Novelis India Arundhati Roy: Fasisme Modi Sebabkan Perpecahan India

New Delhi, MINA – terkenal mengatakan, tindakan fasisme Perdana Menteri Narendra Modi pimpinan Partai Bharatiya Janata Party (BJP) hanya akan menyebabkan perpecahan di negaranya.

Pemenang Booker Prize 1997 melalui Novelnya The God of Small Things itu menegaskan, India adalah kontrak sosial antara sejumlah agama, sejumlah suku, sejumlah etnis, dan sejumlah penutur 780 bahasa.

“Sekarang visi bangsa Hindu, satu bahasa, satu agama, satu negara, ini seperti mencoba menyaring lautan dan memasukkannya ke dalam botol Besleri, ini adalah proses kekerasan ekstrem,” ujarnya, seperti dikutip dari Siasat Daily, Jumat (18/2).

Menurutnya, nasionalisme Hindu dapat memecah India, dan ia beserta komunitasnya akan melawan fasisme Modi dan tidak akan membiarkan BJP berhasil.

“Anda melihat sesuatu yang besar dan beragam, lalu menyusut dan mengeras, itu akan pecah,” ujar aktivis hak asasi manusia dan lingkungan tersebut.

Arundhati Roy, putri dari pasangan ibu Kristen Suriah dan ayah Hindu Bengali menilai, demokrasi India di bawah Modi telah menjadi hubungan korporat-politik.

“Empat orang menjalankan negara, dua menjualnya, dua orang membelinya, dan keempatnya berasal dari Gujarat,” ujar novelis itu, mengutip pernyataan seorang petani saat aksi protes petani tahun lalu.

Dia menambahkan, negara-negara kapitalis saja tidak mempraktikkan modal monopoli seperti itu.

Lebih lanjut, dia mengatakan demokrasi sedang terkikis, bahkan sekarang jauh lebih buruk.

Ia mencontohkan bagaimana Mahkamah Agung yang masih mempertimbangkan undang-undang seperti UU Amandemen Kewarganegaraan, Pasal 370, apakah konstitusional atau tidak.

Ia menambahkan, beberapa profesor, pengacara, aktivis, jurnalis berada di penjara, sementara seorang pria seperti Yati Narsinghanand, yang secara terbuka menyerukan genosida dibebaskan dengan jaminan.

“Pengadilan, seluruh mesin negara terlibat,” katanya.

Aktivis tersebut juga mengomentari larangan jilbab di negara bagian Karnataka, yang itu membatasi gadis-gadis beragama dari mengenakan pakaian mereka.

“Negara kami memiliki undang-undang yang canggih, tetapi mereka menerapkannya tergantung pada kasta, agama, jenis kelamin, dan etnis,” imbuhnya. (T/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.