BEDA IDUL ADHA, TETAP JAGA UKHUWAH ISLAMIYAH

Ali Farkhan Tsani

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah MINA (Miโ€™raj Islami News Agency)

Pemerintah RI melalui Kementerian Agama menetapkan Awal Dzulhijjah 1436 H jatuh pada Selasa, 15 September 2015 berdasar tidak terlihat hilal (bulan baru) di seluruh kawasan Indonesia. Sehingga Hari Raya jatuh pada Kamis, 24 September 2015.ย Pemerintah juga menghormati jika ada dalam penentuan Idul Adha tahun ini.

Sementara itu, Muhammadiyah, salah satu organisasi terbesar di Indonesia menetapkan Idul Adha 1436 H jatuh pada Rabu, 23 September 2015. Ketetapan tersebut merupakan hasil hisab (perhitungan) Ramadan, Syawal dan Dzulhijah 1436 Hijriah sesuai hisab hakiki wujudul hilal (penanggalan berdasar gerak sebenarnya bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah konjungsi) yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

Landasannya sama yaitu hilal, tetapi secara hisab (perhitugan), yaitu bahwa secara hisab ijtima’ menjelang Dzulhijah 1436 H terjadi pada hari Ahad, 13 September 2015 M pukul 13:43:35 WIB. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta (ฯ† = -07ยฐ 48′ dan ฮป = 110ยฐ 21′ BT) = +0ยฐ 25′ 52″ (hilal sudah wujud). Serta, pada saat Matahari terbenam tanggal 13 September 2015 M (hari Ahad), di sebagian wilayah barat Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud. Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian.

Adapun Mahkamah Agung Arab Saudiย (al-Mahkamah al-โ€˜Ulya as-Suโ€™udiyyah)ย  mengumumkan secara resmi bahwa Selasa adalah tanggal 1 Dzulhijjah 1436, bertepatan dengan 15 September 2015.

Sekaligus juga menyebutkan bahwa dengan demikian Rabu adalah 9 Dzulhijjah, hari Wuquf di Arafah, dan Kamis 10 Dzulhijjah bertepatan dengan 24 September 2015 adalah Hari Raya Idul Adha.

Mahkamah melandaskan pada tidak terlihatnya bulan baru (hilal) pada Ahad sore di seluruh jazirah Arab karena tertutup mendung.

Maka, sesuai Sunnah Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam โ€œJika tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hariโ€, (Hadits Muttafaqun โ€˜Alaihi lafadz al-Bukhari).

Ada satu fakta tahun ini bahwa ternyata hilal awal Dzulhijjah terlihat di Indonesia. Antara lain dilaporkan disaksikan oleh tiga orang dari Tim Dewan Hisab dan Rukyat Jamaโ€™ah Muslimin (Hizbullah) yaitu ustadz Syamsuddin, Mulyono dan Rochman, di Pulau Cangkir, Desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia, Ahad sore (13/9).

Hilal awwal Dzulhijjah juga berhasil dilihat di Cakung, Jakarta Timur, Indonesia, oleh Tim Pondok Pesantren Al-Husiniyah, yaitu Ustadz Ardian dan Ustadz H.Labib, dengan ketinggian 2 darjah, 43 daqiqah, lamanya 50 detik, posisi rebah miring selatan matahari, jam 17;52 s.d. 17;55.

Namun, berdasarkan beberapa pertimbangan dalil petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah, khususnya terkait dengan hadits โ€œal-hajju arafahโ€ย bahwa haji adalah arafah (di Mekkah) (HR At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).

Serta memang fakta lainnya menyebutkan, Keputusan Mahkamah Agung Arab Saudi yang mengumumkan secara resmi bahwa Selasa adalah tanggal 1 Dzulhijjah 1436, bertepatan dengan 15 September 2015, berdasar tidak terlihat hilal di jazirah Arab. Sehingga jamaah haji tahun ini akan melaksanakan Wuquf di Arafah pada Rabu, 9 Dzulhijjah (23 September 2015). Maka dengan demikian Hari Raya Idul Adha akan dilaksanakan secara serentak di seluruh dunia pada hari Kamis, 10 Dzulhijjah 1436 bertepatan dengan 24 Septembere 2015.

Dr. Ahmed Abdul Malik, salah seorang ulama terkemuka di Nigeria, mengatakan, seluruh negeri Muslim di kawasan Afrika selama ini selalu merujuk pada putusan Mahkamah Saudi dalam penentuan Idul Adha, sebab terkait dengan Wuquf di Arafah.

โ€œTidak mungkin umat menyelisihi hari , sebab Arafah pada kenyataannya berada di Arab Saudi,โ€ ujarnya.

Itu pula yang antara lain menjadi rujukan Jamaโ€™ah Muslimin (Hizbullah) memutuskan awal Dzulhijjah 1436 jatuh pada hari Selasa, 15 September 2015.

Menolak Hilal

Bagaimana jika terjadi kasus seperti jika di negeri Arab, Amir Mekkah tidak menerima laporan adanya hilal. Sementara ada dari negeri lain melihat hilal secara sah, namun kesaksiannya tidak diterima atau mungkin belum diketahuinya? Sementara hari Wuquf di Arafah harus mereka tentukan?

Para ulama madzhab sejak dahulu hingga sekarang pun mempunyai beberapa pandangan. Ini adalah fakta yang menunjukkan bawha seorang Amir atau Imaam memang berhak menolak persaksian. Apalagi Imaam mempunyai wewenang memutuskan perkara untuk mengangkatย khilafย yang terjadi pada kaum muslimin.

Hal ini pernah terjadi pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Seperti disebutkan:

ุฃูŽู†ูŽู‘ ุนูุซู’ู…ูŽุงู†ูŽ ุฃูŽุจู‰ ุฃูŽู†ู’ ูŠูุฌููŠุฒูŽ ุดูŽู‡ูŽุงุฏูŽุฉูŽ ู‡ูŽุงุดูู…ู ุจู’ู†ู ุนูุชู’ุจูŽุฉูŽ ุงู„ุฃูŽุนู’ูˆูŽุฑู ูˆูŽุญู’ุฏูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฑูุคู’ูŠูŽุฉู ุดูŽู‡ู’ุฑู ุฑูŽู…ูŽุถูŽุงู†ูŽ

Artinya: โ€œBahwasannya โ€˜Utsman (bin โ€˜Affan) menolak diberlakukannya persaksianย ruโ€™yahย bulan Ramadhan Hasyim bin โ€˜Utbah Al-Aโ€™war seorang diri.โ€ (Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalamย Tahdziibul-Aatsaar. Para perawinyaย tsiqaat,ย hanya saja ada keterputusan โ€˜Amru bin Diinaar dengan โ€˜Utsmaan bin โ€˜Affaan).

Sebagian ulama menjadikannya sebagai dalil persyaratan adanya dua orang saksi yangย โ€˜adilย untuk menerima persaksianย hilal.

Ulamaย Ahnaaf mempersyaratkan ย bahwa jika langit dalam keadaan cerah atau tidak berawan, maka orang yang menyaksikannya (hilal) haruslah dalam jumlah yang banyak.

Tidak Harus Arafah?

Sebagian ulama ada juga menganggap tidak masalah jika pun berpuasa pada hari Arafah beda dengan hari Wuquf di Arafah, Mekkah. Seperti dikatakan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-โ€˜Utsaimin, bahwa jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathlaโ€™ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. ย ย 

Al-Utsaimin menyebut, โ€œMemang permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama, apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Namun hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Jadi, kesimpulan dari Syaikh โ€˜Utsaiminย bahwa puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing, dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah.

Ada hadits menyebutkan:

๏บปู๏ปดูŽ๏บŽ๏ปกู ๏ปณูŽ๏ปฎู’๏ปกู ๏ป‹ูŽ๏บฎูŽ๏ป“ูŽ๏บ”ูŽ ๏บƒูŽ๏บฃู’๏บ˜ูŽ๏บดู๏บู ๏ป‹ูŽ๏ป ูŽ๏ปฐ ๏บ๏ปŸ๏ป ๏ปชู ๏บƒูŽ๏ปฅู’ ๏ปณู๏ปœูŽ๏ป”ู‘ู๏บฎูŽ ๏บ๏ปŸ๏บดู‘ูŽ๏ปจูŽ๏บ”ูŽ ๏บ๏ปŸู‘ูŽ๏บ˜ู๏ปฒ ๏ป—ูŽ๏บ’ู’๏ป ูŽ๏ปชู ๏ปญูŽ๏บ๏ปŸ๏บดู‘ูŽ๏ปจูŽ๏บ”ูŽ ๏บ๏ปŸู‘ูŽ๏บ˜ู๏ปฒ ๏บ‘ูŽ๏ปŒู’๏บชูŽ๏ปฉู

Artinya: “Puasa hari Arafah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR Muslim).

Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat ๏บปู๏ปดูŽ๏บŽ๏ปกู ๏ปณูŽ๏ปฎู’๏ปกู ๏ป‹ูŽ๏บฎูŽ๏ป“ูŽ๏บ”ูŽ “Puasa hari Arafah”. Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wuqufnya para jama’ah haji di padang Arafah. Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah.

Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada dalam menghadapi permasalahan ini. Walaupun permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja.

Seandainya Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam dalam hadits tersebut bersabda “Puasa Arafah lah kalian ketika para jam’ah haji sedang wuquf di padang Arafah”, tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi karena sabda Nabi, “Puasa hari Arofah.”, maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut. Apakah maksudnya adalah “hari di mana para jama’ah haji sedang wukuf di Arafah”? ataukah yang dimaksud adalah “hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arafah?”.

Sebab ada ulama yang dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada di wilayah negara yang bersangkutan, melalui perhitungan metode hisab wujudul hilal.

Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwuquf di Arafah ketika terjadi perbedaan hari antara suatu negeri dan pemerintah Arab Saudi.

Beberapa argumentasinya, di antaranya: Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji. Bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.

Seperti disebutkan di dalam sunan Abu Dawud :

ุนูŽู†ู’ ู‡ูู†ูŽูŠู’ุฏูŽุฉูŽ ุจู’ู†ู ุฎูŽุงู„ูุฏู ุนูŽู†ู’ ุงู…ู’ุฑูŽุฃูŽุชูู‡ู ุนูŽู†ู’ ุจูŽุนู’ุถู ุฃูŽุฒู’ูˆูŽุงุฌู ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽุชู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูŠูŽุตููˆู…ู ุชูุณู’ุนูŽ ุฐููŠ ุงู„ู’ุญูุฌู‘ูŽุฉู ูˆูŽูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุนูŽุงุดููˆุฑูŽุงุกูŽ ูˆูŽุซูŽู„ูŽุงุซูŽุฉูŽ ุฃูŽูŠู‘ูŽุงู…ู ู…ูู†ู’ ูƒูู„ู‘ู ุดูŽู‡ู’ุฑู ุฃูŽูˆู‘ูŽู„ูŽ ุงุซู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ู…ูู†ู’ ุงู„ุดู‘ูŽู‡ู’ุฑู ูˆูŽุงู„ู’ุฎูŽู…ููŠุณูŽ

Artinya: Dari Hunaidah bin Khalid dari isterinya, dari sebagian isetri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharraom) dan tiga hari setiap bulan.” (HR Abu Dawud).

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :”Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tatkala di padang Arofah”, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata : “Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar.” (Fathul Baari).

Dalam sejarah tercatat, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa’. Ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah, meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wuquf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu.

Hal ini menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwuquf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.

alriyadh wukuf arafahWuquf Arafah sebagai Patokan

Penentuan Idul Adha (10 Dzulhijjah) bergantung pada penentuan awal bulan Dzulhijjah. Dalam hal ini para fuqaha sepakat, bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah didasarkan pada rukyatul hilal, bukan dengan hisab.

Ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Majid al-Yahya dalam kitabnyaย Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syarโ€™iyah,

ู„ุงูŽ ุฎูู„ุงููŽ ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ุงู„ู’ููู‚ูŽู‡ูŽุงุกู ุจูุฃูŽู† ุฑูุคู’ูŠูŽุฉูŽ ุงู„ู’ู‡ูู„ุงูŽู„ู ู…ูุนู’ุชูŽุจูŽุฑูŽุฉูŒ ูู’ูŠู’ ุฏูุฎููˆู’ู„ู ุดูŽู‡ู’ุฑู ุฐููŠ ุงู„ู’ุญูุฌุฉู

Artinya: “Tak ada khilafiyah di antara fuqaha, bahwa rukyatul hilal adalah standar, patokan dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjahโ€.

Dalilnya adalah dalil-dalil umum bahwa metode standar untuk menentukan awal bulan-bulan Qamariyah adalah rukyatul hilal. Misalkan hadits Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam:

ุตููˆู’ู…ููˆู’ุง ู„ูุฑูุคู’ูŠูŽุชูู‡ู ูˆูŽุฃูŽูู’ุทูุฑููˆู’ุง ู„ูุฑูุคู’ูŠูŽุชูู‡ู ููŽุฅูู†ู’ ุบูู…ู‘ูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ููŽุฃูŽูƒู’ู…ูู„ููˆุง ุงู„ู’ุนูุฏู‘ูŽุฉูŽ

Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Syaโ€™ban 30 hari)”. (HR Bukhari dan Muslim).

Pada lafadz lain dikatakan:

ุตููˆู’ู…ููˆู’ุง ู„ูุฑูุคู’ูŠูŽุชูู‡ู ูˆูŽุฃูŽูู’ุทูุฑููˆู’ุง ู„ูุฑูุคู’ูŠูŽุชูู‡ู ููŽุฅูู†ู’ ุบูุจู‘ููŠูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ููŽุฃูŽูƒู’ู…ูู„ููˆู’ุง ุนูุฏู‘ูŽุฉูŽ ุดูŽุนู’ุจูŽุงู†ูŽ ุซูŽู„ุงูŽุซููŠู’ู†ูŽ ูŠูŽูˆู’ู…ู‹ุง.

Artinya: โ€œBerpuasalah kamu sekalian apabila melihatnya (hilal awal Ramadhan) dan berhari rayalah apabila kamu melihatnya (hilal awal Syawwal), jika kamu tidak melihatnya, genapkanlah bulan Syaโ€™ban 30 hari.โ€ย (HR Bukhari).

Adapun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan wuquf Arafah dan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan utama adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.

Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali Radhiyallahu โ€˜Anhu, dia berkata,

ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุฃูŽู…ููŠุฑูŽ ู…ูŽูƒู‘ูŽุฉูŽ ุฎูŽุทูŽุจูŽ ุซูู…ู‘ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุนูŽู‡ูุฏูŽ ุฅูู„ูŽูŠู’ู†ูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุตูŽู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู…ูŽ ุฃูŽู†ู’ ู†ูŽู†ู’ุณููƒูŽ ู„ูู„ุฑู‘ูุคู’ูŠูŽุฉู ููŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ู†ูŽุฑูŽู‡ู ูˆูŽุดูŽู‡ูุฏูŽ ุดูŽุงู‡ูุฏูŽุง ุนูŽุฏู’ู„ู ู†ูŽุณูŽูƒู’ู†ูŽุง ุจูุดูŽู‡ูŽุงุฏูŽุชูู‡ูู…ูŽุง

Artinya: โ€œAmir Makkah berkhutbah kemudian dia berkata, โ€Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam telah berpesan kepada kami agar menjalankan manasik haji berdasarkan ruโ€™yat. Lalu jika kami tidak melihat hilal, kemudian ada dua orang saksi adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.โ€ย (HR Abu Dawud, dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkata,โ€Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.โ€ Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,โ€Hadits ini shahihโ€).

Hadits ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq, adalah Amir Makkah (penguasa Makkah), bukan yang lain. Kewenangan itu tetap dimiliki penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia).

Apalagi bahwa pilar dan inti dari ibadah haji adalah wuquf di Arafah. Sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam:

ย ุงูŽู„ู’ุญูŽุฌูู‘ ุนูŽุฑูŽููŽุฉู

Artinya: โ€œIbadah haji adalah (wuquf) di Arafah.” (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, โ€œHadits ini sahih, sekalipun Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannyaโ€).

Imam Badruddin Al โ€˜Aini menjelaskan bahwa โ€œhari Arafahโ€ (yauma โ€˜Arafah) menunjukkan waktu (al-zamaan) dan tempat (al-makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwuquf di Arafah.

Jadi, definisi syarโ€™i untuk โ€œhari Arafahโ€ (yauma โ€˜Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwuquf di Arafah (al-yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-โ€˜arafah).

Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih), sesuai dengan hadits lainnya :

ููุทู’ุฑููƒูู…ู’ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุชููู’ุทูุฑููˆู’ู†ูŽ ูˆูŽุฃูŽุถู’ุญูŽุงูƒูู…ู’ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุชูุถูŽุญู‘ููˆู’ู†ูŽุŒ ูˆูŽุนูŽุฑูŽููŽุฉู ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุชูุนูŽุฑู‘ููููˆู’ู†ูŽ

Artinya: โ€œHari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih qurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah.โ€ (HR Asy-Syafii dari โ€˜Aisyah, dalamย Al-Umm).

Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsipย ikhtilaful mathaliโ€™ย (perbedaan mathlaโ€™).

Yang lebih tepat, perbedaan mathlaโ€™ tidak dapat dijadikan patokan (laa โ€˜ibrata bikhtilaf al mathaliโ€™), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wuquf di Arafah, wajib mengikuti ruโ€™yatul hilal Amir Mekkah, bukan yang lain. Barulah kemudian jika Amir Mekkah tidak berhasil merukyat hilal, Amir Mekkah meminta rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekkah.Tinggal permasalahan Mekkah tidak meminta atau belum menerima atau menerima tetapi belum meyakini, itu hal lain dan menjadi tanggung jawabnya.

Sejarah juga sudah menyebutkan bahwa pada jaman Nabi Shallahu โ€˜Alaihi Wasallam dan para Shahabat tidak ada perselisihan tentang masalah ini. Ketika di Makkah sedang Wuquf, maka umat Muslim di negeri-negeri lain melaksanakan shaum (puasa) Arafah pada 9 Dzulhijjah.

Apalagi jika sebagian besar kaum Muslimin sudah melaksanakan Hari Raya, maka yang lain pun mengikutinya.ย Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak dalil. Di antaranya adalah hadits dari Aโ€™isyah Radhiyallahu ‘Anha, dia berkata โ€œRasulullah SAW telah bersabda :

ุงู„ู’ููุทู’ุฑู ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ูŠููู’ุทูุฑู ุงู„ู†ู‘ูŽุงุณู ูˆูŽุงู„ู’ุฃูŽุถู’ุญูŽู‰ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ูŠูุถูŽุญู‘ููŠ ุงู„ู†ู‘ูŽุงุณู

Artinya: โ€œIdul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih Qurban.โ€ (HR At-Tirmidzi).

hilal

Hilal Setempat Sahabat Kuraib

Tentang hilal setempat, sebagian berdasarkan juga pada riwayat dari sahabat Kuraib, dalam hadits:

ุนูŽู†ู’ ูƒูุฑูŽูŠู’ุจู ุฃูŽู†ูŽู‘ ุฃูู…ูŽู‘ ุงู„ู’ููŽุถู’ู„ู ุจูู†ู’ุชูŽ ุงู„ู’ุญูŽุงุฑูุซู ุจูŽุนูŽุซูŽุชู’ู‡ู ุฅู„ูŽู‰ ู…ูุนูŽุงูˆููŠูŽุฉูŽ ุจูุงู„ุดูŽู‘ุงู…ู ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ููŽู‚ูŽุฏูู…ู’ุชู ุงู„ุดูŽู‘ุงู…ูŽ ููŽู‚ูŽุถูŽูŠู’ุชู ุญูŽุงุฌูŽุชูŽู‡ูŽุง ูˆูŽุงุณู’ุชูู‡ูู„ูŽู‘ ุนูŽู„ูŽูŠู‘ูŽ ุฑูŽู…ูŽุถูŽุงู†ู ูˆูŽุฃูŽู†ูŽุง ุจูุงู„ุดูŽู‘ุงู…ู ููŽุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชู ุงู„ู’ู‡ูู„ุงู„ูŽ ู„ูŽูŠู’ู„ูŽุฉูŽ ุงู„ู’ุฌูู…ูุนูŽุฉู ุซูู…ูŽู‘ ู‚ูŽุฏูู…ู’ุชู ุงู„ู’ู…ูŽุฏููŠู†ูŽุฉูŽ ูููŠ ุขุฎูุฑู ุงู„ุดูŽู‘ู‡ู’ุฑู ููŽุณูŽุฃูŽู„ูŽู†ููŠ ุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ู„ู‡ู ุจู’ู†ู ุนูŽุจูŽู‘ุงุณู ุŒ ุซูู…ูŽู‘ ุฐูŽูƒูŽุฑูŽ ุงู„ู’ู‡ูู„ุงู„ูŽ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ู…ูŽุชูŽู‰ ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชูู…ู’ ุงู„ู’ู‡ูู„ุงู„ูŽ ุŸ ููŽู‚ูู„ู’ุชู : ุฑูŽุฃูŽูŠู’ู†ูŽุงู‡ู ู„ูŽูŠู’ู„ูŽุฉูŽ ุงู„ู’ุฌูู…ูุนูŽุฉู ุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ : ุฃูŽู†ู’ุชูŽ ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชูŽู‡ู ุŸ ููŽู‚ูู„ู’ุชู: ู†ูŽุนูŽู…ู’ ุŒ ูˆูŽุฑูŽุขู‡ู ุงู„ู†ูŽู‘ุงุณู ูˆูŽุตูŽุงู…ููˆุง ูˆูŽุตูŽุงู…ูŽ ู…ูุนูŽุงูˆููŠูŽุฉู ุŒ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ู„ูŽูƒูู†ูŽู‘ุง ุฑูŽุฃูŽูŠู’ู†ูŽุงู‡ู ู„ูŽูŠู’ู„ูŽุฉูŽ ุงู„ุณูŽู‘ุจู’ุชู ููŽู„ุง ู†ูŽุฒูŽุงู„ู ู†ูŽุตููˆู…ู ุญูŽุชูŽู‘ู‰ ู†ููƒู’ู…ูู„ูŽ ุซูŽู„ุงุซููŠู†ูŽ ุฃูŽูˆู’ ู†ูŽุฑูŽุงู‡ู ุŒ ููŽู‚ูู„ู’ุชู : ุฃูŽู„ุง ุชูŽูƒู’ุชูŽูููŠ ุจูุฑูุคู’ูŠูŽุฉู ู…ูุนูŽุงูˆููŠูŽุฉูŽ ูˆูŽุตููŠูŽุงู…ูู‡ู ุŸ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ: ู„ุง ุŒ ู‡ูŽูƒูŽุฐูŽุง ุฃูŽู…ูŽุฑูŽู†ูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ุตูŽู„ูŽู‘ู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ูŽู‘ู…ูŽ.

Artinya: “Dari Kuraib: โ€œSesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:โ€ Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?โ€ Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi: “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal).” Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?โ€ Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” ( HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaโ€™i dan Ibnu Khuzaimah).
Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil ru’yatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya.
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Khuzaimah menyatakan: โ€œHadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain (negeri) mereka.”
Al-Imam Tirmidzi juga berkata :ย “Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, bahwa sesungguhnya tiap-tiap penduduk negeri mempunyai ru’yah sendiri.”

Inilah yang menjadi dalil bahwa hilal di suatu kita tidak mesti sama dengan hilal di Arab Saudi. Artinya hilal lokal pun berlaku.ย Itulah, maka Imam An-Nawawiย  menyebutkan, โ€œSetiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.โ€

Imam Nawawiย  juga menjelaskan, โ€œHadits Kuraib dari Ibnu โ€˜Abbas menjadi dalil dan pendapat yang kuat di kalangan Syafiโ€™iyah, bahwa penglihatan ruโ€™yah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.โ€ Walaupun sebagian ulama Syafiโ€™iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya.

Namun, ulama selanjutnya menyebutkan, bahwa ternyata Ibnu Abbas kemudian tidak menyamakan awal dan akhir Ramadhan dengan pendudukย Syam setelah persaksian Kuraib. Ini mendorong munculnya berbagai asumsi penyebab perilakuย tersebut. Dan asumsi yang paling menonjol terhadap sikap beliau tersebut adalah karena beliau menilai Madinah dan Syam berbeda jarak sehingga harus menggunakan ruโ€™yatul hilal masing masing wilayah.

Padahal statement seperti (karena berbeda mathlaโ€™) itu adalah penafsiran dari pembaca, bukan ungkapan dari Ibnu Abbas itu sendiri. Dan atas hadits itulah oleh kemudian Imam Syafi’i memunculkan teori ikhtilaf al-Mataliโ€™, yakni bahwa rukyat di suatu kawasan, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia.

Demikian pula muncul ragam pendapat dalam menafsirkan statement Ibnu Abbas: “Hakadza Amarana Rasulullah“. (Begitulah Rasulullah menyuruh kami), yakni apakah hadits ini bisa dimarfuโ€™ kan kepada Rasul ataukah statusnya mauquf pada Ibnu Abbas dan merupakan ijtihad beliau semata.

Penggolongan ini sangat penting, sebab haditsย mauquf (atsar sahabat) secara klasifikasi adalah termasuk golongan hadits dhaif, di mana kita dilarang berhujah dengan hadits dhaif dalam masalah hukum syaraโ€™ khususnya lagi dalam masalah ibadah.

Analisa tentang keadaan Ibnu Abbas yang terkesan menolak kesaksian Kuraib. Seperti diuraikan dalam Kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Marom karya Syaikh Ash-Shonโ€™any pada bab Shalat Ied (hadits ke-409). Di dalam hadits tersebut Ibnu Abbas sama sekali tidak mengatakan penetapan puasanya yangย berbeda dengan Muโ€™awiyah adalah karena masalah perbedaan mathlaโ€™ atau juga karena tidak menerima khabar ahad dari Kuraib. Sama sekaliย tidak. Imam Ash-Shonโ€™any mengatakan hal ini karena Ibnu Abbas semata-mata lebih yakin bahwa Ramadhan memang benar-benar belum datang.

Imam Ash-Shonโ€™any menegaskan kembali bahwa wajib tiap masing masingย untuk beramal atas dasar keyakinann masing masing, bukan mengikuti dzon (dugaan).

Demikian pula Imam Asy-Syaukani berusaha mengkompromikan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kemungkinan Ibnu Abbas berkeyakinan bahwa pasti penduduk Syam salah meruโ€™yat hilal pada malam Jumat tersebut. Sebab menurut perhitungannya saat itu baru tanggal 28, sehingga bagaimana mungkin terlihat hilal pada sore itu (malam 29).

Lalu kemudian beliau meneruskan puasanya berdasarkan keyakinannya bahwa tidak mungkin hilal terlihat pada malam Jumat dan setidaknya baru mungkin terlihat hilal pada malam sabtu. Hal inilah yang dipahami oleh Ibnu Abbas.

Konvensi Kalender Islam Istanbul 1978

Masalah penentuan satu Ramadhan dan satu Syawal sebenarnya sudah dibicarakan dan diputuskan bersama pada Musyawarah Ahli Hisab dan Rukyat Internasional yang dihadiriย 19 negara berpenduduk Islam, termasuk Indonesia, di Istambul, Turki tanggal 27-30 Novemberย 1978.

Musyawarah yang menghasilkan Konvensi Istambul diawali dengan menyitir Al-Quran Surat Ali imran ayat 103, โ€œDan berpegang-teguhlah kepada tali Allah dengan bersatu-padu dan janganlah berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu, yaitu ketika kamu bermusuhan, maka disatukan-Nya hati-hati kamu, maka jadilah kamu dengan nikmat Allah itu menjadi bersaudaraโ€. Menunjukkan keinginan kuat negeri-negeri berpenduduk Islam untukย  menjalin persatuan dan kesatuan dalam memeulai puasa Ramadhan dan dalam berhari raya.

Konvensi Istambul menyebutkan bahwa apabila bulan telah kelihatan di suatu negeri berarti semua negeri telah melihatnya. Dan yang ditugaskan melihat bulan adalah negeri Mekkah Saudi Arabia, karena alamnya yang cerah dan terang-benderang serta jarang mendung dan hujan. Mekkah diwajibkan mengumumkannya ke seluruh dunia Islam karena bulan cuma satu.

Bila Konvensi Istambul ini ditaati secara konsekwen dan konsisten, maka insya Allah dunia Islam akan bersatu dalam memulai ibadah puasa Ramadhan dan dalam melaksanakan Shalat Idul Fitri secara serentak. Apalagi dalam melaksanakan Shalat Idul Adha yang patokannya adalah ibadah haji di Arafah, bukan di tempat lain.

Maka, patut diapresiasi apa yang diagendakanย oleh Presiden Turki Recep Tayyip ErdoฤŸan yang merencanakan menyelenggarakan konferensi Penyatuan Kalender Islam Internasional Maret 2016 mendatang.

Erdogan mengatakan konferensi bertujuan untuk menyatukan umat Islam dalam mengawali bulan Hijriyah, studi penyatuan Kalender, dan menentukan hari keagamaan Islam seperti awal bulan Ramadhan dan hari libur Idul Fitri dan Idul Adha di kalangan umat Islam.

Kantor Berita Turki Anadolu Agency seperti dikutip Miโ€™raj Islamic News Agency (MINA) pada Rabu (24/6) menyebutkan, menurut Erdogan, perbedaan pada awal bulan Ramadhan di beberapa negara Islam dan bahkan dalam beberapa kota dalam satu negeri, bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan Islam.

ukhuwahUrgensi Sentral Persatuan Umat Islam

Namun, kenyataannya, memang masih belum bersatu dalam menentukan dua Hari Raya tersebut. Dan memang perbedaan dalam penentuan awal bulan qamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, adalah salah satu dari ribuan masalah yang dihadapi umat Islam akibat berpecah-belahnya kaum Muslimin ke dalam sekat-sekat politik negara-negara. Itu terjadi akibat hilangnya sentral kepemimpinan umat Islam.

Karena fungsi sentral kesatuan umat Islam adalah pemersatu perbedaan, sebagaimana kaidah syariโ€™ah yang terkenal, yaitu:

ุฃูŽู…ู’ุฑู ุงู„ุฅูู…ูŽุงู…ู ูŠูŽุฑู’ููŽุนู ุงู„ู’ุฎูู„ุงูŽููŽ

Artinya: โ€œPerintah Imaam menghilangkan perbedaan pendapatโ€.

ุฃูŽู…ู’ุฑู ุงู„ุฅูู…ูŽุงู…ู ู†ูŽุงููุฐูŒ ุธูŽุงู‡ูุฑุงู‹ ูˆูŽุจูŽุงุทูู†ุงู‹

Artinya; โ€œPerintah Imaam wajib dilaksanakan secara lahir maupun batin.โ€

Karena perbedaan dan perselisihan akan selalu ada, maka itulah wajib adanya seorang Imaam atau Khalifah, yang mememmpin umat Islam secara keseluruhan, sebagai bentuk mengikuti Sunnah Nabi dan Sunnah para khalifahnya terdahulu.

Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam sudah mengingatkan kita semua, seperti dalam sebuah hadits dari โ€˜Irbadh bin Sariyyah Radhiyallahu โ€˜Anhu berkata: โ€œRasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam menasihati kami dengan nasihat yang membuat air mata kami mengalir dan hati kami menjadi bergetar. Kami mengatakan : โ€œWahai Rasulullah sesungguhnya ini seperti merupakan nasihat perpisahan, maka apa yang engkau amanatkan kepada kami?โ€ Lalu, beliau menjawab :

ู‚ูŽุฏู’ ุชูŽุฑูŽูƒู’ุชููƒูู…ู’ ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ุจูŽูŠู’ุถูŽุงุกู ู„ูŽูŠู’ู„ูู‡ูŽุง ูƒูŽู†ูŽู‡ูŽุงุฑูู‡ูŽุงุŒ ู„ุงูŽ ูŠูŽุฒููŠู’ุบู ุนูŽู†ู’ู‡ูŽุง ุจูŽุนู’ุฏููŠ ุฅูู„ุงู‘ูŽ ู‡ูŽุงู„ููƒ. ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ูŠูŽุนูุดู’ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ ููŽุณูŽูŠูŽุฑูŽู‰ ุงุฎู’ุชูู„ุงูŽูู‹ุง ูƒูŽุซููŠู’ุฑู‹ุง ุŒ ููŽุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ุจูุณูู†ู‘ูŽุชููŠ ูˆูŽุณูู†ู‘ูŽุฉู ุงู„ู’ุฎูู„ูŽููŽุงุกู ุงู„ุฑู‘ูŽุดูุฏููŠู’ู†ูŽ ุงู„ู’ู…ูŽู‡ู’ุฏููŠู‘ููŠู’ู†ูŽ

Artinya: โ€œSungguh aku telah tinggalkan kalian diatas jalan yang sangat putih, malamnya seperti siangnya. Tidaklah menyimpang darinya sepeninggalku kecuali pasti binasa. Barangsiapa yang hidup di antara kalian maka dia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan dengan sunnah al-Khulafaa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk.โ€ (HR Ahmad).

Dalam lafadz yang lain, dari Irbadh bin Sariyyah Radhiyallahu โ€˜Anhu juga dia berkata : โ€œRasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam shalat shubuh bersama kami, kemudian menghadap kepada kami. Beliau menasihati kami dengan nasihat yang sangat berkesan. Membuat air mata bercucuran dan hati menjadi bergetar.โ€ Kami berkata : โ€œWahai Rasulullah, seolah-olah ini suatu nasihat perpisahan, maka wasiatilah kami.โ€ Lalu beliau bersabda :

ย ูŽุฃูˆู’ุตููŠู’ูƒูู…ู’ ุจูุชูŽู‚ู’ูˆูŽู‰ ุงู„ู„ู‡ูŽ ุŒ ูˆูŽุงู„ุณู‘ูŽู…ู’ุนู ูˆูŽุงู„ุทู‘ูŽุงุนูŽุฉู ูˆูŽุฅูู†ู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ุนูŽุจู’ุฏูŒ ุญูŽุจูŽุดููŠู‹ุง ุŒ ููŽุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽู†ู’ ูŠูŽุนูุดู’ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ ูŠูŽุฑูŽู‰ ุจูŽุนู’ุฏููŠ ุงุฎู’ุชูู„ุงูŽูู‹ุง ูƒูŽุซููŠู’ุฑู‹ุง ุŒ ููŽุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ุจูุณูู†ู‘ูŽุชููŠ ูˆูŽุณูู†ู‘ูŽุฉู ุงู„ู’ุฎูู„ูŽููŽุงุกู ุงู„ุฑู‘ูŽุดูุฏููŠู’ู†ูŽ ุงู„ู’ู…ูŽู‡ู’ุฏููŠู‘ููŠู’ู†ูŽ. ุนูŽุถู‘ููˆุง ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูŽุง ุจูุงู„ู†ู‘ูŽูˆูŽุงุฌูุฐ ุŒ ูˆูŽุฅููŠู‘ูŽุงูƒูู…ู’ ูˆูŽู…ูุญู’ุฏูŽุซูŽุงุชู ุงู„ุฃูู…ููˆู’ุฑู ุŒ ููŽุฅูู†ู‘ูŽ ูƒูู„ู‘ูŽ ู…ูุญู’ุฏูŽุซูŽุฉู ุจูุฏู’ุนูŽุฉูŒ ุŒ ูˆูŽุฅูู†ู‘ูŽ ูƒูู„ู‘ูŽ ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽู„ูŽุฉูŒ.

Artinya: โ€œAku wasiyatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyi. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para al-Khulafaa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham. Hati-hati dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), maka sesungguhnya setiap perkara yang baru tersebut adalah bidโ€™ah dan bidโ€™ah itu adalah sesat.โ€ (HR Ashabus sunan kecuali An-Nasaai).

Wabil khusus dalam masalah Hari Raya, maka patokannya adalah bagaimana Imaam atau Khalifah memutuskan. Seperti disebutkan di dalam hadits :

ย ูŠูŽูˆู’ู…ู ุนูŽุฑูŽููŽุฉูŽ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุชูุนูŽุฑู‘ููููˆู†ูŽ ุŒ ูˆูŽุงู„ุฃูŽุถู’ุญูŽู‰ ูŠูŽูˆู’ู…ูŒ ูŠูุถูŽุญู‘ููŠ ุงู„ุฅูู…ูŽุงู…ู ุŒ ูˆูŽุงู„ู’ููุทู’ุฑู ูŠูŽูˆู’ู…ูŒ ูŠููู’ุทูุฑู ุงู„ุฅูู…ูŽุงู…ู

Artinya: “Hari Arafah adalah hari yang kalian kenal, dan Adha adalah hari Adha (qurbannya) Imaam, dan Idu Fitri adalah Fitrinya (berbukanya) Imaam.”

Imam Badrudin Al-โ€˜Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, โ€œKaum Muslimin senantiasa wajib mengikuti Imaam (Khalifah). Jika Imaam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imaam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.โ€

Adanya sentral kepemimpinan di antara orang-orang beriman (QS An-Nisa : 59), merupakan pemersatu, penyelesai perselsisihan, tameng serta komando bagi perjuangan kaum Muslimin. Tanpanya, maka umat Islam akan semakin centang-perenang bagai buih di gelombang lautan, terombang-ambing tak tentu arah, dan bagai makanan yang siap dihidangkan untuk musuh-musuh-Nya.

Maka, di sinilah perlunya sentral kepemimpinan umat Islam menjangkau seluas mungkin dalam menerima dan memberikan informasi mengenail Ru’yatul Hilal dari dan kepada dunia Islam, wabil khusus kepada Pelayan Dua tanah Suci Haramain, di Mekkah al-Mukarramah.

Semoga persatuan dan kesatuan umat Islam dapat kita wujudkan, amalkan dan kita syukuri karena Allah. Sambil tetap menjaga persaudaraan umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah) di tengah beragamnya perbedaan fiqih ikhtilafiyyah.

Sebab, secara ushul, insya-Allah masih sama, Tuhannya satu Allah Taโ€™ala, Nabinya satu Muhammad Shallallahu โ€˜Alaihi Wasallam, kitabnya satu Al-Quranul Karim, Kiblat shalat dan hajinya satu Kaโ€™bah Baitullah, dan bahasa persaudaraannya satu bahasa Arab.ย (P4/R02).

Miโ€™raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0