Sulitnya Perjuangan Shahinaz untuk Cuci Darah di Gaza

Shahinaz al-Attar termasuk di antara 700 pasien yang menerima dialisis di rumah sakit yang kewalahan di Jalur Gaza. (Foto: Fedaa al-Qedra)

Oleh: Fedaa al-Qedra, jurnalis di

Butuh waktu sembilan jam sebelum Shahinaz al-Attar (27) memulai sesi dialisisnya. Dialisis merupakan prosedur yang menggantikan beberapa fungsi ginjal ketika ginjal tidak lagi berfungsi normal.

Dia meninggalkan tenda tempatnya menginap di Rafah, Gaza selatan, pada pukul 8 pagi. Setelah tiba di Abu Yousef al-Najjar, sebuah rumah sakit di kota, dia harus duduk di kursi yang tidak nyaman dan menunggu.

Shahinaz diusir dari Beit Lahiya di Gaza utara pada tahap awal perang saat ini. Dia pertama kali pergi ke al-Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, tetapi harus mengungsi ketika Israel menyerang.

Kekerasan yang dilakukan Israel sangat ekstrem hingga rumah sakit tersebut tidak dapat berfungsi lagi.

Setelah serangan terhadap al-Shifa, Shahinaz pindah ke sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) di kota selatan Khan Younis.

Dia awalnya bisa menerima dialisis di Nasser Medical Complex. Rumah sakit tersebut – juga terletak di Khan Younis – kemudian dikepung oleh pasukan Israel, dan menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi pasiennya.

Alhasil, Shahinaz kini menjalani pengobatan atas keluhan ginjalnya di Rafah.

“Sebelum perang, saya menjalani tiga kali sepekan,” katanya. “Setiap sesi akan berlangsung selama empat jam. Ketika kami dipindahkan ke Rumah Sakit al-Shifa, sesinya dikurangi menjadi tiga jam.”

Karena layanan kesehatan di Gaza berada di bawah tekanan paling parah yang bisa dibayangkan, Shahinaz kini hanya dapat menjalani dua sesi dialisis, masing-masing dua jam per pekan.

Shahinaz ditemani ayahnya saat dia mengunjungi rumah sakit untuk cuci darah.

Untuk sampai ke sana dari tendanya adalah sebuah perjuangan berat.

Seringkali diperlukan waktu satu jam sebelum mereka dapat menemukan seseorang yang akan mengantar mereka ke sana. Kadang-kadang, dia bepergian dengan truk yang penuh sesak, gerobak yang ditarik oleh binatang, atau dengan tuk-tuk.

Rumah Sakit Abu Yousef al-Najjar memiliki kurang dari 20 mesin dialisis.

Sebelum perang genosida saat ini, lembaga ini merawat lebih dari 100 pasien ginjal. Jumlah itu kini meningkat tujuh kali lipat.

Tingginya permintaan akan mesin dialisis membuat pasien harus menunggu lama sebelum bisa tertangani.

Sebagian besar obat-obatan yang dibutuhkan pasien tidak tersedia atau sangat langka.

Shahinaz hanya memiliki makanan kaleng untuk dimakan yang sama sekali tidak cocok untuk pasien ginjal. Dia harus berjuang untuk mendapatkan air bersih.

“Saya tidak punya harapan untuk bisa tetap hidup,” katanya. “Saya sangat lelah dan saya merasa jika saya tidak mati karena pengeboman tersebut, saya akan mati karena sakit.” (AT/RI-1/RS2)

Sumber: The Electronic Intifada

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.