Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI)
Pandemi virus Corona Covid-19 yang mematikan meningkat tajam di seluruh belahan dunia, baik di negara-negara maju dan maupun berkembang. Pada saat ini dunia sedang disibukan melakukan tindakan kuratif untuk menangani penyembuhan dan mencegah penyebaran penularannya. Namun, untuk jangka panjang tentunya kita harus bertindak preventif, berupa perlakuan pengendalian sosial untuk dapat mencegah atau juga mengurangi kemungkinan terjadinya kejadian serupa di masa mendatang.
Virus corona merupakan penyakit zoonosis – artinya penyakit menular akibat perpindahan virus dari hewan ke manusia. Seiring hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati secara global, wabah virus corona Covid-19 mungkin hanya awal dari pandemi massal yang lebih dahsyat bila kita tidak berbuat sesuatu untuk pencegahannya.
Sejumlah peneliti saat ini berpendapat bahwa perusakan keanekaragaman hayati oleh manusia telah menciptakan kondisi untuk berkembangnya virus dan penyakit baru seperti Covid-19 yang berdampak buruk pada kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat dunia.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Menurut Doreen Robinson, pemimpin satwa liar di Program Lingkungan PBB (United Nations Environmental Programme/UNEP) mengatakan bahwa penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia terus meningkat, akibat perusakan habitat liar oleh aktivitas manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini juga selaras dalam laporan UNEP tahun 2016 bahwa meningkatnya populasi dan memburuknya dampak perubahan iklim memberi tekanan lebih besar pada fungsi lahan akibat penggundulan hutan, urbanisasi, intensifikasi pertanian, dan ekstraksi sumber daya, telah memberikan keluasaan bagi patogen yang selama ini terkungkung untuk menyebar dari hewan ke manusia.
Manusia telah merusak hutan tropis beserta bentang alam liar yang berisi begitu banyak spesies hewan dan tumbuhan, tidak terkecuali berbagai macam virus yang belum diketahui.
David Quammen, penulis “Spillover: Animal Infections and the Next Human Pandemic,” baru-baru ini menulis di New York Times “kita tebang pohon; kita bunuh binatang atau mengirimnya ke pasar hewan. Kita ganggu ekosistem yang stabil dengan menghilangkan inang alami virus-virus tersebut. Akibatnya, secara alami, virus-virus membutuhkan inang baru untuk dapat bertahan hidup dan berkembang. Seringkali, kitalah inang baru untuk virus tersebut. Kita telah menjadikan kondisi di mana virus lepas dari penyekat ekologis alami mereka, tempat di mana mereka sedikit dan tidak ada persaingan, bahkan dalam satu binatang. Kita perkenalkan virus ke habitat baru yang kaya yang disebut populasi manusia, di mana mereka dapat berkembang biak dengan baik, namun menyebabkan masalah besar bagi manusia.”
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Munculnya penyakit baru yang aneh adalah masalah menakutkan yang tampaknya akan semakin buruk. Dalam masa kemajuan teknologi yang mempersingkat waktu tempuh, penyakit baru dalam satu daerah akan cepat menyebar dan mengancam pandemi di seluruh dunia.
Kita mendengar laporan berita Ebola, SARS, AIDS, dan sesuatu yang disebut Hendra yang membunuh kuda dan orang-orang di Australia. Laporan-laporan tersebut terpisah sehingga tidak menggambarkan akar masalahnya bahwa fenomena seperti itu merupakan bagian dari satu pola tunggal. Berbagai virus yang menularkan berbagai penyakit tersebut sama dalam satu hal, yaitu mereka berasal dari hewan liar dan menular ke manusia melalui proses yang disebut spillover (limpahan).
David Quammen bersama para ilmuwan penyakit terkemuka dunia menceritakan petualangannya seluruh dunia — menjaring kelelawar di Cina, menjebak monyet di Bangladesh, menguntit gorila di Kongo. Penelusuran tersebut dilakukan untuk mempelajari bagaimana, dari mana, dan mengapa penyakit ini muncul, dan dia mengajukan pertanyaan yang menakutkan: Seperti apa penyakit besar selanjutnya?
Pengamatan atas fakta-fakta tersebut menumbuhkan disiplin baru bagi kita, yaitu pentingnya menjaga kesehatan bumi, melalui peningkatan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara kesejahteraan manusia, seluruh makhluk hidup lainnya dalam suatu ekosistem yang sehat dan seimbang.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Koneksi Pasar
Ahli ekologi penyakit berpendapat bahwa virus dan patogen lain, cenderung berpindah dari hewan ke manusia melalui perdagangan satwa liar berbahaya untuk makanan, dengan rantai pasokan yang tumbuh cepat di seluruh dunia, termasuk, Asia, Afrika dan bahkan Amerika.
Berbagai macam hewan liar ditumpuk bersama di pasar yang memperdagangkan daging segar bagi masyarakat perkotaan. Di sini, hewan disembelih, dipotong dan dijual di tempat “Pasar Basah”.
Pasar basah di Wuhan, dianggap pemerintah Cina sebagai titik awal pandemi Covid-19 saat ini, diketahui menjual banyak hewan liar, termasuk anak anjing serigala hidup, salamander, buaya, kalajengking, tikus, tupai, rubah, musang dan kura-kura.
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Sama halnya, pasar perkotaan di Afrika barat dan tengah menjual monyet, kelelawar, tikus, dan lusinan spesies burung, mamalia, serangga, dan hewan pengerat yang disembelih dan dijual di dekat tempat pembuangan sampah terbuka dan tanpa drainase.
Pada saat ini ada 7,6 miliar manusia kelaparan, mereka miskin dan sangat membutuhkan protein; sebaliknya sekelompok orang kaya dan boros dan mampu untuk bepergian ke mana saja dengan pesawat terbang. Faktor-faktor ini belum pernah terjadi sebelumnya di Bumi: Satu konsekuensi dari kelimpahan itu, kekuatan itu, dan gangguan ekologis yang diakibatkannya adalah berupa meningkatnya pertukaran virus – awalnya dari hewan ke manusia, kemudian dari manusia ke manusia, dengan kemungkinan dalam skala pandemi.
Thomas Gillespie, ahli ekologi penyakit, profesor dari Emory University menyatakan bahwa pasar basah menunjang penularan patogen lintas spesies. Setiap kali manusia memiliki interaksi baru dengan berbagai spesies di satu tempat, apakah itu di lingkungan alami seperti hutan atau pasar basah, akan berpotensi penularan.
Menjadi Viral
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!
Virus adalah misteri yang tak terlihat, seperti materi gelap dan Planet X, hingga memasuki abad kedua puluh. Mereka penting sekali tetapi tidak terdeteksi.
Penemuan mikroba Anton van Leeuwenhoek tidak mencakup virus, juga tidak ada terobosan bakteriologis dari Pasteur dan Koch, dua ratus tahun kemudian. Pasteur bekerja pada rabies sebagai penyakit, dan bahkan mengembangkan vaksin, tetapi ia tidak pernah melihat virus rabies itu sendiri atau tidak mengerti apa itu.
Demikian juga, pada tahun 1902, William C. Gorgas menghilangkan demam kuning dari Kuba, melalui program pemberantasan nyamuk, tanpa pernah tahu agen penular apa yang dibawa nyamuk itu.
Hal tersebut seperti seorang pemburu dengan mata tertutup menembak bebek dengan hanya mendengar suara mereka.
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir
Bahkan virus influenza 1918-1919, yang telah membunuh hingga 50 juta orang di seluruh dunia, tetap menjadi sesuatu yang belum terungkap, tidak terlihat dan tidak dikenal pada saat itu. Virus tidak dapat dilihat dengan mikroskop optik; virus tidak bisa dikembangkan dalam kultur jaringan nutrisi kimia; virus tidak bisa ditangkap, seperti bakteri, dengan filter porselen. Virus hanya bisa dipahami.
Kenapa virus begitu misterius? Karena virus sangat kecil, sederhana tetapi cerdik, anomali, ekonomis, dan dalam beberapa kasus sangat halus. Pendapat ahli bahkan terbagi pada teka-teki apakah virus itu hidup. Mereka parasit. Mereka berkompetisi. Mereka menyerang, mereka menghindar. Mereka berjuang. Mereka mematuhi perintah dasar yang sama dengan semua makhluk hidup — untuk bertahan hidup, berkembang biak, mempertahankan garis keturunan — dan mereka melakukannya dengan menggunakan strategi rumit yang dibentuk oleh seleksi alam. Mereka berevolusi. Virus di bumi saat ini sangat cocok untuk apa yang mereka lakukan karena hanya yang terkuat yang selamat.
Tha’un dan Waba’ dalam Permulaan Literatur Arab
Conrad dalam penelitiannya menyatakan bahwa literatur Arab sejak abad pertengahan telah mencatat penyebaran penyakit yang menwaskan ribuan hingga jutaan orang yang menyebabkan di tutupnya masjid-masjid pada masa tersebut.
Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits
Pada masa tersebut di kenal dengan Tha’un dan Waba’. Waba’ merupakan penyakit yang mewabah dari lingkungan alam yang menyebabkan penularan penyakit tertentu, satu di antaranya adalah Tha’un.
Tha’un, di sisi lain, adalah suatu waba’ dengan jenis penyakit yang belum diketahui yang membuat kematian pada manusia. Sebagai contoh saat ini adalah, pandemi Covid-19 adalah Tha’un, tapi demam berdarah adalah Waba’.
Waba’ dianggap sebagai hasil dari perusakan lingkungan hidup (khususnya udara), yang mengganggu keseimbangan imunitas humoral sehingga menyebabkan berbagai penyakit. Al-Majusi mencurahkan perhatiannya pada bagaimana atmosfir buruk dapat menciptakan udara berpenyakit (hawa’ waba’i), yang pada gilirannya menyebabkan penyakit menular pada manusia.
Meskipun sekarang sayangnya hilang, sejumlah teks lain membawa wawasan tentang informasi ini. Di antara karya-karya medis yang dikaitkan dengan filsuf Al-Kindi (wafat 870) menyatakan, “Uap yang membersihkan udara berpenyakit (Al-waba’)”.
Baca Juga: Salam Es Teh
Ibn Qutaybah (wafat 889) melaporkan bahwa ketika orang-orang melihat asap dan kabut berkembang di udara tanpa alasan yang jelas, masyarakat menjadi takut akan wabah dan penyakit yang akan datang. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad telah memperingatkan orang-orang beriman untuk menutupi wadah mereka dan mengikat wadah air kulit mereka, karena suatu malam setiap tahun akan datang wabah yang masuk pada wadah atau tempat air kulit yang terbuka (HR. Muslim).
Sebuah kasus serupa menyoroti lebih lanjut tentang masalah ini. Al-Bukhari (Wafat 870) melaporkan bahwa pada tahun 638, ketika Umar bin Khattab dan sekelompok pengikutnya meninggalkan Madinah dan menuju utara menuju Suriah, sebuah delegasi komandan militer bertemu dengan khalifah di stasiun jalan Sargh dan memberitahunya bahwa wabah telah terjadi di Suriah dan diminta kembali ke Madinah. Versi lain dari hal yang sama dicatat oleh sejarawan Al-Tabari (wafat 923), yang memberikan varian menarik: “mereka memberitahunya bahwa tanah di sana tidak sehat”.
Para sejarawan ini memberitahukan kepada kita beberapa wawasan berharga lainnya tentang apa arti wabah di zamannya sendiri. Hubungan waba’ dengan lingkungan yang rusak cukup menonjol di sini, dan di bagian lain istilah ini digunakan bersama dengan tha’un dalam konteks untuk menunjukkan varian dan hubungan antara keduanya.
Virus Corona Membuat Bangsa Terkuat Tak Berdaya
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Virus Corona Covid-19 membuat manusia menjadi kecil dan lemah serta menyadari bahwa tidak ada di antara kita yang kuat. Tidak ada manusia yang manusia super. Tidak ada manusia yang maha kuasa. Kita semua berada di bawah kendali Allah Azza wa Jalla.
Lihatlah virus ini, negara terbesar di dunia dalam hal populasi, dan itu adalah Cina, negara paling kuat dan adidaya dunia dalam sejarah kemanusiaan, Amerika Serikat. Seluruh negara maju dan berkembang. Dari manapun mereka berasal, seluruh ras manusia saat ini dalam teror. Namun apa yang mereka takuti?
Mereka takut dan lemah pada yang terkecil dari yang kecil. Mereka takut dan lemah pada sesuatu yang merupakan manifestasi kehidupan.
Beberapa ilmuwan bahkan bertanya-tanya, apakah virus secara teknis hidup? Atau apakah itu antara hidup dan mati? Virus adalah manifestasi terkecil dari seluruh ciptaan.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Ukurannya sekitar 20 hingga 30 nanometer. Kita bahkan tidak dapat melihatnya dengan mikroskop biasa. Kita hanya dapat melihatnya melalui bantuan mikroskop khusus yang disebut mikroskop elektron. Dan mikroskop elektron tidak memantulkan cahaya dari objek. Mikroskop ini memantul elektron dari objek. Dan untuk memberi gambaran tentang seberapa kecil virus ini, untuk memberi Anda gambaran tentang apa yang menyebabkan semua umat manusia takut dan lemah pada sesuatu yang sangat kecil.
Hanya untuk melihat virus ini, kita perlu memperbesarnya setidaknya seratus ribu kali. Untuk memberi Anda gambaran, jika kita ambil sebutir beras dan mengembangkannya ratusan ribu kali, butir beras itu akan sebesar lima atau enam lapangan sepak bola. Hanya untuk melihat virusnya, kita harus mengembangkannya ratusan ribu kali. Kita semua manusia takut dan lemah dari makhluk sekecil ini.
Apa yang ditunjukkan ini kepada kita? Bahwa memang ada Rabb, kita bukan penguasa nasib kita sendiri. Kita bahkan tidak mengendalikan hidup kita sendiri, apalagi kehidupan orang lain. Bagaimana mungkin kita tidak rendah hati di depan Subhanal Kholiq, pencipta segalanya. Allah menciptakan berupa hal-hal yang aneh dan menakjubkan bahkan tidak mengerti bagi manusia, seperti firmanNya dalam surat An-Nahl [16]:8 “…Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”
Referensi:
Conrad, Lawrence I. 1982. Taun and Waba’: Conception of Plague and Pestilence in Early Islam. Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 25 , Part 3, pp. 268-307
Dols, Michael W. 1974. Plague in Early Islamic History. Journal of the American Oriental Society, Vol. 94, No. 3 (Jul. – Sep., 1974), pp. 371-383
Dols, Michael W. 1977. The Black Death in the Middle East. New Jersey: Princeton University Press.
Quammen, David. 2012. Spillover: Animal Infections and the Next Human Pandemic. New York: W. W. Norton & Company.
Quammen, David. 2020. We Made the Coronavirus Epidemic. https://www.nytimes.com/2020/01/28/opinion/coronavirus-china.html
The Guardian. 2020. Tip of the iceberg’: is our destruction of nature responsible for Covid-19?. https://www.theguardian.com/environment/2020/mar/18/tip-of-the-iceberg-is-our-destruction-of-nature-responsible-for-covid-19-aoe
Thomson Reuters Foundation. 2020. Asia’s rapid urbanisation deforestation linked to deadly viruses. https://www.bangkokpost.com/world/1876459/asias-rapid-urbanisation-deforestation-linked-to-deadly-viruses
Zhou, P., Yang, X., Wang, X. et al. 2020. A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature. https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7
(AK/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
*Tulisan ini diambil dari tulisan dengan judul “Virus Corona Menunjukkan Kita Untuk Disiplin Menjaga Kesehatan Bumi”