Sang Mutiara itu- 5 (Oleh: Shamsi Ali*)

Aspek kedua dari ketauladanan kita kepada baginda Rasul adalah aspek ritual atau ubudiyahnya. Bahwa dalam melakukan ibadah-ibadah ritual dalam Islam disyaratkan apa yang disebut “tawqiifi” atau berhenti melakukan sesuatu secara ritual kecuali memang diperintahkan, baik melalui ayat-ayat Al-Quran maupun sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam.

Memang secara umum agama mengatur bahwa semua urusan Ibadah ritual harus dilakukan dengan dua dasar, yaitu niat yang benar dan mengikut kepada tatacara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam dalam melakukannya (al-ittiba’).

Dan karenanya menauladani Rasulullah dalam melaksanakan Ibadah ritual adalah sebuah keharusan. Ibadah-ibadah ritual yang dilaksanakan tidak sesuai sunnahnya jelas tertolak (fahuwa raddun).

Masalahnya kemudian adalah bahwa dalam upaya kita menauladani Rasul dalam Ibadah-Ibadah ritualnya juga tidak Lepas dari adanya multi tafsir dan opini. Karena ketika sudah masuk dalam ranah teknis, diperlukan penjelasan-penjelasan rincian dari acuan Ibadah itu.

Contoh dalam Al-Quran sebagai misal, perintah mengusap Kepala dengan tangan basah (imsahuu biruusikum) ketika berwudhu. Dari ayat yang sama minimal ada empat pendapat. Tentu bagi warga Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa mengusap kepala berarti “sebagian” kepala. Cukup walau hanya tiga lembar helai rambut sekalipun.

Tapi ada pula yang berpendapat seperdua, sepertiga bahkan mengusap Kepala di sini adalah keseluruhan Kepala.

Lalu kenapa terjadi perbedaan pendapat seperti itu? Jawabannya karena memang tabiat agama ini seperti itu.

Agama ini memberikan ruang kepada pemeluknya untuk berpendapat. Sesuatu oleh banyak orang tidak hargai (appreciated). Ruang berpendapat inilah yang lebih dikenal dengan istilah ijtihad. Sesuatu yang sangat didorong (encouraged) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam.

Beliau bersabda: “Barangsiapa yang berijtihad dan benar maka dapat dua pahala. Dan barangsiapa yang berijtihad dan salah maka dia dapat satu pahala”.

Pintu ijtihad yang terbuka luas bagi para ulama inilah yang menjadikan terbukanya pintu perbedaan yang luas juga. Sesuatu dalam khazanah keilmuan yang dari dulu sangat dihargai. Hanya mereka yang gagal paham tentang agama ini yang berusaha menjegal pintu-pintu ijithad ini.

Dan sejujurnya karena terbukanya pintu-pintu ijtihad ini pula menjadikan umat terpacu untuk melakukan eksplorasi intelektualitas (keilmuan). Yang dengan ketinggian intelektualitas itu mereka telah membangun peradaban dunia yang dahsyat di masa lalu. Akar-akar pohon peradaban Islam itulah sesungguhnya menumbuhkan paradaban barat yang diakui sebagai peradaban yang berkarakter modernitas.

Sebaliknya di saat pintu-pintu ijtihad dipersempit, bahkan kebebasan berpikir dibelenggu, saat itulah terjadil kejumudan atau kebekuan intellektuakitas. Keadaan ini berakibat kepada kebekuan karya dan inovasi umat. Tentunya inilah yang kemudian membawa kepada realita yang menyedihkan. Umat terbelakang dan termarjinalkan hampir dalam segala aspek kehidupan manusia.

Kembali kepada ketauladanan (sunnah) Rasul dalam urusan ubudiyah menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari sunnah-sunnah Rasulullah. Bahkan di aspek inilah umat sangat ketat, bahkan tidak jarang mengantar kepada sikap yang mudah saling menyalahkan.

Tuduhan kurang sunnah, bahkan saling membid’ahkan seringkali terjadi dalam urusan ubudiyah ini. Padahal begitu fleksibelnya Rasulullah dalam menyikapi perbedaan-perbedaan itu. Tentu selama masih dalam batas-batas ushuul Syariah. Ushuul yang kita maksud adalah rujukan Utama agama. Yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasul.

Mungkin kisah sekelompok sahabat yang diperintah oleh Rasulullah untuk berangkat ke kota Bani Quraizhah. Perintah Rasulullah agar jangan melaksanakan sholat Ashar (dalam riwayat Muslim sholat Zhuhur) hingga sampai di kota yang dituju. Di tengah jalan sebagian tetap sholat di saat waktu Ashar telah tiba. Dan sebagian lainnya tetap mengikuti perintah Rasul untuk tidak sholat Asar.

Menyikapi itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam tidak meyalahkan salah satunya. Bahkan keduanya dibenarkan oleh beliau. Sebuah sikap yang luas, fleksibel dalam menyikapi adanya multi opini di kalangan Umatnya. Sikap yang mendahulukan aspek positif ketimbang mencari kesalahan.

Ingat, ini di saat beliau masih hidup. Beliau masih ada di tengah-tengah Umatnya. Yang pastinya ketika beliau telah memerintahkan sesuatu maka tak boleh lagi ada penafsiran. Tapi beliau justeru tidak menyalahkan mereka yang sholat di tengah jalan. Karena Rasul tahu mereka lakukan juga karena komitmen agama. Yaitu perintah Allah “sesungguhnya sholat itu ada waktu yang ditetapkan”.

Pada poin ini kesimpulan yang kita ambil adalah bahwa ketauladanan kepada Rasul dalam urusan ubudiyah harus diikuti. Tapi Pada sisi lain ketauladanan itu jangan pula merendahkan ketauladanan kita kepada beliau di aspek yang lain.

Dengan kata lain, umat harus serius dalam mengikuti sunnahnya pada urusan ubudiyah. Bersunnah kepada beliau dalam melaksanakan Ibadah-ibadah ritual. Jangan sampai dalam beribadah kita terlalu nyaman dengan kebiasaan “bertaklid buta” kepada lingkungan di sekitar kita.

Namun semangat itu jangan pula melalaikan kita dalam menauladani karakter beliau dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Karena akhirnya kembali akan terjadi prilaku paradoks. Merasa sunnah tapi melanggar sunnah sekaligus.

(Bersambung…)

*Presiden Nusantara Foundation/Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani US.

(AK/Ais/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: siti aisyah

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.