Tragedi 10.000 Anak Pengungsi Hilang di Eropa

Seorang gadis kecil Suriah menangis. (Foto: ABC News)
Seorang gadis kecil Suriah menangis. (Foto: ABC News)

Oleh Rudi Hendrik, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pada Ahad, 31 Januari 2015, lembaga kepolisian Uni Europol mengatakan, lebih dari 10.000 dan migran tanpa pendamping telah hilang di Eropa, dikhawatirkan banyak dari mereka dibawa ke lingkaran perdagangan seks atau perdagangan budak. Jumlah tersebut dihitung selama 18-24 bulan terakhir.

Kepala Staf Europol Brian Donald mengatakan, anak-anak itu menghilang dari sistem setelah mendaftar kepada otoritas negara setelah mereka tiba di Eropa.

“Ini tidak masuk akal bahwa kita tidak menemukan anak-anak 10.000 lebih,” kata Donald kepada media The Observer. Dia menambahkan, untuk di Italia saja, sebanyak 5.000 anak telah menghilang.

“Tidak semua dari mereka masuk pidana eksploitasi, sebagian mungkin telah diteruskan kepada anggota keluarganya, tapi kami hanya tidak tahu di mana mereka, apa yang mereka lakukan atau dengan siapa mereka,” ujar Donald

Donald mengatakan, ada bukti dari infrastruktur kriminal sejak pertengahan 2014 tentang kegiatan mengeksploitasi aliran pengungsi.

Baca Juga:  Ini Untungnya Menjadi BMT yang Besar

The Observer melaporkan bahwa Europol menemukan bukti berkaitan dengan lingkaran penyelundupan yang membawa orang ke Uni Eropa dan geng perdagangan manusia mengeksploitasi migran untuk seks dan perbudakan.

“Ada penjara di Jerman dan Hungaria yang sebagian besar orang ditangkap dan ditempatkan di sana yang ada kaitannya dengan kegiatan kriminal seputar krisis migran,” kata Donald.

Tahun lalu, ada lebih dari satu juta migran dan pengungsi, mayoritas dari konflik Suriah, menyeberang ke Eropa.

“Apakah mereka terdaftar atau tidak, kita sedang berbicara tentang 270.000 anak-anak,” kata Donald.

Tak Terlihat oleh Petugas Pemerintah

Direktur program “Selamatkan Anak-Anak Italia-Eropa”, Raffaela Milano mengatakan, anak-anak yang bepergian tanpa orang dewasa adalah kelompok yang paling rentan dari aliran migrasi.

“Banyak anak di bawah umur, pada kenyataannya, membuat diri mereka ‘tak terlihat’ oleh pemerintah untuk memungkinkan mereka melanjutkan perjalanannya di Eropa, karena takut dikirim pulang,” katanya.

Banyak anak yang tiba di pulau-pulau Yunani sebelum melakukan perjalanan mencari kerabatnya di seluruh Eropa.

Laura Pappa, presiden badan amal Yunani Meta-Action, sebuah kelompok yang menyertai anak-anak yang bepergian tanpa kerabat, mengatakan bahwa mereka menghadapi nasib yang lebih buruk daripada sisa migran yang menunggu untuk direlokasi.

Baca Juga:  Bendera Palestina Berkibar di Wisuda Universitas Michigan

Dia mengatakan, mereka sering harus menunggu sekitar tujuh bulan untuk bertemu kembali dengan kerabatnya dan prosedur bisa lambat dan rumit.

“Ada sejumlah orang yang mengaku sebagai paman dan membawa anak-anak. Ini tidak mudah untuk cross check identitas ‘paman’ dalam kekacauan ini,” katanya.

Pappa mengatakan, kelompoknya telah membantu 3.000 anak sampai kepada keluarganya, tetapi itu “tidak cukup”.

Inggris adalah salah satu negara yang telah menyatakan akan mengambil migran atau pengungsi anak-anak yang telah terpisah dari orang tua mereka.

Penjaga pantai Turki mengangkat jenasah balita Suriah, Aylan Kurdi, yang meninggal tenggelam. (Foto: CNN)
Penjaga pantai Turki mengangkat jenasah balita Suriah, Aylan Kurdi, yang meninggal tenggelam. (Foto: CNN)

Kematian Berlanjut

Meskipun berisiko menghadapi kematian dan deportasi, pengungsi terus mengalir masuk ke Eropa, mempertaruhkan  nyawa mereka untuk keluar dari kemiskinan, penindasan dan konflik.

Banyak anak-anak di antara pengungsi dan migran yang telah kehilangan nyawa mereka saat mengarungi perbatasan berbahaya di Laut Mediterania.

Baca Juga:  Bendera Palestina Berkibar di Wisuda Universitas Michigan

Dalam tragedi terbaru, penjaga pantai Turki menemukan mayat perempuan dan anak-anak yang terdampar di pantai setelah perahu mereka tenggelam, menewaskan sedikitnya 37 orang.

Ketegangan terus meningkat di seluruh Benua Biru itu atas meningkatnya jumlah pengungsi. Banyak kelompok sayap kanan di Eropa menyerukan pembatasan imigrasi dan perbatasan yang lebih ketat.

Pada hari Sabtu, 30 Januari 2015, polisi Swedia mengatakan, ada puluhan pria bertopeng yang diyakini geng neo-Nazi, berkumpul di Stockholm dan membagikan selebaran yang menyerukan serangan terhadap migran muda yang sendirian.

Di Inggris, di hari yang sama, pengunjuk rasa pro dan anti pengungsi, bentrok di kota pesisir Dover. Bentrokan serupa meletus di kota Jerman selatan, Jumat, 29 Januari. Sekelompok penyerang tak dikenal melemparkan sebuah granat tangan ke tempat penampungan pengungsi.

Tahun lalu, lebih dari satu juta pencari suaka memasuki Jerman.

Krisis pengungsi telah membuat pemerintah negara-negara Eropa harus menghadapi ketegangan dari kelompok rakyatnya yang menolak kedatangan pengungsi dan migran yang notabene berasal dari negeri-negeri Muslim. Penolakan muncul didorong oleh kekhawatiran akan terjadinya Islamisasi di negara-negara Barat. (P001/R02)

Ref: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.