Jenewa, 22 Sya’ban 1436/9 Juni 2015 (MINA) – Penyelidikan bertahun PBB menyimpulkan, Pemerintah Eritrea telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang sistematis dan kotor pada “lingkup dan skala yang jarang disaksikan di tempat lain”.
Menurut laporan yang dirilis Senin (8/6), komisi penyelidikan PBB tentang HAM di Eritrea menemukan pemerintah bertanggung jawab karena memaksa ratusan ribu warga Eritrea meninggalkan negaranya, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan yang meluas, perbudakan seksual dan mempekerjakan anak.
Penyidik PBB menyebut pelaku utama pelanggaran adalah Angkatan Pertahanan Eritrea, khususnya tentara Eritrea, Badan Keamanan Nasional dan kepolisian negara itu.
Kementerian Informasi, Keadilan dan Pertahanan Eritrea juga dituduh dalam laporan tersebut, selain Partai Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (PFDJ) serta Presiden Isaias Afwerki.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Laporan setebal 484 halaman itu merinci bagaimana negara, di bawah pemerintahan Afwerki selama 22 tahun terakhir, telah menciptakan sistem represif di mana orang secara rutin ditangkap sekehendaknya, ditahan, disiksa, dibunuh atau hilang.
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan juga luas terjadi dan memang terkenal di kamp-kamp pelatihan militer ketika semua warga menjalani wajib militer terbatas.
“Komisi menemukan, pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis, meluas dan kotor telah dan sedang dilakukan di Eritrea di bawah wewenang pemerintah,” kata laporan itu.
“Dari apa yang saya lihat dalam pendahuluan (laporan), mereka berbicara tentang 550 wawancara rahasia dan 160 pengajuan. Dapatkah Anda benar-benar menarik generalisasi dari sampel ini?” tanya Yemane Ghebremeskel, Direktur Kantor Presiden Eritrea, sebagai reaksi pertama pemerintah terhadap laporan itu.
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Menurut laporan itu, situasi telah memicu eksodus besar-besaran dari Eritrea yang merupakan sumber migran terbesar kedua setelah Suriah yang mempertaruhkan hidup mereka menyeberangi Laut Mediterania untuk sampai ke Eropa.
“Menghadapi situasi yang sudah putus harapan, mereka merasa tidak berdaya untuk mengubahnya, ratusan ribu warga Eritrea melarikan diri dari negaranya,” kata laporan itu.
Pada pertengahan 2014, badan pengungsi PBB menghitung hampir 360.000 pengungsi di seluruh dunia berasal dari Eritrea, yang memisahkan diri dari Ethiopia pada tahun 1991 setelah perjuangan kemerdekaan yang brutal selama 30 tahun. (T/P001/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)