Surat Komitmen Israel untuk Warga Gaza

yang mau tinggal di luar . (Foto: Tsafrir Abayov/Flash90)

Puluhan warga , Palestina, pada hari Selasa tanggal 25 Juli 2017, menyeberang ke dengan berbekal izin perjalanan di tangan. Namun, ketika mereka bersiap untuk naik bus pekanan dari penyeberangan Erez ke Amman, ibu kota Yordania, mereka diberi ultimatum untuk menandatangani sebuah formulir yang mengatakan, “Anda tidak akan pulang ke rumah melalui Israel setidaknya satu tahun, atau kembali ke Gaza.”

Di saat penyeberangan antara Gaza dan Mesir ditutup hampir sepanjang tahun, satu-satunya jalan keluar bagi penduduk Jalur Gaza adalah melalui Israel. Warga Palestina umumnya terbang keluar dari Amman ke tempat tujuan yang mereka inginkan di seluruh dunia, karena mereka dilarang terbang keluar dari Tel Aviv dan tidak ada bandara di Palestina.

Gisha, kelompok kemanusiaan Israel yang menangani isu-isu kebebasan bergerak warga Palestina, menggambarkan peristiwa pada 25 Juli itu dalam sebuah laporan yang diterbitkan sekitar dua pekan kemudiannya. Sementara pemerintah Israel sendiri mengakui kebenaran laporan tersebut dengan mengatakan bahwa petugas di Penyeberangan Erez mengikuti prosedur resmi.

Pada bulan Februari 2016, otoritas Israel menerapkan sebuah kebijakan baru yang mengizinkan setiap warga dari Jalur Gaza pergi ke luar negeri dengan melalui Israel ke Yordania. Izin itu adalah yang pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Namun, kebijakan baru tersebut disertai persyaratan yang ketat, yaitu warga Gaza harus berkomitmen untuk tidak pulang ke Gaza melalui Israel lagi setidaknya selama 12 bulan.

Baca Juga:  Nikah Beda Agama Kembali Mencuat di Indonesia

Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT), badan di Kementerian Pertahanan yang mengelola penyeberangan dari Gaza, dalam pos-el (email) kepada Times of Israel, untuk pertama kalinya secara terbuka menjelaskan alasannya mewajibkan warga Gaza yang bepergian ke luar negeri melalui Israel untuk tinggal selama setahun atau lebih.

COGAT berpendapat bahwa hal tersebut untuk memenuhi kewajiban Israel terhadap Gaza dengan membiarkan warga Gaza melakukan perjalanan melalui Israel, tapi risiko keamanan yang terdapat dalam kebijakan baru tersebut memerlukan batasan.

“Gerakan bebas antara Jalur Gaza ke Israel tidak dimungkinkan, termasuk melakukan perjalanan ke luar negeri,” kata COGAT.

Menurut lembaga perbatasan itu, gerakan Hamas yang disebutnya sebagai “organisasi teror pembunuh”, akan mengambil keuntungan dari masuknya penduduk Jalur Gaza ke Israel untuk melakukan tindakan teror.

“Meskipun demikian, faktanya bahwa penduduk Jalur Gaza tidak memiliki hak untuk memasuki Israel,” tambah COGAT. “Diputuskannya untuk mengizinkan masuknya mereka ke Israel hanya dalam kasus-kasus luar biasa, termasuk melakukan perjalanan ke luar negeri, dengan syarat mereka berkomitmen untuk tidak kembali ke Gaza melalui Israel setidaknya setahun lamanya. Kondisi ini ditetapkan karena kebutuhan untuk memberikan solusi atas risiko keamanan yang sering masuk ke Israel.”

Baca Juga:  Bahama Resmi Akui Negara Palestina

Hanya warga Gaza yang menyatakan pada aplikasinya bahwa mereka berniat untuk tinggal di luar negeri selama lebih dari 12 bulan yang diwajibkan menandatangani formulir komitmen. Namun, klausul ini tidak tercantum dalam prosedur yang dipublikasikan di situs COGAT.

Meskipun ada kebijakan baru, tahun lalu telah terjadi pengurangan besar-besaran jumlah izin keluar yang diberikan kepada warga Gaza oleh Israel.

Data dari Gisha pada bulan Julli mengungkapkan, otorita Israel menyetujui rata-rata 6.302 izin per bulan pada paruh pertama tahun 2017, dibandingkan dengan rata-rata 14.000 per bulan pada paruh pertama tahun 2016, terjadi penurunan 55%.

Penyeberangan Eres. (Foto: Yonatan Sindel/Flash90)

Mengomentari insiden 25 Juli, COGAT mengatakan bahwa 22 orang warga Jalur Gaza tiba di Penyeberangan Erez untuk pergi dan tinggal jangka panjang di luar negeri.

COGAT menjelaskan, jika warga Gaza tidak mau menandatangani komitmen dalam aplikasi pertamanya, sebuah “persetujuan bersyarat” akan dikirim ke Komite Sipil Palestina sebagai sebuah klarifikasi. Izin tersebut baru akan disetujui setelah menandatangani komitmen di Penyeberangan Erez.

Baca Juga:  Israel Serang Rafah Meski AS Ancam Setop Kirim Senjata

Tania Hary, Direktur Eksekutif Gisha, mengkritik kebijakan COGAT dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan kepada Times of Israel.

Ada seorang pria yang menghubungi Gisha tentang kasus tersebut. Pria yang tinggal di luar Palestina itu datang mengunjungi ibunya yang sakit di Gaza.

“Bagaimana dia bisa menjamin bahwa dia tidak perlu kembali ke Gaza dalam waktu satu tahun, jika kondisi ibunya memburuk?” kata seorang juru bicara Gisha.

Sebelum adanya kebijakan baru tersebut, warga Gaza yang diizinkan pergi melalui Israel hanyalah mahasiswa yang bepergian untuk program pendidikan tinggi dan konferensi khusus, mereka yang memerlukan perawatan medis, atau orang-orang yang bepergian dengan alasan kemanusiaan.

Setelah aturan tersebut diumumkan pada Februari 2016, setiap penduduk Jalur Gaza yang ingin memasuki Israel dan Tepi Barat demi pergi ke luar negeri, harus memberikan komitmen tertulis untuk tidak kembali ke Jalur Gaza melalui Israel dan Tepi Barat lagi minimal satu tahun lamanya.

Sejak 1996, sebagian besar warga Gaza meninggalkan Jalur Gaza melalui Rafah yang menyeberang ke Mesir. Tapi mulai tahun 2013, Mesir telah menutup penyeberangan Rafah dan hanya membukanya secara berkala beberapa hari dalam satu waktu. (A/RI-1/B05)

Sumber: tulisan Dov Lieber di Time of Israel

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.