Oleh: Dr. Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH & SDA MUI)
Aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan telah merusak planet ini dan jika kita tetap dengan gaya hidup serta pola produksi dan konsumsi seperti saat ini. Diperkirakan ekosistem bumi akan runtuh yang dibarengi dengan punahnya keanekaragaman hayati serta diikuti dengan binasanya kehidupan.
Krisis iklim merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia karena memperburuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, persediaan air, ketahanan bencana alam dan perdamaian dalam skala nasional dan dunia.
Kita hidup di dunia yang saling berhubungan. Kekeringan, banjir atau bencana di satu bagian dunia dapat mengganggu rantai pasokan dengan implikasi serius bagi orang miskin serta rentan seperti wanita dan anak-anak.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Kita tidak bisa lagi menggantungkan dan berharap bahwa sains dan teknologi saja bisa menyelesaikan masalah-masalah lingkungan hidup yang mendesak.
Kita memerlukan sistem tata kelola lingkungan baru yang melibatkan seluruh spektrum masyarakat serta penggunaan pendekatan inovatif untuk perlindungan lingkungan hidup berdasarkan perubahan perilaku dan etika tata kelola lingkungan.
Kita perlu terus menekankan dan mendorong koherensi, integrasi, dan koordinasi di semua tingkat tata kelola lingkungan. Ini termasuk merespon secara kolektif terhadap krisis internasional – termasuk pandemi seperti COVID-19; dan dukungan untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana kita dapat membangun kembali tata kelola lingkungan global untuk lingkungan dan perubahan iklim yang lebih baik?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Mengingat bahwa krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial, maka nilai dan etika memegang peran kunci untuk merubah sistem sosio-ekonomi yang tidak berkelanjutan untuk merubah perilaku serta pola konsumsi dan produksi yang mendominasi sebagian besar kerusakan bumi.
Untuk membuat aktivitas manusia global lebih berkelanjutan diperlukan kembali nilai-nilai, kepercayaan dan etika hubungan manusia dengan alam.
Nilai dan etika ini sebagian besar akan diinspirasi oleh iman.
Terlepas dari keragaman agama dan kepercayaan, hampir semua agama memiliki kesamaan etika yang didasarkan pada keharmonisan dengan alam dan kewajiban melestarikannya untuk kelangusngan kehidupan.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Oleh karena itu, di masa degradasi lingkungan global yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, diperlukan etika lingkungan baru yang didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki bersama secara universal, yang menempatkan nilai lebih besar pada alam yang berhubungan dengan keyakinan spiritual.
Etika lingkungan secara kolektif tidak berarti menyamakan perspektif agama. Melainkan saling menghargai keragaman beragama dalam menciptakan gagasan umum tentang kewajiban moral untuk melindungi lingkungan yang dapat menjembatani serta menggabungkan pengetahuan, dan praktik yang diberikan dari berbagai agama. Tujuannya agar manusia dapat hidup selaras dan harmoni dengan alam dan dengan sesamanya secara berkelanjutan.
Kaum muda di seluruh dunia saat ini tidak hanya menentang dinamika ketidakadilan lingkungan, tetapi juga telah turut mengatur dan menentukan arah menuju realitas baru. Masyarakat sipil, sektor swasta dan umat beragama, juga telah mengambil peran lebih aktif karena pemangku kepentingan telah menciptakan ruang politik untuk melibatkan mereka menangani lingkungan, hak asasi manusia, bisnis, dan organisasi lain dalam proses pengambilan keputusan.
Kami juga banyak melibatkan organisasi pemuda berbasis keagamaan baik nasional dan internasional. Misal MUI dengan Youth Organization of Islamic Countries.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Pada sambutan acara pembukaan Konferensi Internasional “Agama, Perdamaian, dan Peradaban” Majelis Ulama Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia KH. Ma’ruf Amin menyampaikan pentingnya membangun peradaban dilandaskan pada kesadaran bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh), yang diberi tugas (mandat) untuk mengelola dan membangun bumi serta peradabannya.
Manusia bertanggung jawab untuk memakmurkan bumi termasuk mengendalikan perubahan iklim yang telah menjadi perhatian seluruh negara dunia.
Selain itu, peradaban yang dibangun harus pula didasarkan pada dimensi Ketuhanan (rabbâniyyah, teosentris) dan juga dimensi kemanusiaan (insâniyyah, antroposentris).
Peran ilmu pengetahuan (sains) sangat penting dalam upaya membangun peradaban, dan bahkan ia berfungsi sebagai kunci peradaban.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Tidak benar anggapan bahwa ilmu pengetahuan menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Sumber kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini adalah nafsu serakah manusia yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan.
Kekuatan spiritual dan juga kekayaan berwujud maupun tidak berwujud organisasi berbasis agama dapat menjadi kekuatan untuk penerapan solusi berbasis alam mengingat sumber daya di bawah kendali mereka dan pengaruh pendidikan yang dimilikinya.
Pengaruh sosial, ekonomi dan politik, kredibilitas, serta pengaruh dengan pengikutnya merupakan sumber daya yang dapat membentuk perubahan perilaku masyarakat.(AK/R1/P1)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti