Presiden Tandatangani PP Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Jakarta, MINA – Presiden Joko Widodo telah menandatangani  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 yang mengatur tata cara kebiri kimia bagi pelaku terhadap anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan penerbitan PP ini diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku.

Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia masih tergolong tinggi, mencapai 5.640 kasus sepanjang 1 Januari-11 Desember 2020.

“Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia,” kata Nahar melalui keterangan pers, di Jakarta, Senin (4/1).

PP 70/2020 ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang memungkinkan lembaga peradilan menjatuhkan hukuman kebiri.

Di dalam PP tentang kebiri kimia, pelaku kekerasan seksual didefinisikan sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak.

Tindakan kebiri kimia sendiri merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain terhadap pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memaksa anak bersetubuh dengannya atau orang lain.

Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.

Nahar menuturkan tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

PP ini juga mengatur pemasangan alat pendeteksi berupa gelang elektronik dan pengumuman identitas pelaku yang bisa dikenakan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.

Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik ini harus dilaksanakan paling lama dua tahun setelah terpidana menjalani pidana pokok.

“Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia,” jelas Nahar.

Selain itu, tindakan kebiri kimia juga akan disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual pelaku.

Nahar melanjutkan, pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, serta rehabilitasi akan dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi atas perintah Jaksa.

Pada Agustus 2019, Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan vonis tambahan kebiri kimia terhadap Muhammad Aris, yang merupakan pelaku pemerkosa sembilan orang anak.

Ini merupakan kali pertama lembaga peradilan di Indonesia menjatuhkan hukuman kebiri sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak.

Aris juga divonis pidana pokok selama 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Namun pada saat itu, tindakan kebiri kimia belum bisa dilaksanakan karena belum ada aturan turunan dan petunjuk teknis mengenai pelaksanaannya.

Vonis tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak. Amnesty International Indonesia saat itu menyatakan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus dihukum seberat-beratnya, namun bukan berarti hukuman yang diberikan bersifat kejam, tidak manusiawi, dan melanggar hak asasi manusia. (R/R4/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: kurnia

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.