Hari Nakbah dan ‘Tanah Air’ Israel

Oleh : Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Arab Mi’raj News Agency (MINA)

Senin 14 Mei 1948 adalah ‘Hari Kemerdekaan’ , seperti halnya kita memperingati 17 Agustus dengan begitu meriahnya, maka di Israel pun sama setiap tanggal 14 Mei mereka merayakan berdirinya negara Israel.

Selasa 15 Mei 2018 bertepatan dengan ultimatum perang Liga Arab atas Israel, maka terjadilah perang pertama Arab-Israel. Perang itu mengakibatkan sekitar 700,000 penduduk Palestina harus angkat kaki dari tanah air mereka. Oleh karena itu, setiap tanggal 15 Mei bangsa Palestina memperingatinya sebagai Hari Nakbah (Hari Malapetaka).

Kita sudah ‘khatam’ tentang bagaimana merampas Palestina padahal mereka tidak memiliki hak secuil pun atas tanah Palestinaa. Kejayaan Zionis saat ini bukan pencapaian yang kebetulan tapi sesuatu yang telah mereka rancang secara matang di 50 tahun pertama (dari 1897-1947), selama itu tidak pernah terdengar bahwa mereka akan mendirikan sebuah negara (state).

Kalau kita menelaah kesepakatan dan perjanjian Zionis dengan negara-negara besar, kita melihat bagaimana Zionis begitu mencitrakan bahwa mereka hanya ingin membangun “homeland” bagi orang Yahudi.

Zionis tidak pernah secara terang-terangan mengatakan ingin mendirikan sebuah negara. Yang mereka inginkan adalah untuk kembali ke “tanah asalnya”, mereka sanggup hidup di bawah aturan bangsa Palestinaa. Itulah yang disebutkan dalam keputusan Kongres Pertama Zionis tahun 1897 yang dikenal dengan “Basle Program”.

Maka untuk mencapai tujuan tersebut, Theodore Herzl yang dipercaya sebagai bapak politik Zionis mendekati Sultan Abdulhamid II, penguasa Turki Utsmani yang menguasai Palestina sejak tahun 1517. Herzl memohon Sultan Abdulhamid supaya mengizinkan orang Yahudi bertempat tinggal dan menetap di Palestina. Sebagai imbalannya, Herzl akan membantu Sultan  melunasi hutang-hutangnya di bank-bank Eropa.

Permintaan Herzl ditolak. Zionis akhirnya mendekati kerajaan Inggris semasa Perang Dunia Pertama (1914-1918) untuk memuluskan rencana mereka. Inggris menyatakan dukungannya untuk usaha Zionis untuk mendirikan “a national home for the Jewish people” yang selanjutnya diikat dengan Deklarasi Balfour (Balfour Declaration) yang dikeluarkan pada 2 November 1917. Meski ada sebagian masyarakat Turki meyakini bahwa Herzl mendanai gerakan kudeta yang dikenal sebagai “Young Turks” untuk menjatuhkan Sultan pada tahun 1908.

Setelah PD Pertama berakhir, Inggris mengambil alih Palestina dari Turki Utsmani dan mendirikan “British Mandate for ”. Inggris tidak menjajah Palestina secara langsung tapi memperbolehkan yahudi untuk ‘berhijrah’ ke Palestina. Banjirnya imigran legal yahudi beriringan dengan tumbuhnya komunitas-komunitas yahudi yang begitu pesat sehingga menimbulkan keresahan bangsa Arab.

Jumlah imigran ilegal yahudi melesat naik dari tahun ke tahun, ditambah faktor lain yang memicu karena rezim Nazi yang memberlakukan penghapusan etnis yahudi sehingga jumlah populasi yahudi di Palestina kian membengkak. Sejak 1933-1936 Palestina menerima 164.000 imigran Yahudi. Persentase itu melonjak dari 7% pada 1914 menjadi 27% pada tahun 1936. Hubungan antara Arab dan yahudi menjadi semakin tegang yang akhirnya memicu kerusuhan besar yang dikenal sebagai Revolusi Arab Palestina (Palestine Arab Revolt) tahun 1936.

Inggris berupaya menenangkan ketegangan Arab-Yahudi dengan mengusulkan resolusi upaya pembagian Palestina menjadi dua wilayah, Arab tidak menyetujuinya tapi yahudi menyeru supaya resolusi itu disetujui, kenapa? Karena Zionis melihat resolusi itu bisa dijadikan ‘batu loncatan’ untuk mecapai tujuan yang lebih besar.

Resolusi itu membagi Palestina menjadi dua entitas, negara Yahudi dan negara Arab, khusus Yerusalem statusnya berada di bawah aturan hukum internasional.

Pada 14 Mei 1948, pemerintah Inggris di Palestina secara resmi berakhir. David Ben-Gurion, pemimpin Yahudi di Palestina, mengumumkan berdirinya negara Israel dan dilantik sebagai Perdana Menteri Pertama Israel.

Sampai detik ini Israel tidak setuju dengan keputusan PBB dengan “two-state solution”. Tanah Palestina mereka rampas dan Yerusalem pun mereka kuasai perlahan. Hari ini, orang Palestina hanya menguasai kira-kira 10-20% dari tanah air mereka.

Itulah strategi Zionis yang bersifat “dikasih hati minta jantung”. Mengelabui mata public dengan tujuan yang biasa-biasa dan “non-threatening”, kemudian barulah merampas hak langkah demi langkah. Awal mulanya mereka bilang “kami hanya mencari kehidupan, kami hidup dalam aturan siapapun tidak apa apa”. Kemudian berkembang “tidak boleh, hak kita sama!”. Dan pada akhirnya mereka bilang “Anda (Palestina) siapa? Ini tanah kami”.

Semua itu terjadi secara “diam-diam”. Yahudi yang agresif dan licik, dan Arab yang terlalu “reactive”, pasif dan “predictable”. itulah harga yang terpaksa mereka harus bayar.(A/RA-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA) 

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0