  Kebangkitan Nasional.

“Sebelum itu (Kebangkitan Nasional), sudah ada perlawanan-perlawanan terhadap Belanda yang oleh Sartono Kartodirjo disebut sebagai religious revival atau kebangkitan agama, mulai dari Diponegoro, Imam Bonjol, dan lainnya,” jelasnya.

“Pemberontakan yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, seperti Geger Cilegon itu adalah pemberontakan kaum ulama”. (T/P002/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: kurnia

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0