Dua Hal dari Allah, Dua Hal dari Syaitan

Oleh : Deni Rahman, dai pondok pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Bogor

Judul di atas penulis kutip dari pernyataan sahabat mulia Ibnu Abbas Radhiallahu anhu ketika beliau memberikan penafsiran ayat mulia, ayat ke 268 Surah Al-Baqarah :

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata : “Dua hal dari Allah, dua hal dari syaitan. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan. Syaitan itu berkata, Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya. “Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)”.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu anhu, ia menceritakan, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:

“إِنْ لِلشَّيْطَانِ لَلَمّة بِابْنِ آدَمَ، وللمَلك لَمة، فَأَمَّا لَمَّةُ الشَّيْطَانِ فَإِيعَادٌ بِالشَّرِّ وَتَكْذِيبٌ بِالْحَقِّ، وَأَمَّا لَمَّةُ الْمَلَكِ فَإِيعَادٌ بِالْخَيْرِ وَتَصْدِيقٌ بِالْحَقِّ. فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ فليعلَمْ أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ، فَلْيحمَد اللَّهَ، وَمَنْ وَجَدَ الْأُخْرَى فَلْيَتَعَوَّذْ مِنَ الشَّيْطَانِ”. ثُمَّ قَرَأَ: {الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا} الْآيَةَ.

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu mempunyai dorongan atau bisikan kepada anak Adam, dan malaikat juga mempunyai dorongan atau bisikan pula. Dorongan syaitan itu berupa upayanya mengembalikan kepada kejahatan dan mendustakan kebenaran. Sedangkan dorongan malaikat berupa upaya mengembalikan kepada kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Barangsiapa mendapatkan hal tersebut, maka hendaklah ia mengetahui bahwa yang demikian itu dari Allah, dan hendaklah ia memanjatkan pujian kepada-Nya. Dan barangsiapa mendapatkan selain dari itu, maka hendaklah ia berlindung dari syaitan.” Kemudian Nabi SAW membaca : yang artinya, “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia.” (HR. At-Tirmidzi dan Nasai)

Senada dengan yang dikemukakan Ibnu Abbas Radhiallahu anhu, terkait dengan penjelasan ayat ini, Ibn Jarir menukil pendapat Ibnu Humaid yang menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai janji kepada manusia dan syaitan juga memiliki janji.

Janji Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menjanjikan kebaikan dan membenarkan kebenaran, sedangkan janji syaitan adalah menjanjikan keburukan dan mendustakan kebenaran. Syaitan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, lalu ia menebarkan kedalam jiwa manusia dengan sifat rakus, bakhil, dan sikap permusuhan.

Rasa takut akan kemiskinan telah mendorong kaum jahiliyah untuk membunuh anak-anak perempuannya, dan memilih rakus untuk mengumpulkan harta dan kekayaan dan enggan berbagi atau bersedekan dengan yang lainnya.

Menurut Al-Qurtuby, makna kata ya’idukum adalah menakut-nakuti, yakni syaitan menakut-nakuti manusia dengan kefakiran agar mereka tidak bersedekah. Ayat ini masih bersinggungan dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa syaitan memiliki pintu masuk untuk mengusik keteguhan hati seseorang dalam bersedekah di jalan Allah. Di samping itu, syaitan juga menyuruh manusia untuk berbuat kejahatan yakni kejahatan kikir dan kejahatan maksiat lainnnya.

Ketika dirunut, ayat di atas memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat yang mengemukakan tentang perintah menginfakkan hasil kerja atau hasil bumi kejalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu zakat ataupun bersedekah dengan barang-barang yang bagus dari hasil tersebut. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 267 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Faqr, Fahsya, Maghfirah dan Fadhl

Faqr dalam bahasa Arab berarti ‘tulang punggung’ dan faqir berarti ‘orang yang patah tulang punggungnya’ karena demikian berat beban yang dipikulnya. Kata yang senada dengan faqir adalah miskin. kata ‘miskin’ berasal dari kata sakana yang dalam bahasa Arab berarti ‘diam’ atau ‘tenang’.  Dalam almausuah alfiqhiyah disebutkan, faqir secara bahasa ialah lawan kata dari ghaniy (kaya). Sedangkan lawan kata miskin secara bahasa ialah harakah (bergerak), yaitu sesuatu yang diam ketika hilang gerakannya.

Adapun fahsya secara bahasa, menurut Al-Asfahani, diartikan sebagai segala perbuatan yang dinilai sangat buruk oleh agama, naluri kemanusian dan akal sehat, baik menyangkut ucapan ataupun perbuatan. Ibnu Abas menuturkan bahwa yang dimaksud fahsya adalah sifat kikir.

Wahbah Zuhaili mengaitkan penafsiran lafadz fahsya dalam ayat ini adalah dengan keengganan membayar zakat. Menurutnya, syaitan berusaha menggoda dengan kekurangan harta sebab berzakat dan memberi di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana konteks ayat tersebut. Sikap enggan mengeluarkan zakat merupakan perilaku yang begitu buruk, ketika perilaku ini mendarah daging tentu akan membawa mereka dalam hal fahsya.

Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa manusia ditakut-takuti kemiskinan sehinga menjadi pelit terhadap hartanya. Beliau berkata:

يخوفكم الفقر ، لتمسكوا ما بأيديكم فلا تنفقوه في مرضاة الله

Syaitan menakut-nakuti kalian akan kemiskinan, agar kalian menahan harta ditangan kalian dan tidak kalian infakkan untuk mencari ridha Allah.

Manusia semakin takut dengan kemiskinan karena sifat dasar manusia sangat cinta terhadap harta dan harta adalah godaan (fitnah) terbesar manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (ujiannya) dan fitnah umatku adalah harta[HR. Bukhari]

Sedangkan Maghfirah yang berarti ampunan, adalah janji bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencukupi kesalahan segenap hamba-Nya di dunia dan di akhirat.

Dan yang dimaksud fadhl adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Alla Subhanahu wa Ta’ala.

Infaq akan Kembali Pada dirinya

Godaan syaitan dengan menakut-nakuti kemiskinan akan berdampak munculnya rasa pelit pada manusia, tidak mau berinfak atau membantu sesama. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam menyatakan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang:

مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ

Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shadaqah.[HR. At-Tirmidzi]

Dalam bukunya, Man Yasytari al-Jannah (Membeli Jannah dengan harta – terj), Raghib As-Sirjani menuliskan, apabila Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam telah bersumpah, maka kebenaran itu sangat ditekankan. Dan karenanya, kita tidak boleh meragukannya, apalagi tidak mempercayainya.

Di antara sumpah Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam adalah bahwa sedekah tidak akan mengurangi jumlah harta kita, sebagaimana hadits di atas. Itu adalah kebenaran mutlak, artinya, bahwa ganti dari sedekah bukanlah main-main. Ganti itu akan terwujud dengan sempurna ketika di dunia sebelum di akhirat, Baik dengan datangnya harga atau pun terselesaikannya salah satu persoalan yang kita hadapi. Sebab, berkah dari sedekah yang kita berikan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah keniscayaan.

Untuk mempercayai Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, seharusnya umat Islam tidak membutuhkan sumpah beliau, tetapi, Lebih lanjut, As-Sirjani mengemukakan, mengapa beliau sampai bersumpah dalam hal ganti sedekah ? Karena beliau memandang ganti sedekah oleh umatnya terkadang masih diragukan. Karena itulah, beliau bersumpah agar umatnya tahu bahwa janji Allah tentang ganti sedekah itu pasti, hak, dan benar adanya.

Diantara janji beliau juga adalah sabdanya tentang doa malaikat bagi yang gemar berinfaq. Nabi Shallallahu alaihi Wasallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua Malaikat yang turun dan berdoa, Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak.Malaikat yang lain berdoa, Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan berinfaq.(HR Bukhari dan Muslim).

Perintah untuk menginfakkan harta, kemanfaatannya akan kembali bagi si pemberi, dan adanya perintah untuk memberikan kepada orang yang butuh bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mampu memberikan secara langsung, tetapi perintah itu adalah untuk kepentingan dan kemashlahatan bagi manusia sebagai mahluk sosial, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Zat yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Mari berinfaq ..

Wallahu a’lam bishowab 

(A/Dr/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.