MULIANYA MAAF MEMAAFKAN

Oleh Neni Reza Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fatah

Dalam kehidupan, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, dan sebagian di antara mereka ada yang merasa menyesal jika pernah melakukan kesalahan tersebut.

Seorang Muslim, jika ia melakukan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja tentu membuat hatinya tidak tenang, ia akan resah seumur hidup jika masih teringat kesalahannya. Salah satu cara untuk menyelesaikan masalah adalah minta maaf, jangan malu dan jangan ragu buat ngakuin semua kesalahan kita, karena tujuan dan niat kita baik.

Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk meminta maaf. Tak kiralah minta maaf kepada kawan, suami/isteri, ibu-bapa, adik-beradik, atau sesiapa pun Mungkin cara yang paling mudah untuk meminta maaf adalah dengan hanya mengirim SMS. Tetapi ada cara yang paling sopan ketika meminta maaf, yaitu bertatap muka langsung.

Mulianya

Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Kesalahan, kekhilafan adalah fitrah yang melekat pada diri manusia. Allah berfirman dalam Hadits Qudsi yang artinya, “Nabi Musa a.s bertanya kepada Allah, “Ya Rabbi ! Siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu?” Allah berfirman, “Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan.” (Kharaithi dari Abu Hurairah r.a) dari Abu Hurairah ra.

Ini berarti bahwa manusia yang baik bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ma’shum (sentiasa dalam bimbingan Allah). Tetapi, manusia yang baik adalah manusia yang bisa memaafkan kesalahan orang lain yang telah melukai hati perasaannya.

Dalam Islam, mampu memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa (muttaqin). Allah berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Al-Imran: 133-134).

Ibnu Qudamah dalam Minhaju Qashidin menjelaskan bahawa makna memberi maaf di sini ialah sebenarnya engkau mempunyai hak, tetapi engkau melepaskannya, tidak menuntut qishash atasnya atau denda kepadanya.

Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran menjelaskan: Kata maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti “menghapus”, yaitu yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam yang membara.

Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam tahap “masih menahan amarah”. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab dengan begitu kita baru boleh dikatakan telah memaafkan orang lain.

Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan. Dan memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Kerana sifat pemaaf merupakan sebahagian dari akhlak yang sangat luhur, yang harus di ikuti bagi seorang Muslim yang bertakwa.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (Qs. Asy-Syura : 40).

Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai Uqbah, bagaimana jika ku beritahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mahu memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).

Al-Quran memang menetapkan, bahawa seseorang yang diperlakukan secara zalim diizinkan untuk membela diri tapi bukan didasarkan balas dendam. Pembelaan diri dilakukan dengan penuh simpati seraya menunjukan perangai yang luhur, bersabar, memaafkan dan toleran. Ketika Matsah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar menyebarkan gosip yang menyangkut kehormatan putrinya, Aisyah yang juga isteri Nabi.Abu Bakar bersumpah tidak akan membiayainya lagi. Tapi, Allah melarangnya sambil menganjurkan untuk memberika maaf dan berlapang dada (buka: Qs. an-Nur : 22).

Dari ayat ini ternyata ada tingkatan yang lebih tinggi dari alafwu (maaf), yaitu alshafhu. Kata ini pada mulanya bererti kelapangan. Darinya dibentuk kata shafhat yang bererti lembaran atau halaman, serta mushafahat yang bererti berjabat tangan. Seorang yang melakukan alshafhu seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

Alshafhu yang digambarkan dalam bentuk jabat tangan itu, menurut Al-Raghib al-Asfahaniy “lebih tinggi nilainya” dari pada memaafkan. Dalam alshafhu dituntut untuk membuka kembali lembaran baru dan menutup lembaran lama.”

Let’s gone be by gone (yang lalu biarlah berlalu) bangunkan kembali masa depan dengan semangat yang baru. Kita selalu lupa, hanya kerana kesalahan yang telah dibuat orang lain, kita melupakan semua kebaikan yang pernah dibuatnya. Untuk itu, kita juga harus memperlakukan semuanya secara seimbang.

Yang terbaik buat kita hari ini adalah bersama-sama bangun kembali dengan semangat baru, ketulusan hati dan semangat persaudaraan. Jangan ada yang berkata, “Tiada maaf bagimu.” Ahli hikmah mengatakan, “Ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal. Lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain dan lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu.”Wallahu a’lam.(nrz/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Admin

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0