Haji Membangun Karakter Insan Kamil (M. Fuad Nasar)

Haji adalah ibadah terakhir yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Kewajiban mengerjakan haji hanya sekali seumur hidup bagi muslim yang mampu.

Haji mempertemukan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam persiapan dan pelaksanaannya. Persiapan bekal dan kemampuan untuk menunaikan haji selain ketakwaan, dalam agama disebut istitha’ah.

Konsep istitha’ah dalam fikih haji meliputi kesehatan lahir-batin, cukup biaya perjalanan dan biaya keluarga yang ditinggalkan, sarana perjalanan serta keamanan dalam perjalanan pulang-pergi ke tanah suci.

Ibadah haji sebagai panggilan Allah semenjak zaman Nabi Ibrahim dilukiskan kemuliaannya dalam berbagai narasi oleh ulama dan pemikir muslim dari masa ke masa.

Haji dilukiskan oleh Prof. Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi dalam buku Keagungan Muhammad Rasulullah (judul asli: ‘Adhamatur-Rasul) sebagai pertemuan kaum Muslimin sedunia di tanah suci, di mana terasa betapa hangatnya semangat Islam, demokrasi Islam, persamaan penuh antara kaum kaya dan kaum miskin, kekuatan jiwa tauhid, cinta persaudaraan dan hanya takut kepada Allah semata.

Seorang ilmuwan Turki, Mahmud Al-Istanbuli, mengatakan ibadah haji merupakan sumbangan Islam paling positif untuk melahirkan manusia-manusia ideal yang bersatu hati dan bersatu amal yang dicita-citakan oleh para filosof, sejak zaman Plato, al-Farabi, Thomas Morus, sampai zaman kita ini.

Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout dalam buku Islam Sebagai Aqidah dan Syariah melukiskan pengorbanan dan keikhlasan orang-orang zaman dahulu yang bersusah payah untuk mencapai tanah suci, “…..dengan meninggalkan sanak keluarga, harta benda dan tanah airnya, jemaah hají itu rela menahan segala macam penderitaan dalam perjalanan dan segala kesulitannya demi berbakti kepada Tuhannya.

Baca Juga:  Mahasiswa STAI Al-Fatah Ikuti Aksi Peringatan Nakba ke-76

Dia melakukan yang demikian bukanlah dengan tujuan mencari keuntungan materi untuk memuaskan hawa nafsunya, tetapi semata-mata karena hendak berdiri sebagai hamba di hadapan Ilahi, bertaubat atas segala kesalahan dan kealpaannya di hadapan Ka’bah.

Apabila sudah selesai tugas haji, maka hatinya tenteram, dan dengan hati puas dia kembali ke tanah airnya, membawa hati yang thuma’ninah, semangat yang kuat, dengan tekad yang bulat untuk memperbaiki dirinya dan umatnya.”

Keutamaan kota suci Mekkah al-Mukarramah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji mengingatkan umat Islam pada sejarah kota tertua itu yang diabadikan dalam kitab suci Al Quran.

Mekkah adalah kota tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw, kota tempat Nabi Ismail dibesarkan, daerah tempat pertama kali ayat-ayat Al-Quran diturunkan, kota tempat berdirinya rumah ibadah pertama di muka bumi yaitu Baitullah (Ka’bah) dan Masjid Al-Haram yang merupakan kiblat umat Islam sedunia ketika menunaikan shalat.

Haji dalam bahasa Arab artinya menziarahi atau mengunjungi. Perjalanan mengunjungi Mekkah dan sekitarnya di luar bulan haji dan tanpa niat mengerjakan haji tidaklah termasuk kategori menunaikan ibadah haji.

Tata cara ibadah haji diajarkan dan dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad berdasarkan wahyu dari Allah. Tata cara manasik haji bersifat universal dan berlaku abadi.

Baca Juga:  Ratusaan Warga Israel Tuntut Pembebasan Sandera

Surat Ali Imran ayat 97 mengingatkan mengenai kewajiban menunaikan ibadah haji, “Hak bagi Allah atas manusia supaya mengunjungi Baitullah, yaitu (berhaji) bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (QS [3] Ali ‘Imran: 97)

Nabi Muhammad menegaskan dalam Hadis, “Ibadah haji itu di Arafah.” Wukuf, menurut bahasa artinya berhenti atau berada di tempat, maksudnya di Arafah.

Setiap jemaah haji mendiami kemah-kemah di Arafah dengan berdoa, berzikir dan bertaubat. Setiap orang merasa dirinya kecil dan lemah di hadapan Yang Maha Besar.

Pelaksanaan wukuf di Arafah berlangsung setelah matahari tergelincir arah ke Barat atau waktu zuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai batas waktu sebelum terbit fajar pada 10 Dulhijjah.

Sehari sebelum wukuf, sebagian jemaah haji melakukan mabit di Mina sebelum berangkat ke Arafah. Padang Arafah merupakan kawasan luas berjarak sekitar 28 kilometer dari kota Mekkah. Wukuf tidak bisa diwakilkan atau digantikan. Tidak sah ibadah haji tanpa melaksanakan wukuf di Arafah.

Selesai wukuf hingga terbenamnya matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah, seluruh jemaah haji mulai bergerak menuju Muzdalifah untuk mabit hingga tengah malam.

Di Muzdalifah jemaah haji mengambil batu kerikil untuk melontar jumrah saat mabit di Mina. Lewat tengah malam 10 Dzulhijjah, jemaah haji berangkat dari Muzdalifah menuju Mina dan melakukan lontar jumrah.

Baca Juga:  Peringati 76 Tahun Nakba, AWG Sampaikan 11 Poin Tuntutan

Suasana Padang Arafah yang terhampar seluas mata memandang di musim haji, sedikit membayangkan Padang Mahsyar yang bakal ditempuh oleh setiap manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di Hari Kiamat nanti.

Semua orang yang pernah lahir dan mati akan dikumpulkan serentak di Padang Mahsyar untuk menjalani hisab atas segala perbuatannya, baik ataupun buruk.

Kebaikan dan kejahatan walau tersembunyi dan lolos dari hukuman dunia, semua akan terbuka saat itu. Penampakan wukuf di Padang Arafah bagaikan miniatur Padang Mahsyar, meski sejatinya tidak bisa dibandingkan.

Suasana wukuf melambangkan hangatnya persaudaraan umat Islam di bawah lindungan Ka’bah. Semua jemaah haji larut dalam kesetaraan dan kebersamaan mengenakan pakaian ihram.

Pakaian berwarna putih itu melambangkan kesetaraan manusia di hadapan Allah tanpa membedakan kedudukan, pengetahuan, jabatan, kekayaan dan kebangsaan.

Pakaian ihram yang dikenakan jemaah haji melebur kesombongan diri akibat perbedaan status dan atribut duniawi.

Pakaian ihram warna putih tidak berjahit bagi kaum pria dan bagi wanita menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan mengingatkan pada “pakaian terakhir” ialah kain kafan putih yang dipakai ketika memasuki alam kubur.

Haji mabrur adalah dambaan setiap jemaah haji setelah merasakan pengalaman spiritual, pengalaman sosial bahkan pengalaman intelekual di Haramain.

Haji mabrur berkaitan dengan pembentukan karakter insan kamil (manusia unggul). Haji mabrur bukan gelar dan kebanggaan, tetapi refleksi transformasi diri sebagai muslim yang semakin lurus dalam berakidah tauhid, tertib menjalankan ibadah dan berakhlak mulia kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. (A/R2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Ismet Rauf