Jalur Gaza, rumah bagi dua juta orang Palestina, kerap menjadi berita. Daerah kantong sempit ini merupakan salah satu kawasan yang sangat padat penduduknya di dunia dan lebih tepat digambarkan sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”.
Gaza adalah sebuah wilayah kecil Palestina yang memiliki pemerintahan sendiri – yang kemudian diduduki Israel bersama Tepi Barat dan Yarusalem Timur, setelah Perang Arab-Israel tahun 1967.
Berbatasan dengan Israel dan Mesir di pantai Mediterania, luas Jalur Gaza sekira kota Detroit di Amerika – seluas 360 km2. Gaza menjadi bagian dari sejarah Palestina sebelum negara Isarael terbentuk tahun 1948 dan suatu proses kekerasan pembersihan etnis, mengusir ratusan ribu orang Palestina dari tanah mereka.
Gaza direbut oleh Mesir pada Perang Arab-Israel 1948 dan tetap di bawah kekuasaan negeri itu hingga 1967, ketika Israel merampas wilayah Palestina yang tersisa dalam sebuah perang dengan negara-negara tetangga Arab.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Gaza merupakan salah satu poin penting dalam konflik Palestina-Israel. Meskipun sebagian wilayahnya dikuasai Israel, Jalur Gaza terpisah dari Tepi Barat dan Yarusalem Timur ketika negara Israel terbentuk. Pembatasan-pembatasan yang dibuat Israel kemudian membagi-bagi wilayah Palestina.
Pengepungan
Blokade Israel atas Jalur Gaza yang diduduki, dalam wujudnya saat ini, telah dilakukan sejak Juni 2007 ketika Israel memberlakukan sebuah blokade dengan pertahanan yang sangat rapat di darat, laut dan udara wilayah itu.
Israel mengawasi perairan dan wilayah udara Gaza, demikian pula dua dari tiga titik perlintasan perbatasan, perlintasan ketiga dikuasai oleh Mesir.
Lalu lintas orang masuk dan keluar Jalur Gaza dilakukan lewat Beit Hanoun (dikenal oleh orang Israel sebagai Erez) melintasi Israel, dan Rafah melintasi Mesir. Baik Israel maupun Mesir telah menutup sebagian besar perbatasan itu dan bertanggung-jawab atas kemerosotan situasi ekonomi dan kemanusiaan yang sudah buruk.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Israel menginjinkan melintas lewat Beit Hanoun untuk “kasus-kasus kemanusiaan luar biasa dengan penekanan pada kasus medis darurat”. Menurut laporan PBB tahun 2016, perlintasan Rafah terus menerus ditutup sejak Oktober 2014, termasuk bagi bantuan kemanusiaan, kecuali pembukaan sebagian selama 72 hari.
Berdasarkan laporan yang sama, sepertiga permohonan ijin keluar untuk pengobatan di luar Gaza yang diajukan tahun 2016 ditolak atau ditunda oleh Israel. Tetapi, Israel sebenarnya telah membatasi lalu lintas orang-orang Palestina masuk dan keluar Gaza lebih dari 10 tahun.
Dimulai akhir tahun 1980-an bersamaan dengan meletusnya pemberontakan pertama Palestina atau intifada, Israel mulai memberlakukan larangan-larangan dengan mengenalkan sistem ijin yang diperlukan orang-orang Palestina di Gaza yang diperoleh dengan sangat sulit untuk bekerja atau bepergian lewat Israel atau akses ke Tepi Barat dan Yarusalem Timur yang diduduki.
Terutama sejak 1993, Israel telah menggunakan taktik “tutup” atas wilayah Palestina dengan sebuah basis regular, yang menghalangi seseorang atau semua orang Palestina di daerah tetentu, untuk pergi dari wilayahnya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tahun 1995, Israel membuat pagar listrik dan tembok di sekeliling Jalur Gaza, untuk memudahkan terhentinya interaksi antara wilayah Palestina yang terbagi. Tahun 2000, ketika Intifada kedua meletus, Israel menunda beberapa ijin keluar dan bekerja di Gaza, dan secara signifikan mengurangi jumlah penerbitan ijin keluar yang baru.
Tahun 2001, Israel membombardir dan menghancurkan bandara Gaza, hanya tiga tahun setelah lapangan terbang itu dibuka. Empat tahun kemudian, dalam apa yang dinamakan Israel “pelepasan” 8.000 orang Yahudi yang tinggal di pemukiman, keluar dari Jalur tersebut.
Israel menyatakan, pendudukan Gaza berakhir sejak negara itu menarik pasukan dan pemukimnya dari Gaza, tetapi hukum internasional melihat Gaza sebagai wilayah yang diduduki sejak Israel menguasai kawasan itu sepenuhnya.
Tahun 2006, Gerakan Perlawanan Islam/Hamas (IRM) memenangi pemilu dan berebut kekuasaan dalam konflik yang hebat dengan lawannya, Fatah, setelah kelompok ini menolak mengakui hasil pemilihan. Sejak Hamas berkuasa ahun 2007, Israel tambah memperkuat pengepungannya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Blokade Israel telah memutuskan hubungan orang-orang Palestina dari pusat kota utama mereka, Yarusalem, tempat rumahsaki-rumahsakit khusus, konsulat-konsulat asing, bank-bank dan layanan-layanan khusus lainnya berada, meskipun syarat-syarat dari Perjanjian Oslo 1993 menetapkan bahwa Israel harus memperlakukan wilayah Palestina itu sebagai suatu kesatuan politik, bukan dipisahkan.
Dengan larangan kunjungan ke Yarusalem Timur, Israel juga memutuskan akses umat Muslim dan Kristen Palestina ke pusat-pusat peribadatan mereka.
Keluarga-keluarga telah hidup terpisah, kaum muda dilarang untuk belajar dan bekerja di luar Gaza, dan banyak warga yang ditolak haknya untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang diperlukan.
Blokade itu sesungguhnya bertentangan dengan artikel 33 Konvensi Jenewa Ke-4, yang melarang hukuman kolektif dan mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak azasi yang luas. (RS1/P1)
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Sumber: Al Jazeera
Miraj Islamic News Agency/MINA
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung