Oleh Tim Koresponden Mi’raj Islamic News Agency*
Pada 17 April 2004 tepat sepuluh tahun lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan permohonan hamba-Nya untuk menjadi syahid. Seorang mujahid yang senantiasa berdoa agar dirinya meninggal ditangan musuh melalui tembakan apache.
Ia Memiliki julukan “Singa Palestina” karena keberaniannya melawan penjajah Zionis Israel dengan senjata dan tidak mengenal kata perundingan. Otak dari segala serangan dan pengusiran kaum Yahudi dari jalur Gaza, Palestina yang terkenal dengan operasi bom syahid.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Ia adalah seorang dokter spesialis anak dan merupakan tokoh pergerakan penting dalam tubuh Hamas di Palestina, namanya adalah Abdul Aziz Al-Rantisi. Seorang pejuang yang tidak mengenal rasa takut terhadap musuh-musuhnya.
Simak berbagai pengalaman heroik sekaligus mengharukan yang disampaikan secara langsung oleh adik kandung Abdul Aziz Al-Rantisi yang masih hidup hingga saat ini, Shaikh Adnan Aly Abdul Hafidz, seorang dai di Jalur Gaza kepada Tim Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di jalur Gaza, Palestina.
Anak Seorang Tuan Tanah Terhormat di Yibna
Abdul Aziz Al-Rantisi lahir dari seorang ayah bernama Aly Abdul Hafidz Rantisi dan seorang ibu bernama Fatimah Hasan pada 23 oktober 1947 di sebuah daerah bernama Yibna, Palestina.
Semasa hidupnya Aly Abdul Hafidz Rantisi (ayah kami) adalah seorang yang dituakan didaerah tersebut, ia dikenal karena merupakan salah seorang tuan tanah besar di kawasan itu. Aly Abdul Hafidz Rantisi selalu memiliki 4 orang istri, ketika salah seorang istrinya wafat ia segera mencari penggantinya, oleh karena itu semasa hidupnya ia selalu dikelilingi oleh 4 orang istri.
Ayah kami memiliki 9 putra dan 5 putri. Ia meninggal pada tanggal 3 februari 1962. Saat ayah kami meninggal ibunda kami masih muda, umurnya 35 tahun. Ibunda kami kemudian mendidik dan membesarkan kami dengan disiplin tinggi.
Kami selalu segan terhadap ibu kami sampai-sampai kami tidak berani keluar rumah kecuali dengan izin beliau. Ketegasan ibu kami dikarenakan kekhawatirannya terhadap kami yang anak yatim, dan karena ibu kami harus bertanggung jawab terhadap 7 anak-anaknya yang seluruhnya laki-laki.
Abdul Aziz al-Rantisi adalah anak ke empat dari sembilan bersaudara. Selain dari 7 bersaudara, ayahanda kami memiliki 2 putra lainnya yaitu Nabhan dan Abdul hafidz yang meninggal saat mereka masih balita.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Saudara-saudara kami yaitu; yang pertama, Hasan Aly Al Rantisi, ia salah seorang guru yang mengajar di madrasah tsanawiyah di Gaza. Ia hijrah dari Gaza ke Kuwait hingga terjadinya perang kuwait dan kemudian ia pindah ke Iraq dan terakhir ke Yordania dan meninggal di sana 2 tahun lalu.
Yang kedua adalah Adil Aly Al Rantisi, seorang tentara sebelum perang tahun 1967, ia kemudian terusir ke Yordania, di sana Adil membuka sebuah super market dan meninggal di Yordania.
Saudara kami yang lebih muda dari Adil Aly Al-Rantisi bernama Fawaz yang saat ini tinggal di Yordania. Setelah Fawwaz adalah assyahid Dr. Abdul Aziz Al-Rantisi yang meninggal pada 17 april 2004 di tangan musuh kita Zionis Israel menggunakan helikopter apache.
Yang lebih muda dari Dr. Abdul aziz adalah Nafiz Aly Al-Rantisi yang saat ini tinggal di kota Amman dan berprofesi sebagai tukang kayu. Setelah Nafidz adalah saya, Adnan Aly Al-Rantisi. Kemudian adik saya bernama Nabhan Aly Al-Rantisi seorang insinyur elektronik dan bekerja di salah satu universitas di Gaza, Sekolah Tinggi Ilmu Terapan Gaza.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Yang lebih muda dari Nabhan Aly Al Rantisi adalah Dr. Muhammad Aly Al-Rantisi, seorang dokter spesialis tulang dan yang terakhir adik bungsu kami bernama Dr. Shalah Aly Al-Rantisi, seorang dokter spesialis kandungan yang saat ini menjabat sebagai direktur kesehatan di Khan Younis. Kemudian 2 putra lainnya yaitu Nabhan dan Abdul Hafidz yang meninggal saat mereka masih balita.
Adapun putri-putri ayah kami dari ibu yang lain, semua telah meninggal kecuali satu yang bernama Ataf “Ummu Usamah” Aly Rantisi yang saat ini tinggal di Deir Balah. Yang lainnya, Zakiah Aly Al-Rantisi meninggal di Yordania, Fathimah Aly Al-Rantisi meninggal di Al-Arish Mesir, kemudian saudari se-ayah kami yang lain bernama Nabihah, usianya yang lebih tua dari ibu kami, ia meninggal di Syiria.
Saudari satu ayah kami yang lain bernama Wafiqah, dan yang terakhir bernama Huda, ia meninggal karena penyakit gula pada umur 20-an tahun.
Penduduk Asli Palestina yang terusir dari kampung halaman
Kami merupakan penduduk asli Palestina. Nama “Al Rantisi” merupakan nama sebuah daerah yang letaknya dekat dengan kota Ramallah. Kakek buyut kami hijrah dari Rantisi ke daerah bernama Yibna masih di Palestina sebelum ratusan tahun yang lalu. Dari situ keluarga Rantisi berkembang di Yibna dan menjadi salah satu keluarga yang sangat besar bahkan menjadi yang terbesar di Yibna saat itu.
Ayah kami terusir dari Yibna pada tahun 1947. Saat itu umur Abdul Aziz Al-Rantisi masih 6 bulan. Saat itu tersebar kabar tentang pembantaian Deir Yasin yang mengakibatkan meninggalnya 254 warga Palestina sehingga mengakibatkan warga sekitar harus mengungsi karena khawatir terhadap nasib anak-anak mereka menuju selatan Palestina yaitu Jalur Gaza. Namun ada juga yang mengungsi ke Lebanon dan Tepi Barat.
Ayah kami mengungsi ke rumah ini (Khan Younis) dan melahirkan 5 anak dari ibu kandung kami yang telah melahirkan Fawaz dan Abdul Aziz. Dalam pengungsian, di sini lahirlah Nafiz pada tahun 1951 yang saat itu rumah kami berupa kemah dari kain. Setahun kemudian PBB melakukan pembangunan rumah-rumah dari tanah dengan atap dari genting. Saya lahir pada tahun 1953 saat rumah-rumah tanah baru itu dibangun dan sejak saat itu kami tinggal dirumah ini. Dan inilah rumah yang ditinggali oleh ayah kami sejak mengungsi sampai ia meninggal.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
Kami tumbuh dan berkembang dalam suasana saling menghormati, karena kami terdidik ditengah-tengah budaya yang mewajibkan kami untuk menghormati saudara kami yang lebih tua, terutama setelah meninggalnya ayah kami yang saat itu rata-rata kami masih kecil.
Saat itu saya masih berumur 8 tahun dengan 3 adik dengan 3 kakak kandung dan 2 saudara satu ayah. Kami benar-benar menghormati kakak yang lebih tua sampai-sampai kami menjadikan Hasan, kakak kami yang paling tua sebagai Ayah kami dalam mendidik kami.
Hasan pergi ke Kuwait pada tahun 1956 untuk mengajar di sana. Sementara Abdul aziz pergi meninggalkan Gaza menuju Iskandaria, Mesir untuk kuliah kedokteran 2 tahun sebelum pecahnya perang 1967.
Kemudian saudara tertua kami setelah Hasan, yang khawatir terhadap nasib saudari-saudari se-ayah kami, membawa mereka ke Yordania sehingga saya menjadi yang paling tua di rumah ini padahal saat itu umur saya masih 14 tahun.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Abdul Aziz Kecil : Saya shaum untuk Allah
Saat kecil, Abdul Aziz merupakan sosok yang luar biasa. Ia sangat rajin dan tekun dalam pendidikannya. Tidak senang lelucon. Seperti sebuah kisah yang diceritakan oleh teman sebangku sekolahnya, saat berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Dia menceritakan kepada kami, saat sedang berada di bulan Ramadhan di musim panas. Sulitnya kondisi saat itu sang guru menyuruh murid-muridnya yang sedang berpuasa agar maju berdiri di samping papan tulis termasuk Abdul Aziz kecil.
Kemudian si guru mengambil air minum dan memerintahkan para siswanya untuk membatalkan puasanya. Para siswa pun meminum air tersebut dan membatalkan puasa mereka kecuali Abdul Aziz, Sang guru berkata kepada Abdul aziz, “Kenapa kamu menolak untuk meminum air dan membatalkan puasa?, kamu tahu kan kalau saya adalah guru kamu?”, Abdul aziz kecil menjawab, “Saya tidak mau membatalkan shaum saya. Apakah saya shaum untuk anda? Tidak, saya shaum untuk Allah”.
Hafal Al Qur’an dibalik jeruji besi Israel
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Beliau lulus dari SMP di Madrasah Al Huroni kemudian melanjutkan ke SMA di Madrasah Tsanawiyah Khan Younis dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi sehingga diterima oleh Universitas Iskandariah Mesir jurusan kedokteran dan pergi ke Mesir 2 tahun sebelum perang 1967. Selepas mengenyam pendidikan kedokteran Abdul Aziz kembali ke Gaza melalui perantara ikatan palang merah internasional dan kemudian bertugas di rumah sakit An-Nasr di pusat kota Gaza.
Dua tahun kemudian kembali meninggalkan Gaza menuju Mesir untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang master dan mengambil spesialis anak selama 2 tahun dan kemudian kembali ke Gaza. Setelah menyelesaikan studi S-2 nya, kehidupan Abdul aziz banyak dipenuhi kisah jihad, perlawanan, penangkapan berkali-kali sampai berhasil menghafal Al-Quran dalam penjara.
Pertama kali di penjara Pada tahun 1985 karena menolak membayar upeti kepada Zionis Israel. Kejadian yang memperlihatkan sosok dan pendirian seorang Abdul Aziz Al-Rantisi. Saat itu ia lebih memilih di penjara dari pada harus membayar pajak kepada Zionis padahal saat itu teman-temannya hendak membayarkan pajak yang diminta agar ia tidak dibui. Namun ia dengan tegas mengatakan, “Jangan kalian bayar sepeser pun, dan biarkan saya dipenjara”. Alhasil ia dipenjara selama 6 bulan.
Para penagih pajak tersebut kemudian mengambil seluruh barang-barang yang ada di kliniknya dan dijual dengan harga murah sebagai pengganti biaya pajak. Yang membeli peralatan klinik Abdul Aziz berasal dari keluarga Al-Mezaini, mereka lalu menghibahkan barang-barang itu kembali kepada Abdul Aziz Al-Rantisi.
Diusir dan diasingkan ke Libanon
Abdul Aziz Al-Rantisi diusir dan diasingkan ke sebuah daerah bernama Marj Zuhur di Libanon Selatan pada 1992 setelah sebelumnya berkali-kali menghadapi penangkapan oleh Zionis sampai tersiar kabar tentang tertangkapnya salah seorang tentara Zionis bernama Nissim Toledano.
Alm Ibunda kami bercerita saat terdengar kabar tentang ditangkapnya Nissim Toledano, seluruh masyarakat Palestina melompat kegirangan mendengar kabar tersebut. Dua hari setelahnya terjadilah pengusiran besar-besaran para aktivis Palestina ke Marj Zuhur yang di antaranya adalah Abdul Aziz bersama 416 orang lainnya pada 17 desember 1992.
Dr.Abdul Aziz diasingkan ke tempat tersebut selama 1 tahun kemudian kembali masuk ke penjara Zionis selama 3,5 tahun, ditambah penangkapan oleh Otoritas Palestina dibawah pimpinan Yasir Arafat dan gerakan Fatah selama 27 bulan. Kalau digabungkan lamanya penahanan di penjara Zionis dan Palstina, maka ia telah mendekam dipenjara selama 10 tahun.
Abdil Aziz seperti ayah buat kami
Abdul Aziz adalah sosok yang paling dekat di hati saya. Bahkan saat ayah saya meninggal ketika saat saya berumur 8 tahun, saya tidak begitu merasa kehilangan. Akan tetapi ketika Abdul Aziz meninggal, saya baru mengerti bagaimana rasanya kehilangan yang sebenarnya. Pada dasarnya kami senang mendengar beliau telah syahid dan Allah telah memilih beliau sebagai salah satu syuhada-Nya, namun tetap saja kami merasakan betapa pahitnya perpisahan. Sejak saat itu saya merasa bukan hanya telah kehilangan sosok seorang kakak, melainkan juga sosok seorang ayah.
Kenangan yang tak terlupakan, suatu hari Abdul Aziz datang kerumah saya dengan menggunakan mobil pribadinya. Ia mendatangi saya dan berkata, “Kendarai mobil kamu dan datang ke rumah saya, saya ada perlu”. Meskipun saat itu saya sedang sibuk tapi saya tidak bisa menolak permintaannya kemudian saya berangkat. Abdul Aziz meminta saya membeli koran harian Al-Quds. Sehari sebelumnya ia mengisi ceramah di sebuah masjid bernama Masjid Ar-Rahmah dan mengatakan kepada para pendengar agar memboikot koran Al-Quds karena di halaman terakhirnya ada gambar tak senonoh.
Hari itu saya bertanya-tanya, kenapa dia tidak membelinya sendiri? Saya tak akan menemukan jawaban sampai saya membelinya sendiri dan melihatnya. Kemudian saya membawakan koran tersebut dan ia menunjukkan kepada saya halaman terakhir dalam koran tersebut. Ternyata ia ingin menunjukkan bahwa pada halaman terakhir koran Al-Quds itu terdapat nama putri saya yang mendapatkan peringkat 1 tingkat 6 Sekolah Dasar di Khan Younis dan ke 3 se-jalur Gaza. Ketika saya melihat nama putri saya tiba-tiba saya meneteskan air mata bahagia dan saat itu kami sangat senang mengetahui bahwa putri saya menjadi yang terbaik di daerah kami. Kemudian Dr. Abdul Aziz pun mengajak putri saya dan membelikannya sebuah jam tangan.
Kisah lainya yang tak terlupakan, namun kisah sedih, yaitu pada saat ia di penjara oleh Otoritas Palestina. Saat itu putri saya sedang sakit parah dan saya bawa ke penjara di mana Dr. Abdul Aziz ditahan, agar ia mengobati putri saya yang bernama Wafa Adnan Al-Rantisi, yang telah menyelesaikan hafalan Al-Quran saat duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar.
Abdul Aziz menyanggupi dengan syarat dibawakan makanan kesukaannya yang bernama al-qarsy, yaitu sejenis nasi bercampur daging kambing. Kamipun sediakan makanan itu dan berangkat menuju penjara. Saat itu saya juga mengajak almarhumah ibu kami yang saat itu sudah tua renta.
Ibu kami bertanya kepada saya, “Siapa mereka yang telah memenjarakan Abdul Aziz? Yahudi atau Arab?”, saya tidak sanggup menjawab pertanyaan tersebut. Lalu dia kembali berkata, “Ibu tidak akan mau pulang kecuali Abdul Aziz ikut pulang”. Sambil berteriak ibu kami melanjutkan “Siapa mereka? Yahudi? bukan kah orang-orang Yahudi sudah keluar dari Gaza?, Muslimin? kenapa mereka memenjarakan anak saya? Apa salah anak saya?”.
Kami kenal siapa ibu kami, dia adalah seorang yang sangat cerdas. Namun tampaknya saat itu umur tuanya telah mengubah cara berfikirnya. Beliau terus memaksa kepada saya untuk membawa pulang Abdul Aziz bersama kami. Saya tahu hal itu mustahil dilakukan saat itu dan membuat saya harus berbohong kepada ibu kami bahwa Abdul Aziz akan pulang bersama kami. Sesampainya di rumah, ibu kami kembali bertanya, “Mana Abdul Aziz? Kenapa belum ada?, kalau begitu saya akan kembali ke penjara besok”. Esok harinya saya terpaksa kembali ke penjara dengan membawa ibu kami.
Abdul Aziz berkata kepada saya, “Kenapa kamu bawa ibu kembali kemari?”, saya jawab “ibu benar-benar memaksa dan belum bisa menerima keberadaan kamu di penjara”. Kemudian Abdul Aziz sendiri yang menghadapi ibu kami dan berkata, “Ibu sekarang pulang dulu ya bersama Adnan, nanti saya akan menyusul”. Ibu kami berkata “Kamu sedang apa disini dan kenapa tidak pulang?”. Dengan penuh rasa sayang, Abdul Aziz menjawab, “Abdul Aziz di penjara ini sedang bekerja dan tidak lama lagi akan pulang”.
Beberapa hari kemudian saya kembali ke penjara dan mengabarkan bahwa ibu kami telah meninggal. Mendengar kematian ibu kami para sipir penjara memberikan waktu 3 hari kepada Abdul Aziz untuk ta’ziyah dan ikut memakamkan ibu kami. Namun Abdul Aziz menolak dan berkata, “Pulang hai Adnan, makamkan ibu segera, mereka bebaskan saya selamanya atau tidak sama sekali”. Saya sangat sedih saat itu dan terpaksa kembali ke rumah. Setibanya di rumah, saya mendapati ternyata Abdul Aziz telah sampai terlebih dahulu ke rumah.
Gazi Jabali, Kepala Kepolisian di Jalur Gaza saat itu mengumumkan melalui media setempat, “Kami membebaskan Dr.Abdul Aziz Al-Rantisi selama 2 minggu saja dan akan kami kembalikan ke penjara”. Namun Dr. Abdul Aziz menolak untuk kembali ke penjara meskipun pada akhirnya mereka tetap menjebloskan Dr. Abdul Aziz ke penjara.
Saat terjadi intifadhah pada 28 september 2001 yang menyebabkan dibombardirnya bangunan penjara tempat Abdul Aziz ditahan di lapangan bernama Saray, Abdul Aziz dipindahkan ke sebuah apartemen di kota Gaza.
Ketika serangan semakin gencar mereka pun melarikan Dr. Abdul Aziz dari apartemen dan mereka tidak bisa masuk kembali ke pusat kota Gaza, maka mereka pun menahan Dr. Abdul Aziz Al-Rantisi di tempat manapun mereka temui selama di perjalanan sampai beliau menemui syahidnya. (L/KJ/P015/P01).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)