Penembakan Khalid Jabara, Simbol Kebencian Kepada Muslim

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pembunuhan terhadap warga Amerika Serikat berdarah Lebanon bernama Khalid Jabara (37) seketika menjadi berita utama di seluruh dunia. Sebab, pembunuhan itu merupakan puncak dari kebencian seorang tetangga yang selama setahun lebih memusuhi keluarga Lebanon yang dianggapnya keluarga Muslim.

Padahal sesungguhnya, keluarga Jabara adalah keluarga yang berkeyakinan Kristen Ortodoks.

Karena selama ini tetangga yang bernama Stanley Vernon Majors (61) menyangka keluarga Jabara adalah Muslim, dia sering kali mencaci keluarga Jabara dengan sebutan “Arab kotor”, “Lebanon kotor”, dan “Muslim”.

Khalid Jabara (37) seorang warga Amerika Serikat berdarah Lebanon beragama Kristen Ortodoks. (Foto: Facebook)
Khalid Jabara (37) seorang warga Amerika Serikat berdarah Lebanon beragama Kristen Ortodoks. (Foto: Facebook)

Kronologis Penembakan Khalid Jabara

Pada Jumat malam, 12 Agustus 2016, ayah Khalid yang bernama Mounah Jabara segera menelepon 911 setelah ia mendengar suara tembakan dan melihat Khalid terluka parah di pintu depan rumah mereka.

“Saya perlu bicara dengan polisi. Seseorang menembak anak saya,” kata Mounah Jabara di malam itu.

Khalid Jabara telah ditembak mati di teras depan rumahnya oleh Majors tetangganya.

Menurut media Tulsa World, ada dua panggilan telepon yang dilakukan oleh Khalid selama kurang dari dua jam sebelum ia ditembak.

Baca Juga:  Muslim Wajib Tahu, Asal Mula Nama Palestina

Pada bagian pertama, pada pukul 17:02 waktu setempat (Oklahoma, AS), Khalid melaporkan bahwa ia mendengar seseorang mengetuk jendela rumahnya di blok 9300 South 85 East Avenue.

Telepon kedua dilakukan pada pukul 17:37 waktu setempat. Khalid melaporkan bahwa Majors menembakkan pistol ke suatu tempat di rumahnya sendiri.

Dari hasil laporan Khalid itu, dua petugas polisi tiba di rumah Majors pada pukul 18:26. Namun, polisi kembali pergi pada pukul 18:40 setelah Majors tidak menjawab ketika pintunya diketuk.

Pada pukul 18:48, polisi menerima telepon dari ayah Khalid yang melaporkan bahwa anaknya telah ditembak.

Polisi Tulsa Sersan Shane Tuell mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan pengawasan menjawab dua panggilan darurat Khalid Jabara tak lama sebelum ia ditembak mati.

Awalnya, polisi tidak bisa berbuat banyak. Secara hukum mereka harus melihat langsung pelaku melakukan serangan atau penembakan untuk menangkap tersangka, atau mewawancarai saksi yang melihat tindakan kejahatan tersebut. Terlebih penyerangan dan penggunaan senjata api adalah kejahatan ringan di Tulsa. Sedangkan menurut laporan ayah Khalid, dia tidak melihat, hanya mendengar tembakan dan melihat anaknya meninggal di teras rumah.

“Saya berharap kami bisa berbuat lebih banyak. Tangan kami benar-benar terikat secara hukum, dengan apa yang bisa kita lakukan selanjutnya,” kata Sersan Tuell.

Baca Juga:  Ammo Baba, Pelatih Bola Legendaris Irak

Menurut rekaman ketiga 911, Mounah Jabara menelepon operator dengan menangis terengah-engah dan panik. Sebagai prosedur, operator mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengkonfirmasi yang sulit dijawab oleh Mounah Jabara.

“OK. Apakah dia telah ditembak?” tanya operator.

“Ya, ya. Di lantai. Tetangga kami!” jawab Mounah panik.

“Berapa menit yang lalu hal ini terjadi?” tanya operator.

“Baru saja! Sekarang!” jawab Mounah dengan suara beraksen Lebanon. “Depan pintu, tolong.”

Operator lalu meminta ciri ras dan usia tersangka. Mounah Jabara menjawab, “Kulit putih, tetangga sebelah, mungkin 60, 65 tahun.”

Kemudian petugas operator menekankan pada rincian tentang pakaian dan senjata yang dipakai tersangka.

“Saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengatakan. Saya tidak bisa melihat. Anak saya di lantai. Saya tidak bisa pergi karena saya takut ditembak,” kata Mounah. “Dia pergi. Dia adalah tetangga sebelah. Saya tidak melihatnya. Saya mendengar tembakan. Saya mendengar tembakan. Saya takut dia akan datang.”

Ketika ada suara wanita terdengar di belakang Mounah, operator meminta untuk berbicara dengannya.

Ketika wanita di rumah Jabara itu memegang telepon, ia berteriak kepada operatos, “Tolong cepat! Dia berdarah, dia berdarah begitu banyak!”

Baca Juga:  Sejarah Hardiknas, Mengenang Bapak Pendidikan Indonesia 

Wanita itu menyebut nama Tuhan beberapa kali.

Ketika petugas operator bertanya kepadanya, apakah ia telah melihat tetangganya yang melakukan itu, wanita itu menjawab, “Saya melihat dia berjalan masuk. Saya tidak melihat dia menembaknya.”

Demikianlah kondisi di saat penembakan itu terjadi yang pada akhirnya membuat Khalid Jabara meninggal.

Dalam pernyataan publik dan unggahan status di media sosial, anggota keluarga Jabara telah mengeluhkan bahwa sistem peradilan pidana mengecewakan mereka.

Tersangka Anti-Muslim

Jaksa Steve Kunzweiler mengatakan bahwa dia tidak tahu apa lagi yang keluarga Jabara bisa lakukan untuk menghindari tragedi itu.

Sebelumnya, jaksa telah berusaha membuat Majors tetap di penjara karena ia menunggu persidangan atas sejumlah dakwaan terhadapnya, termasuk penyerangan dengan senjata mematikan dan melanggar perintah perlindungan.

Dakwaan terhadap Majors berasal dari kasus pada September 2015, ketika Majors dituduh melanggar Haifa Jabara – ibu Khalid Jabara – dengan mobilnya di tikungan jalan.

Meskipun jaksa menyebutnya “risiko besar kepada publik”, Majors dibebaskan bersyarat setelah delapan bulan penjara. Ketika dia dibebaskan pada bulan Mei, ia kembali ke rumah di sebelah keluarga Jabara.

Menurut catatan pengadilan, Majors memiliki sejarah rasisme anti-Arab terhadap keluarga Jabara dan sejarah kekerasan di Southern California.

Pembunuhan Majors terhadap Khalid Jabara yang dianggapnya Muslim adalah salah satu bentuk betapa besarnya kebencian sebagian warga AS kepada Islam. (P001/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.