Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Umat Islam Bisa Jadi Mayoritas di Rusia

illa - Ahad, 19 Februari 2017 - 13:39 WIB

Ahad, 19 Februari 2017 - 13:39 WIB

1295 Views

Muslim di Rusia. (Foto: dok. Muslim Village)

RUSIA.jpg" alt="" width="600" height="340" /> Muslim di Rusia. (Foto: dok. Muslim Village)

 

Oleh: Illa Kartila –Redaktur Senior Miraj Islamis News Agency/MINA

Paska bubarnya Uni Soviet, kebebasan beragama di kawasan itu mulai bangkit lagi dan salah satu agama yang berkembang pesat adalah Islam. Data terakhir mencatat populasi muslim negara itu mencapai 25 juta jiwa. Dengan jumlah itu, Rusia menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di benua Eropa.

Komunitas muslim yang selama era Soviet tertindas dan terisolasi, kini bisa melaksanakan kegiatan keagamaan mereka dengan sangat leluasa. Seorang Warga Negara Indonesia, Muhammad Aji Surya mengungkapkan, jumlah pemeluk Islam di Rusia sangat banyak, karena itu prediksi umat Islam akan menjadi mayoritas di Rusia, tampaknya bukan hal yang mustahil.

Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi

Faktor utama dari meningkatnya populasi muslim di Rusia selain runtuhnya Soviet tampaknya adalah kelahiran. Kabarnya, diantara komunitas agama lain di Rusia, pemeluk Islam dalam merencanakan keluarga tidak memikirkan betapa sulitnya biaya hidup di Rusia. Bagi komunitas muslim, melahirkan generasi baru yang Islami merupakan misi yang jauh lebih berharga ketimbang memikirkan kesulitan hidup di Rusia.

Islam di Rusia adalah agama terbesar kedua setelah Kristen Ortodoks, yakni sekitar 21-28 juta penduduk atau 15-20 persen dari sekitar 142 juta penduduk.

Masyarakat besar Islam dikonsentrasikan di tengah warga negara minoritas yang tinggal di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia: Avar, Adyghe, Balkar, Nogai, orang Chechnya, Circassian, Ingush, Kabardin, Karachay, dan banyak bilangan warga negara Dagestan. Di daerah Sungai Volga tengah ada penduduk besar Tatar dan Bashkir, kebanyakan mereka Muslim.

Menurut pakar Asia Tengah, Muhammad Salamah, dalam sebuah seminar tentang Islam di Rusia, puluhan pengkaji akademisi di Rusia telah menyimpulkan, berdasarkan perkembangan yang terlihat dari negara-negara Muslim pecahan Uni Soviet ini, maka pada tahun 2050 nanti negara Rusia diprediksikan akan menjadi bagian dari negara Islam.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Salamah menambahkan, sejak 20 tahun lalu dia terus mengamati perkembangan Islam di Rusia. Sejak Muslim di sana berada di bawah pemerintahan yang komunis dan mengalami masa-masa pengekangan, seperti dilarangnya membawa mushaf Al Qur’an, masjid-masjid ditutup, hingga akhirnya sekarang, Muslim Rusia kini telah mendapatkan hak-hak mereka dengan baik.

Dia juga menyebutkan, penyebaraan Islam di Rusia berjalan damai. Bahkan dirinya telah mendirikan sebuah Universitas Islam di Moskow, dan mengajarkan tentang apa itu agama Islam, termasuk kepada para politisi senior negeri itu, di antaranya adalah Vladimar Putin, Perdana Menteri Rusia.

Malah Putin pada pembukaan Masjid Agung Moskow September 2015 menyebutkan, Islam tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual Rusia. Dia juga  menekankan bahwa selama berada-abad lamanya, ‘tradisi Islam telah berkembang di Rusia’ dan pemerintah akan terus membantu pengembangan teologi Islam.

Rusia secara resmi menganggap Islam dan agama lainnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan mereka, katanya, namun demikian, pemerintah akan mengawasi secara ketat agar umat Islam di Rusia tetap patuh kepada otoritas berwenang. Pemerintah akan menindak tegas bahkan melarang aktivitas organisasi yang menentang ataupun yang melakukan serangan secara langsung terhadap negara.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Ucapan Putin tersebut secara tidak langsung mencerminkan posisi resmi pemerintah Rusia yang menilai bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai dan bersahabat yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemahaman sesat kelompok radikal atau teroris. Pada konferensi pers yang berlangsung akhir tahun 2015, Putin mengatakan bahwa ia menentang penggunaan kata ‘Islam’ dan ‘teror’ secara bersamaan.

Menentang Islam radikal

Baik otoritas sekuler maupun perwakilan para ulama muslim Rusia menentang perkembangan ‘Islam radikal’ yang berpotensi membahayakan dan memprovokasi umat Islam untuk melakukan aksi terorisme. Selain menjunjung tinggi toleransi, ‘Islam tradisional’ tak hanya berpedoman kepada Al Quran, tetapi juga pada tradisi muslim yang hidup rukun secara berdampingan antar umat beragama.

“Pemahaman mengenai ‘Islam tradisional’ di setiap daerah di Rusia berbeda-beda,” kata Igor Zagarin, seorang teolog sekaligus profesor di Akademi Kepresidenan Rusia untuk Ekonomi Nasional dan Administrasi Publik (RANHiGS). Menurut dia, setiap daerah atau republik muslim di Rusia, seperti Tatarstan, Bashkiria, Kaukasus, atau daerah lainnya, memiliki tradisinya masing-masing.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Komunitas muslim di Rusia tidak mempunyai suatu kepemimpinan spiritual yang terpusat. Jadi, di setiap daerah terdapat lembaga dan pemimpin atau pemuka agamanya sendiri, yang mungkin saja tidak diakui di luar daerah itu. “Di Rusia terdapat puluhan struktur dan pusat spiritual muslim yang bersaing satu sama lain,” kata Zagarin.

Di sisi lain, di Rusia sesungguhnya berlaku nilai-nilai umum Islam tradisional, katanya. Istilah ‘Islam tradisional’ telah digunakan sejak tahun 1990-an yang mengacu pada bentuk Islam yang tertulis dalam sejarah Rusia. ‘Islam tradisional’ dinilai memiliki pandangan keislaman yang moderat serta setia kepada otoritas sekuler. Istilah ini digunakan secara luas, tetapi sulit untuk mengartikannya karena memiliki sejumlah konotasi.

Mayoritas muslim Rusia menurut Zagarin, menganut Islam Sunni yang berpedoman pada Al Quran dan berbagai tradisi yang telah mengakar. Ini adalah pengertian tentang Islam yang lebih lunak jika dibandingan dengan prinsip-prinsip yang konservatif yang lebih mendominasi, misalnya, seperti di Arab Saudi.

Pesaing ‘Islam tradisional’, menurut gurubesar itu, adalah Salafiyah. Salafiyah adalah metode yang menekankan penerapan syariat Islam secara murni dan mengajak umat untuk kembali ke norma-norma yang dipraktikkan pada era Nabi Muhammad SAW serta menjalani hidup yang sesuai dengan hukum Islam.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Namun Islam Salafiyah ‘tidak terlalu diterima’ di Rusia, katanya. Secara khusus, Konferensi Islam yang berlangsung di Grozny, Chechnya, pada Agustus lalu mengeluarkan fatwa bahwa Salafiyah, Wahabisme, dan kelompok radikal lainnya sebagai ‘sekte’ dan unsur yang tidak diterima di wilayah Rusia.

Di sisi lain, kelompok Salafiyah secara resmi tidak dilarang keberadaannya dan tetap eksis di Kaukasus Utara. Dalam laporan hak asasi manusia oleh organisasi ‘Memorial’ mengenai situasi di Kaukasus Utara pada 2015 – 2016, sebagian masyarakat yang mengikuti aliran Salafiyah justru sangat setia kepada aturan negara dan menentang kekerasan.

Namun, berdasarkan laporan tersebut pemerintah seringkali memberikan tekanan kepada kelompok Salafiyah dan kerap berupaya menutup masjid Salafiyah. “Pihak berwenang menduga kelompok itu sebagai masyarakat yang tidak loyal, atau berpotensi menjadi pemberontak pada suatu waktu,” kata Direktur Ilmiah dari Pusat Studi Islam Yayasan Marjani Ilshat Saetov.

Berbeda dengan Salafiyah, sejumlah aktivitas organisasi Islam lainnya benar-benar dilarang di wilayah Rusia karena masuk dalam daftar organisasi teroris dan ekstrimis.Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin masuk dalam daftar organisasi teroris di Rusia sejak 2003, selain ISIS atau al-Qaeda.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Pelarangan aktivitas organisasi atau gerakan tersebut berkaitan dengan tanggapan negatif dari pihak berwenang terhadap campur tangan agama dalam politik, kata Saetov (mendirikan partai atas dasar agama dilarang di Rusia). Ideologi Hizbut Tahrir menjunjung pendirian kekhalifahan, sedangkan Ikhwanul Muslimin mencoba untuk memadukan demokrasi dengan syariat, karena itu, kedua organisasi tersebut dianggap menentang ketentuan negara.

“Di mana pun, negara akan bermusuhan dengan agama yang mempertanyakan legitimasi pemerintah, misalnya dari sudut pandangan syariat, bukan konstitusi,” kata Saetov sambil menegaskan, di tengah keragaman Islam di Rusia, negara tidak keberatan dengan manifestasi yang hanya berada dalam lingkup sosial dan budaya, selama tidak menyinggung isu-isu politik. (RS1/P1)

 

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Rekomendasi untuk Anda

Eropa
Timur Tengah
Eropa
MINA Preneur