White Helmets, Kelompok Sukarelawan Kemanusiaan di Suriah, Songsong Jatuhnya Bom

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Suatu waktu di tengah malam pada Desember 2015, dua petugas Pertahanan Sipil Suriah yang juga dikenal dengan nama White Helmets, menembus asap hitam untuk melakukan penyelamatan, di antara jilatan api di sebuah toko yang terbakar di distrik Hanano, dekat dengan garis depan di bagian timur yang dikuasai oleh oposisi Suriah di Aleppo.

Hanano sering menjadi sasaran tembakan artileri dan pengeboman udara dari jet tempur Pemerintah Suriah atau jet sekutu Rusia.

Tubuh seorang pria tua yang dibunuh oleh pecahan peluru terbang, tergeletak di trotoar di luar toko.

“Itu adalah pesawat Rusia!”  seru seseorang yang lewat. “Lelaki malang itu sedang menyeberang jalan ketika bom menghantam.”

Ambulans segera datang dan memberitahu petugas penyelamat bahwa mereka akan mengurus mayatnya.

Sementara tim penyelamat White Helmets yang tidak bisa bergerak dan berbuat banyak karena kondisi yang berbahaya, berteriak kepada rekan-rekannya agar segera naik ke truk. Sebab, pesawat tempur telah kembali lagi dan melakukan pengeboman kedua di daerah itu.

Relawan White Helmets bernama Ahmed Badr terkena serangan dan tim segera membawanya ke rumah sakit.

Nagieb Khaja, seorang jurnalis Denmark pemenang penghargaan yang meliput perang di Afghanistan dan Suriah, memilih tinggal dan memfilmkan apa yang terjadi bersama sekelompok penyelamat White Helmets.

Baca Juga:  Menelusuri Museum Al-Quran dan Wahyu di Kawasan Budaya Hira Makkah

White Helmets dibentuk pada 2013 sebagai kelompok relawan lokal di Hanano. Mereka akan segera bertindak menuju ke tempat-tempat yang dibom untuk menyelamatkan orang.

Namun pada awalnya, pekerjaan penggalian korban di reruntuhan bangunan yang dibom adalah tugas yang rumit dan sulit, meskipun mereka berupaya sebaik mungkin. Mereka tidak memiliki keahlian sehingga pernah terjadi korban meninggal di bawah reruntuhan.

Kemudian White Helmets menerima pelatihan pertama di Turki selatan ketika membantu penyelamatan korban gempa Turki. Sudah itu mereka kembali ke Suriah dengan peralatan dan seragam, termasuk White Helmets (helm putih) yang menjadi nama mereka.

White Helmets sekarang bekerja di 119 titik di delapan provinsi barat: Aleppo, Idlib, Hama, Latakia, Homs, Daraa, Damaskus dan pedesaan sekitar Damaskus. Organisasi ini sudah memiliki sekitar 3.000 relawan, termasuk dua tim perempuan. Tercatat, sejauh ini para relawan telah menyelamatkan lebih dari 60.000 nyawa.

Orang-orang di tim Hanano berusia antara 19 hingga 33 tahun. Rutinitas mereka relatif sederhana. Mereka melakukan pengintaian dan berkomunikasi dengan tim melalui radio ketika tempat terkena serangan bom. Tim disiagakan dan dipandu ke lokasi yang tepat.

Bebeerapa relawan penyelamat White Helmets menolong warga yang terluka oleh serangan bom di Aleppo, Suriah. (Foto: White Helmets)
Bebeerapa relawan penyelamat White Helmets menolong warga yang terluka oleh serangan bom di Aleppo, Suriah. (Foto: White Helmets)

Baca Juga:  Idul Adha Makin Dekat, Ini Daftar Harga Sapi untuk Qurban

Secara psikologis, pekerjaan mereka melelahkan, sebab mereka menyaksikan kematian dan nyawa mereka sendiri terancam setiap hari. Namun, keakraban tim, humor dan ejekan-ejekan candaan satu sama lain menjadi penghibur tersendiri bagi mereka.

Tim White Helmets di Hanano telah kehilangan empat rekannya. Pesawat tempur Suriah dan Rusia sering kali datang kembali dan mengebom tempat yang sama beberapa menit setelah serangan pertama. Seolah mereka sengaja menargetkan petugas penyelamat.

White Helmets akan selalu menunggu sekitar lima menit untuk melihat apakah pesawat penyerang, kembali atau tidak. Jika tidak, mereka segera keluar meskipun berisiko tinggi. Sebab, jika mereka menunggu terlalu lama, orang bisa mati. Setiap kali ini adalah pertaruhan.

Nagieb Khaja yang menghabiskan waktu bersama tim White Helmets mengatakan, setiap hari tim menerima dua hingga 12 panggilan ke luar.

Setelah serangan bom, tim akan segera mendatangi reruntuhan bangunan dan berteriak bertanya, “Ada orang di sini?”

Setelah lima menit, setelah mereka yakin bahwa bangunan itu kosong ketika dihantam bom, tim akan kembali ke pangkalan.

Di hari-hari yang lain, mereka kembali keluar untuk menemukan bangunan yang runtuh. Mereka akan merasa senang jika tidak ada yang tewas.

Baca Juga:  Wisata Rumah Ibadah Bagi Anak untuk Belajar Toleransi, Bagaimana Menurut Islam?

Aleppo memang telah sepi, bangunan-bangunan di lingkungan yang paling banyak diserang itu umumnya telah dikosongkan dari penghuni.

Pada satu kesempatan, tim keluar berpatroli. Mereka berhenti di pemakaman setempat untuk menziarahi makam empat rekan mereka yang telah meninggal dalam tugas.

Seperti Mahmoud, relawan White Helmets yang meninggal saat menggapai korban serangan bom. Ternyata pesawat kembali datang mengebom 15 menit setelah bom pertama.

Di seluruh Suriah, 134 relawan White Helmets telah tewas dan lebih dari 400 terluka dalam menjalankan tugas.

“Kata ISIS kami murtad,” kata Shahoud Hussein, ketua tim White Helmets di Hanano. “Dan (Bashar ) Assad mengatakan kami teroris. Kami tidak bisa meninggalkan Suriah. Jika semua orang baik melarikan diri sebagai pengungsi, maka kepada siapa kami meninggalkan negara ini?”

Shahoud adalah salah satu anggota paling awal di White Helm di Aleppo. Seperti yang lain, dia punya pekerjaan yang normal sebelum perang pecah. Ia memiliki toko dekorasi rumah.

Dia telah melihat rekan, teman-temannya dan anak-anak kecil mati. Kematian adalah bagian dari kehidupan sehari-harinya sekarang, tapi dia mengatakan tidak akan pernah menyerah.

Shahoud mengaku tidak pernah ingin bergabung dengan kelompok oposisi atau tentara.

“Saya tidak ingin membunuh siapa pun,” katanya. “Saya merasa tugas saya untuk tinggal di sini dan membantu.” (P001/P2)

Sumber: tulisan Nagieb Khaja di Al Jaazeera. Ia seorang jurnalis Denmark pemenang penghargaan yang meliput perang di Afghanistan dan Suriah.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf