PERJALANAN PEMBEBASAN UNTUK KEMANUSIAAN DI MYANMAR

Relawan MER-C Ichsan Thalib (kanan) bersama Staf Kedutaan RI untuk Myanmar di depan Candi Koe Thaung yang mirip Candi Borobudur kecil. (Foto: MER-C)
Relawan (kanan) bersama Staf Kedutaan RI untuk di depan Candi Koe Thaung yang mirip Candi Borobudur kecil. (Foto: Doc. MER-C)

Oleh: Drs. Ichsan Thalib, Komisaris Radio Silaturahim dan Divisi Konstruksi Lembaga Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C)

Menuju pelabuhan dari Sitwee Hotel. Menyusuri Kota Sitwee dalam kesejukan pagi bersama Tim (dr Joserizal Jurnalis dan dr Tonggo Meaty) beserta Pak Sigit Wicaksono dan Kinzana dari Kedutaan Besar RI di Yangoon.

Dengan difasilitasi boat berkekuatan besar, kami keluar dari pelabuhan menuju pesisir. Sebelum perjalanan ini, Pak Ito Sumardi, Duta Besar RI untuk Myanmar, selalu memantau melalui telepon hingga boat bergerak pergi.

Selama 25 menit mengarungi Pantai Sitwee, barulah masuk ke sungai besar yang lebarnya 2 km menuju Minbya. Selain membawa bantuan, kami juga ingin memastikan lokasi tanah yang akan didirikan Indonesia Health Centre (IHC).

Rencana pembangunan klinik yang dinamai Indonesia Health Center (IHC) itu dilakukan karena sampai saat ini masih ada kamp pengungsi dan berdekatan dengan sekolah yang telah dibangun pemerintah Indonesia sebelumnya.

Pemerintah Myanmar telah memberikan izin bagi lembaga kemanusiaan MER-C melakukan misi untuk yang ketiga kalinya ke negara itu karena dikenal sebagai lembaga yang netral dalam memberi bantuan kemanusiaan.

Inilah perjalanan dalam misi kemanusiaan untuk Islam yang rahmatan lil alamin (kasih bagi semesta alam).

Setelah perjalanan satu jam, hujan mulai mengguyur boat kami, penumpang sebagian besar ambil posisi di tengah boat menghindari terpaan hujan, seiring di tengah raungan mesin Yamaha macam macan lapar.

Pemandangan datar menjadi pendamping perjalanan di kanan kiri sungai. Awan putih berarak, terkadang sangat dekat.

Hijau kanan dan kiri padi yang ditanam sepanjang perjalanan. Tanah di Myanmar umumnya milik negara. Negeri berpenduduk lebih dari 52 juta jiwa ini adalah negeri swasembada beras, bahkan di ekspor.

Perjalanan sudah hampir dua jam, udara kembali cerah tatkala matahari mengintip. Sisi kiri sungai hamparan datar, kanannya terlihat pegunungan.

Mesin boat terus meraung-raung memecah air sungai yang berwarna kecoklatan akibat gerusan tanah dari hulu sungai yang baru dua pekan lalu mengalami kelebihan beban banjir.

Kami pun menyaksikan banyak sapi berwarna coklat berbaris diikat di pinggiran  jalan. Mungkin karena banjir, sehingga sapi yang merupakan binatang khas umat Buddha tersebut harus ditempatkan di daerah aman agar terhindar dari bencana.

Akhirnya kami tiba di pinggir jembatan panjang berkonstruksi besi yang terbentang sepanjang 700 meter.Di sampingnya pelabuhan kecil, di mana telah berdiri 15 orang pejabat daerah setempat menyambut kedatangan rombongan.

Hanya sejauh lima menit perjalanan, sampailah di sekolah yang ditempati oleh 182 siswa untuk tujuh kelas.

Sekolah dua lantai cukup besar itu dibangun dua tahun lalu oleh Pemerintah Indonesia. Dua pekan lalu sekolah ini juga terendam air setinggi satu meter, sehingga lantai dua berfungsi sebagai tempat pengungsian.

Sekolah awal yang kami kunjungi khusus untuk siswa Buddha. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke sekolah yang jaraknya 500 meter, khusus untuk Muslim dengan 352 siswa, satu kelas masing-masing 50 siswa yang didukung dengan lima orang guru untuk kelas 1-5.

Proses belajar mengajar menggunakan bahasa Myanmar.

Tim MER-C bersama staf KBRI di Myanmar naik perahu menuju Minbya, Rakhine State, Myanmar, Jumat, 28 Agustus 2015.(Foto: Doc. MER-C)
Tim MER-C bersama staf KBRI di Myanmar naik perahu menuju Minbya, Rakhine State, Myanmar, Jumat, 28 Agustus 2015.(Foto: Doc. MER-C)

Ruang kelas berukuran 8 x 12 meter. Total ada enam kelas untuk sekolah Buddha, di mana setiap lantai ada tiga kelas. Sementara untuk sekolah anak Muslim, kelasnya hingga kelas 5. Kelas hanya sampai 5, karena siswa Muslim tidak diberi hak kelulusan oleh pemerintah Myanmar.

Dengan ceria bocah-bocah Muslim yang berkulit hitam itu menyambut kami, bernyanyi dengan bahasa Myanmar.

Saat ingin meninggalkan lokasi, Kepala Sekolah bernama Muhammad alias Maung Lajo, menawarkan kami makan di rumahnya, namun Pemda telah mengatur agenda makan kami. Akhirnya Kepala Sekolah hanya berpesan agar kami selalu mendoakan mereka di sini.

“Salam untuk saudaraku Muslim di Indonesia,” katanya kepada kami.

Dengan kondisi medan yang becek akibat banjir dua pekan lalu, kami meninggalkan sekolah yang hanya berjarak 2 km dari sungai besar yang mengaliri Desa Minbya.

Di tepi pelabuhan ada rumah khusus untuk menyambut tamu Pemda. Siapa pun tamunya pasti di suruh makan di situ. Menunya unik, hanya nasi dengan telur dadar, plus teh Myanmar yang dicampur susu. Nasi yang disajikan dari tanaman tanpa bahan kimia dalam penanamannya.

Makanan ini bukti pola hidup sederhana warganya, maklum Rakhine State, area yang paling miskin di Myanmar dengan penduduk tiga juta jiwa dan etnis Muslim Rohinya sekitar satu juta jiwa. Di Minbya, antara Muslim dan Buddha prosentasnya 50/50 dengan total jumlah penduduk 190.000 jiwa.

Di desa yang tanpa hotel ini memiliki masjid untuk shalat Jumat bagi komunitas Muslim dan ada sebuah comunity center. Masyarakat di Minbya umumnya petani dan nelayan.

Pembelian Tanah untuk IHC

Tanah yang dibeli MER-C seluas 4.000 meter persegi di Mrauk-U, Rakhine State, Jumat, 28 Agustus 2015.(Foto: Doc. MER-C)
Tanah yang dibeli MER-C seluas 4.000 meter persegi untuk pendirian Indonesia Health Centre (IHC) di Mrauk-U, Rakhine State, Jumat, 28 Agustus 2015.(Foto: Doc. MER-C)

Usai shalat Jumat, barulah kami menuju lokasi tanah yang akan dibangun Indonesia Health Centre di Mrak-U.

Beriringan enam kendaraan jeep kami melintasi area persawahan yang baru saja digulung oleh banjir. Di kanan dan kiri jalan, sepanjang mata memandang, terlihat sawah yang puso dan barisan lumbung padi yang terlihat hancur tergerus air

Melaju 60 km per jam di jalan berlubang, debu mengepul di belakang melepas perjalanan kami.

Setelah 45 menit perjalanan, sampailah kami di lokasi. Di antara desa Muslim bernama Site dan Desa Nanja  yang berpenduduk Buddha. Pemerintah memberikan 4.000 meter persegi untuk pembangunan IHC, daerah yang masih porak poranda karena banjir. Jumlah penduduk di desa Buddha sekitar 1.700 jiwa dan di desa Muslim sekitar 650 jiwa.

Tanah untuk IHC yang harus dibayar kepada pemerintah ini berlokasi di pingir jalan utama antara Yangoon ke Sitwee, di belakangnya sungai besar yang berfungsi juga sebagai sungai transportasi.

Mengingat terbatasnya waktu yang dimiliki Tim MER-C, dr Joserizal selaku pimpinan tim kami, meminta urusan pembelian dibereskan hari itu juga. Maka dipanggillah pemilik untuk bertemu di kantor pemda.

Proses pembayaran tanah tersebut langsung dilakukan satu jam setelah survei. Karakter orang Myanmar cenderung bisa dipercaya sebagian besar dalam memegang amanah.

Setelah dibayar, tanah pun harus dikosongkan oleh penggarapnya. Pada prinsipnya tanah di Rakhine seluruhnya milik negara.

Pemilik kemudian mengajak kami ke Candi Koe Thaung yang dapat dikatakan mirip Candi Borobudur.

Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah Subhana Wa Ta’ala, semua urusan dimudahkan, tinggal sekarang harus cari kontraktor dan legalitas notaris dan penerjemah.

Sopir membisikkan jam sudah pukul tiga sore, kita harus segera pulang, karena kalau kemalaman boat sukar menembus ombak laut. Semoga Allah memberkahi perjalanan ini. Amiin. (P001/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0