Pengungsi Pilih Eropa, Bagaimana Komitmen Negara Teluk?

afta peci putihOleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Sungguh tragis, seperti dilaporkan The Global Peace Index, saat ini lebih dari 9,5 juta warga atau sekitar 43 persen dari populasi penduduknya, melarikan diri mengungsi ke luar negeri akibat perang saudara di negerinya sendiri.

Lebih dari 4 juta di antaranya menjadi () di kamp-kamp pengungsian negara-negara tetangganya, seperti ke Turki (1,8 juta) dan ini menjadi negara paling banyak menampung pengungsi Suriah, lalu Lebanon (1 juta), Jordania (625 ribu), Irak (250 ribu), dan Mesir (135 ribu).

Kondisi mereka pun kini mulai terancam, seperti di Turki, walaupun Presiden Erdogan membuka lebar-lebar kebijakan menerima pengungsi Suriah. Namun, dengan semakin membanjirnya migran itu, Turki dan lembaga pengungsi PBB UNHCR yang membantu menanganinya, sudah menyatakan kewalahan dan kekurangan dana. Berulangkali petugas keamanan Turki mulai menutup pintu perbatasan dari serbuan pengungsi.

Lebanon, negara kecil tetangga Suriah dengan berpenduduk 4,5 juta juga mulai kewalahan menampung lebih 1,2 juta pengungsi asal Suriah. Jordania, nasib pengungsi di kamp semakin tak menentu, bahkan kadang bentrok dengan petugas keamanan setempat.

Irak, lebih-lebih lagi, apalagi saat ini mengalami nasib serupa, konflik berdsarah di dalam negeri. Membuat para pengungsi pendatang juga tidak aman, yang sewaktu-waktu dapat menjadi korban.

Terakhir, Mesir, negeri yang baru pulih dari konflik dalam negeri berkepanjangan sebagai dampak Musim Semi Arab, menampung sekitar 135.000 pengungsi perang saudara Suriah. Walau kondisi pengungsi tidak terlalu bagus, tapi paling tidak mereka selamat dari brutalitas konflik bersenjata di negara mereka.

Refugees arrive at the train station in Saalfeld, central Germany, Saturday, Sept. 5, 2015. Hundreds of refugees arrived in a train from Munich to be transported by busses to an accomodation centre. (AP Photo/Jens Meyer)
Pengungsi Suriah tiba di Jerman (Indianexpress)

Pilihan

Ratusan ribu warga Suriah belakangan terpaksa mulai mencari daerah pengungsian ke daratan Eropa. Di antaranya ke Italia, Yunani, Hongaria, Jerman, Austria, Inggris, Swedia, Kanada, dan lainnya.

Prediksi dari Organisasi Internasional untuk Migrasi IOM (International Organization for Migration), setidaknya 350 ribu telah mencapai perbatasan Uni Eropa sejak Januari-Agustus 2015.

Baca Juga:  Ustadz Adi Hidayat, Pakar Al-Qur’an yang Langka

Sementara 270.000 orang lainnya sedang mengajukan aplikasi suaka ke negara-negara Eropa. Tidak termasuk jutaan lainnya yang tidak terdeteksi. Konflik yang tak kunjung usai, semakin membuka peluang lebih banyak lagi warga Suriah yang mengungsi.

Menurut catatan BBC News, sejauh ini Jerman menjadi negara yang paling antusias untuk menampung pengungsi Suriah, dengan menyediakan 800.000 pengungsi tahun ini.

Serbia menampung 90.000 migran sepanjang tahun ini, dan 34.000 di antaranya terdeteksi mencoba menyeberang ke Hongaria. Sekitar 3.000 orang lainnya diperkirakan menyeberang ke Makedonia setiap hari. Austria juga mengatakan mereka mengharapkan 80.000 aplikasi suaka pengungsi tahun ini.

Negara-negara Uni Eropa lainnya berkomitmen menerima 60.000 pengungsi.Belakangan menyusul beberapa negara siap menampung, seperti Inggris, Australia.

Komitmen Uni Eropa didukung oleh Paus Fransiskus yang kemudian meminta semua jemaah gereja, komunitas agama, dan biara di Eropa untuk menampung satu keluarga pengungsi.

Tindakan minor justru kemudian datang dari Hongaria dengan membuat kebijakan kontroversi, yaitu dengan membangun pagar kawat berduri sepanjang 175 km di perbatasan. Negara ini bermaksud untuk membentengi masuknya pengungsi baru, dan bahkan juga mendesak mitra Uni Eropa untuk tidak mengirim kembali para migran ke Hongaria.

Namun walaupun ada komitmen seperti itu, menurut Perdana Menteri Turki Ahmed Davutoglu, jumlah pencari suaka yang diambil Eropa itu masih terlalu sedikit.
Davutoglu membandingkan dengan negaranya yang telah menampung hampir dua juta orang pengungsi dari Suriah dan Irak.
ia juga mengecam Perdana Menteri Hongaria yang baru-baru ini mengingatkan pengungsi Muslim dalam jumlah besar dapat mengancam kebudayaan Kristen Eropa.

Alasan Memilih Eropa

Pertama, adanya harapan hidup lebih baik. Branko Milanovic, ekonom Serbia-Amerika, yang pernah menjabat di Departemen Penelitian Bank Dunia, mengatakan alasan bahwa di Uni Eropa paling tidak ada harapan hidup lebih besar dibandingkan hidup di negeri sendiri yang sedang berperang. Alasan lainnya, adanya peluang menjadi buruh kasar, sekalipun dengan upah minim, memaksa memilih Eropa sebagai harapannya juga.

Baca Juga:  Guinea Berpenduduk Mayoritas Muslim, Sepak Bola Olahraga Populer

Kedua, masalah visa. Alasan lainnya, mengapa lebih memilih mengungsi menantang ganasnya Laut Mediterania untuk menuju Eropa daripada berpindah ke negara Arab di kawasan Teluk yang dikenal dengan kekayaannya yang melimpah, adalah soal visa.

Menurut sejumlah laporan yang ada menunjukan bahwa kebanyakan pemerintahan negara- mencegah para pengungsi Suriah untuk mendapatkan visa masuk ke negara-negara Arab, kecuali Aljazair, Mauritania, Sudan dan Yaman.

Belum lagi kepentingan politik kawasan, yang menjadikan negara-negara kaya minyak itu ada yang mendukung revolusi yang berjalan di Suriah, dan di sisi lain ada sejumlah negara yang mendukung rezim Bashar Al Assad.

Soal sulitnya visa, malah Uni Emirat Arab akan memberikan denda sebesar 50 ribu dirham UEA (atau sekitar Rp192 juta) kepada setiap perusahaan yang memperkerjakan warga Suriah yang tidak memiliki visa. Sedangkan ke eropa lebih bebas visa.

Ketiga, buruknya kamp pengungsian di negara-negara Arab. Situasi ekonomi dunia dan terbatasnya anggaran bantuan pengungsi, ditambah beban biaya negara bersangkutan, menjadikan kamp buat m,ereka tidak terurus dengan maksimal. Ini terjadi seperti di kamp pengungsian Lebanon, Irak, dan Jordanian.

kamp suriah alarabalyawm
Kamp pengungsi Suriah di Zaatari, Jordania (Alarabalyawm)

Bagaimana Negara Teluk?

Secara garis besar, belum ada komitmen nyata yang ditunjukkan oleh sebagian besar negara-negara di kawasan Teluk Arab dalam menyikapi keberadaan jutaan pengungsi warga negara tetangganya itu.

Dari sikap politik saja dapat terlihat bagaimana negara-negara yang notabene kaya minyak itu membuat kebjikan. Seperti dikatakan Wakil Kepala Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Catham House London, Jane Kinninmont, bahwa negara-negara Teluk Arab bukan penandatangan konvensi internasional mengenai hak-hak pengungsi seperti yang dilakukan negara barat.

Walaupun Kinninmont menambahkan, tidak semua negara Teluk Arab berpaling dari penderitaan pengungsi Suriah. Negara seperti Kuwait menjadi donor terbesar bagi pengungsi itu. Kuwait juga menjadi negara keempat terbesar di dunia dalam hal menyalurkan dana sumbangan bagi pengungsi Suriah.

Namun untuk menampung pengungsi, tampaknya masih jauh panggang dari api. Dalam hal visa saja misalnya, seperti laporan Amnesti International menunjukkan, bahwa ada enam negara di kawasan Teluk yang diminta menerima visa pengungsi asal Suriah. Negara-negara tersebut adalah : Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Oman dan Bahrain. Namun ,ereka tidak mengeluarkan visa para pengungsi itu.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, Aksi Solidaritas Palestina Menggelora di Berbagai Kampus Indonesia

“Tidak ada pemukiman untuk pengungsi Suriah,” kata Kenneth Roth, direktur eksekutif Human Rights Watch, menyebut jawaban mereka.

Itu tentu jawaban yang mengejutkan, mengingat negara-negara tersebut sebenarnya relatif lebih dekat dengan Suriah, serta sumber daya dana yang luar biasa yang mereka miliki.

Sultan Sooud al-Qassemi, seorang komentator politik yang berbasis di Dubai, mengamati, negara-negara di kawasan Teluk memiliki biaya yang sangat mencukupi. Namun, menjadi ironi sebab tak satu pun dari negara-negara itu adalah penandatangan PBB Konvensi Pengungsi 1951, yang menyebutkan kewajiban menampung para pengungsi serta kewajiban negara untuk melindungi mereka.

Ishaan Tharoor, reporter The Washington Post menulis dalam kritiknya, seperti negara-negara Eropa, Arab Saudi dan negara-negara tetangganya juga memiliki kekhawatiran atas pendatang baru mengambil pekerjaan dari warga, dan juga dapat memanggil kekhawatiran tentang keamanan dan terorisme.

Padahal negara-negara Teluk secara teori memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk menangani sejumlah besar pengungsi dari Suriah dibanding negara tetangganya yang lebih miskin, Lebanon dan Jordania.

“Tak sesuai dengan konstruksi raksasa menara berkilauan di Dubai, Abu Dhabi dan Riyadh, dan kemapuan Arab Saudi yang sebenarnya sudah terbiasa mengelola sejumlah besar pendatang, seperti jutaan jamaah haji tiap tahunnya,” ujarnya.

Sultan Sooud al-Qassemi, mendesak bahwa sekaranglah waktunya bagi Teluk untuk mengubah kebijakan mereka mengenai menerima pengungsi dari krisis Suriah.

“Ini adalah langkah moral, etis dan bertanggung jawab untuk segera diambil,” ujarnya.

Harapan

Semoga ada komitmen baru dari negara-negara di kawasan Teluk, dengan karunia kekayaannya, untuk menerima para pengungsi, dengan lebih memilih pertimbangan moral, etis, dan persaudaraan sesama bangsa Arab, bahkan sesama warga Muslim khususnya, dan sesama manusia pada umumnya. Daripada harus memilih pertimbangan kepentingan politis yang cenderung tidak memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan sesama. Insya-Allah. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0