Koalisi: Kebijakan Pemerintah Kurangi Prevalensi Perokok Belum Maksimal

Jakarta, MINA – untuk menilai kebijakan dan strategi pemerintah untuk mengurangi angka prevalensi perokok di belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Ketua Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim SH, menegaskan, berdasarkan data empiris di bidang pengendalian tembakau sepanjang tahun 2021, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, masih selalu menguntungkan industri rokok dan memanjakan perokok, termasuk perokok pemula.

“Kegagalan menurunkan prevalensi perokok pemula usia 10-18 tahun dalam periode RPJMN 2014-2019, dan target untuk menurunkan prevalensi perokok pemula pada periode RPJMN 2014-2019 menjadi 5,4% gagal, sementara pada periode RPJMN 2020-2024 dari 9,1% menjadi 8,7% diprediksi tak akan berhasil, bilamana kebijakan yang masih pro-industri dan memanjakan perokok tidak dirubah,” ujarnya dalam diskusi media “Catatan Akhir Tahun Pengendalian Tembakau” yang digelar secara hybrid, daring dan luring di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jakarta, Rabu (29/12).

Diskusi media ini digelar Indonesia Insitute for Social Development () bersama Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan dimoderatori Dr. Sudibyo Markus, Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah sekaligus Adviser IISD.

Selain itu, lanjut Ifdhal, pemerintah masih menganggap cukai rokok sebagai instrumen pendapatan negara dan belum sebagai instrumen pengendalian tembakau.

“Pemanfaatan yang kurang tepat dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau, tidak untuk mengurangi distribusi dan konsumsi produk tembakau, tapi kembali dimanfaatkan oleh rezim produsen tembakau,” katanya.

Baca Juga:  BBM di Radio Silaturahim: Intifada Intelektual di Kampus-Kampus AS

Pembina IISD Dra. Tien Sapartinah juga mencatat strategi dan kebijakan pemerintah dalam mengurangi prevalensi merokok di Indonesia perlu dievaluasi karena hingga saat ini jumlah perokok tak juga mengalami penurunan yang signifikan.

Tien mengatakan, rokok sebagai zat adiktif masih diperlakukan berbeda dengan NAPZA (narkoba dan zat adiktif lain semisal miras), sementara rokok elektrik yang nyata-nyata berisikan zat adiktif justru beredar lebih bebas dan menyasar generasi muda.

“Alasan klasik pemerintah yakni rokok adalah produk legal sehingga boleh dijual secara bebas. Selain itu, pada masa Pandemi Covid-19 ini tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan prinsip kehati-hatian terhadap dampak konsumsi tembakau sebagai faktor pemberat dan komorbid,” katanya.

Tien juga menyoroti komitmen internasional dalam SDGs atau Pembangunan Berkelanjutan tentang Goal 3a berupa pelaksanaan ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), sama sekali tak menunjukkan kemauan politik pemerintah ketika kini menjadi Ketua G20.

Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Nashir Efendi menyatakan keresahannya karena anak muda semakin mudah mengonsumsi rokok. Untuk itu, dia mengajak generasi muda untuk berperan aktif dengan berupaya melakukan pengendalian rokok ini.

Baca Juga:  IRI Terus Gencarkan Gerakan Selamatkan Hutan Tropis Indonesia

“Generasi muda mempunyai hak terlindungi dari bahaya asap rokok serta dari penularan COVID-19,” ujarnya.

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta, Dr Mukhaer Pakkana menyikapi keputusan pemerintah diumumkan Menkeu Sri Mulyani akhir tahun ini mengenai kenaikan cukai 12,5% sebagai langkah pengendalian tembakau yang akan mulai berlaku pada Februari 2022.

Meski patut disyukuri, menurut dia, kerugian makro di sektor kesehatan dan pembangunan manusia sebagai tujuan utama kenaikan cukai hasil tembakau, angka 12,5% itu tentu masih jauh dari kategori cukup.

Dia mengumumkan kajian Center of Human and Economic Development (CHED) ITB-AD mendapati bahwa kerugian makro, dihitung berdasar eksternalitas negatif (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh tembakau dan produk turunannya di Indonesia tercatat sekitar Rp 727,7 triliun.

“Kerugian ini terdiri dari kerugian total kehilangan tahun produktif Rp 374,06 triliun, belanja kesehatan total (rawat inap) Rp 13,67 T, belanja kesehatan total (rawat jalan) Rp 208,83 T, serta biaya konsumsi rokok Rp 131,14 T,” jelasnya.

Disisi lain kelemahan upaya pengendalian tembakau ini dimanfaatkan oleh industri rokok yang secara agresif-manipulatif mempengaruhi generasi muda untuk menjadi konsumen baru, dengan memberikan banyak sponsorship di bidang olah raga, seni dan budaya dan berbagai promosi dan sponsorship bagi dunia pendidikan tinggi.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, Mahasiswa Unpad Gelar Aksi Solidaritas untuk Palestina

Merujuk data Nielsen, sepanjang 2020 total belanja industri rokok mencapai angka Rp. 229 Triliun. Angka yang sangat gigantis tersebut bahkan belum termasuk belanja iklan media luar ruang yang juga tak kalah besar. Sementara anggaran untuk iklan layanan masyarakat yang dialokasikan pemerintah melalui Kemenkes hanya berkisar Rp. 86 Miliar.

Sementara karena kelemahan harmonisasi, sektor kesehatan tetap diperhadapkan dengan dengan sektor pertanian, tenaga kerja, sehingga menghambat semua upaya perbaikan atau revisi kebijakan seperti Revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Ketua MPKU PP Muhammadiyah Dr. Agus Samsuddin,  menyatakan, pihaknya terus mengawal proses revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang harus kembali terganjal dan dikembalikan oleh Sekretaris Negara dengan alasan justru tidak berfungsinya mekanisme koordinasi dan harmonisasi antara instansi pemerintah.

“Langkah yang mestinya bisa memperkuat kebijakan dasar pengendalian tembakau oleh pemerintah tersebut, termasuk dalam membantu menekan laju pandemi Covid-19 tersebut, justru mengalami gigi mundur dengan dikembalikannya Ijin Prakarsa oleh Setneg kepada Kemenkes,” pungkasnya.

Indonesia saat ini masih menjadi salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia.(L/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.