Tragedi Pesawat 2018 Kembali Berulang Pada 2021

Oleh: Illa Kartila, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

yang menimpa moda transportasi udara pada akhir Oktober 2018, ketika pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Air di perairan Karawang, kembali berulang manakala pesawat Boeing 737-500 juga jatuh di laut sekitar .

Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 dari Jakarta ke Pontianak, lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Sabtu 9 Januari pkl14.36 WIB. Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, pesawat Sriwijaya Air kemudian hilang kontak. “Pukul 14.37 WIB pesawat masih di ketinggian 1.700 kaki, melakukan kontak ke menara Jakarta dan diizinkan naik ke ketinggian 29.000 kaki, dengan mengikuti standar instrumen.”

Sekitar pukul 14.40 WIB, kata Budi, pesawat itu terlihat tidak mengarah ke tujuan seharusnya. Pesawat tersebut terlihat mengarah ke Barat Daya. “Karena itu ATC (air traffic control) meminta pilot untuk melaporkan arah pesawat. Tidak lama kemudian, dalam hitungan detik pesawat Sriwijaya SJ-182 hilang dari layar radar.”

Ketika hari Sabtu itu belum ada kejelasan mengenai nasib pesawat Sriwijaya Air yang hilang kontak tersebut. Kepala Seksi Pemerintahan dan Transit Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Surachman menyebutkan, nelayan Pulau Lancang sempat mendengar ledakan di sekitar lokasi jatuhnya pesawat tersebut.

Menurut dia, nelayan Pulau Lancang juga melihat pesawat jatuh ketika hujan deras mengguyur lokasi kejadian. “Nelayan sempat mendengar ledakan dua kali di bawah laut dan dia melihat pesawat jatuh, sekitar pukul 2 siang. Nelayan yang melihat jatuhnya pesawat langsung melapor ke Pemkab Kepulauan Seribu.”

Dua tahun lalu pada 29 Oktober 2018,
pesawat Lion Air PK-LQP jatuh di Laut Jawa sebelah utara Karawang, Jawa Barat. Pesawat ini diterbangkan oleh Pilot Bhavye Suneja dan kopilot Harvino dengan nomor penerbangan JT 610k dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.

Baik pesawat Lion Air maupun Sriwijaya Air, sama-sama kehilangan kontak segera setelah lepas landas dari bandara dan dua-duanya kemudian jatuh ke laut. Sesaat sebelum kehilangan kontak Lion Air minta ijin untuk kembali ke bandara, sementara Sriwijaya Air minta ijin untuk menambah ketinggian.

Diperlukan beberapa hari untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat Lion Air yang mengangkut 189 penumpang terdiri 179 orang dewasa, 1 anak, 2 bayi, 2 pilot, dan 5 awak kabin. Juga butuh waktu cukup lama untuk mencari Kotak Hitam pesawat dan mengevakuasi para korban setelah diyakini pesawat jatuh ke laut.

Sementara hanya perlu dua hari untuk menemukan titik lokasi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan antara pulau Laki dan pulau Lancang Kepulauan Seribu dengan kedalaman 16 meter sehingga mempermudah proses evakuasi. Juga sinyal kotak hitam sudah terdeteksi sejak hari kedua pencarian. Berbeda saat evakuasi kecelakaan Lion Air JT610 yang jatuh di laut Karawang, di kedalaman 30-35 meter, sehingga perlu waktu lebih lama.

Penyebab berbeda

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak yang mengangkut 62 orang itu, menambah panjang daftar pesawat komersial di Indonesia yang mengalami nasib nahas. Diantara musibah-musibah itu, ada beberapa kecelakaan yang menelan banyak korban, bahkan semua penumpangnya tewas.

Pada September 2005, pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines Penerbangan RI 091 gagal take off dari Bandara Polonia Medan dalam penerbangan menuju Jakarta, lalu menerobos pagar bandara, menabrak perumahan penduduk di Medan. Dari 117 penumpang dan awak, hanya 17 orang yang selamat. Korban tewas dari penduduk 41 orang.

Tanggal 1 Januari 2007, pesawat Adam Air Penerbangan 574 jurusan Surabaya – Manado jatuh di Selat Makassar di kedalaman lebih dari 2.000 meter. Ke-102 penumpang dan awak pesawatnya tewas.

Pada 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 terbang dari Surabaya menuju Singapura dengan membawa 162 orang. Pada 30 Desember 2014, puing-puing pesawat itu ditemukan mengapung di Laut Jawa. Tubuh manusia juga ditemukan bersamaan dengan penemuan puing pesawat.

Tanggal 1 Desember 2015, Komite Nasional Keselamatan Transportasi akhirnya mengumumkan hasil akhir investigasi, yang menyatakan bahwa rudder-travel-limiter pada bagian ekor pesawat AirAsia rusak, dan kemudian ditanggapi oleh pilot dengan kesalahan yang fatal. Miskomunikasi antar pilot dan kopilot yang berlanjut akhirnya menyebabkan pesawat jatuh.

Menurut para ahli penerbangan, banyak faktor penyebab kecelakaan pesawat dan berbeda-beda. Salah satunya cuaca buruk. Insiden kecelakaan pesawat milik Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421 pada 16 Januari 2002 misalnya, terjadi akibat menghindari awan badai. Juga jatuhnya pesawat Adam Air di Perairan Majene, Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007, lagi-lagi karena cuaca buruk yang mengakibatkan rusaknya alat navigasi.

Sebab lainnya, kegagalan mesin. Agar pesawat dapat terbang dengan mulus, rangkaian mesinnya harus dapat bekerja dengan baik, bahkan hingga ke bagian terkecilnya. Karena kerusakan yang terjadi pada bagian-bagian mesin ini akan menimbulkan konsekuensi yang besar. Itu sebabnya, pesawat terbang jenis apapun harus menjalani inspeksi ketat dan pemeliharaan keselamatan secara rutin.

Kesalahan pilot. Penyebab tertinggi terjadinya pesawat jatuh berasal dari pilot. Sekitar 50 persen kecelakaan yang berakibat jatuhnya pesawat terjadi karena pilot secara aktif terlibat dalam setiap tahapan penerbangan. Misalnya saja salah perhitungan saat melakukan pengisian bahan bakar, memperkirakan cuaca terbang, menghitung berat dan beban pesawat, atau gagal memprogram vital flight-management computer (FMC).

Pesawat merupakan mesin kompleks yang membutuhkan banyak campur tangan, bahkan saat masa krusial 11 menit yang dikenal sebagai critical eleven, awak pilot di kokpit tidak boleh diganggu kecuali dalam keadaan yang sangat darurat. Karena pada masa itu, pilot mesti berkomunikasi secara continue dengan Air Traffic Controller (ATC) untuk memastikan pesawat dapat terbang atau pun mendarat dengan aman.

Laik terbang

Menurut pengamat penerbangan Gerry Soejatma, usia pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182, sekitar 26 tahun. Jika dilihat dari umurnya, kondisi pesawat tersebut masih cukup baik.

Pendapat ini diperkuat oleh Kementerian Perhubungan yang memastikan pesawat Sriwijaya itu dalam kondisi laik udara sebelum terbang. Pesawat jenis B737-500 tersebut telah memiliki Certificate of Airworthiness (Sertifikat Kelaikudaraan) yang diterbitkan oleh Kemenhub dengan masa berlaku hingga 17 Desember 2021.

“Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan pengawasan rutin sesuai dengan program pengawasan dalam rangka perpanjangan sertifikat pengoperasian pesawat (AOC) Sriwijaya Air pada November 2020. Hasilnya Sriwijaya Air telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan,” kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati.

Sementara itu Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto menyebut, pengawasan yang dilakukan Ditjen Perhubungan Udara, meliputi pemeriksaan semua pesawat dari semua maskapai yang diparkir atau tidak dioperasikan untuk memastikan pesawat tersebut masuk ke dalam program penyimpanan dan perawatan pesawat.

Berdasarkan data yang ada, Pesawat Sriwijaya SJ-182 masuk hanggar pada 23 Maret 2020 dan tidak beroperasi sampai dengan bulan Desember 2020. Kemudian, Ditjen Perhubungan Udara  melakukan inspeksi pada 14 Desember 2020.

Selanjutnya, pada 19 Desember 2020, pesawat mulai beroperasi kembali tanpa penumpang/No Commercial Flight, dan tanggal 22 Desember 2020, pesawat beroperasi kembali dengan penumpang/Commercial Flight.

Secara teori, pesawat Sriwijaya Air SJ-182 laik terbang, dikemudikan oleh pilot senior yang sangat berpengalaman – Kapten Afwan – yang pernah menjadi penerbang TNI-AU dari 1987-1998 dan pilot di maskapai-maskapai besar. Jadi jika pada 9 Januari pesawat tersebut jatuh, itulah musibah yang tidak bisa diramalkan oleh manusia. (A/RS1/R1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: illa

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.