Luka Gempa Rania Safitri, Bocah Desa Gumantar di Kaki Rinjani

Oleh Widi Kusnadi, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

 

Keceriaan untuk dapat bermain bersama teman-teman sekolahnya tampaknya harus tertunda. Betapa tidak, bocah perempuan berusia 8 tahun itu harus meringkuk dalam balutan perban di kaki dan kepalanya.

Gempa dahsyat berkekuatan 7 SR yang mengguncang Lombok Utara dan sekitarnya pada Ahad, 5 Agustus, menjadi mimpi buruk bagi Rania dan masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya warga Kabupaten Lombok Utara.

Lebih beruntung dibandingkan dengan lebih 130 orang yang wafat dalam bencana gempa, Rania harus mendereita patah kaki tertimpa tiang rumahnya dan luka robek di belakang kepala karena tertimpa reruntuhan.

Bocah malang itu tinggal bersama neneknya di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan. Desanya berada di kaki Gunung Rinjani, 60 km dari ibu kota provinsi, Mataram.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Saat gempa terjadi, ayah dan ibunya sedang berada di Mataram. Mereka hingga saat ini pun belum bisa menjenguk anaknya karena keduanya pun harus terbaring di Rumah Sakit Mataram akibat tertimpa reruntuhan bangunan.

Tim medis MER-C pada hari Rabu (8 Agustus) melakukan pelayanan untuk korban gempa di Desa Gumamtar. Salah satu korban yang harus ditangani serius adalah Rania.

Terlihat, dr Miftahul Masruri yang membalut kepala dan kaki Rania sesenggukan menahan haru.

Setelah selesai memberikan pertolongan darurat, dr Miftah segera berlari ke belakang. Air matanya tak dapat dibendung lagi.  Masih terdengar rintihan tangis Rania, seakan menyadarkan kepada kita semua,  tim relawan, betapa nikmat Allah SWT yang sangat berharga berupa kesehatan sering kita abaikan.

Bocah yang baru saja menempuh dasar di kelas tiga SDN 2  Gumantar itu kini harus dirujuk ke RS TNI AD di Lombok Utara karena harus menjalani operasi kaki.

Baca Juga:  Dukungan Mahasiswa AS untuk Palestina Menginspirasi Dunia

Desa Gumantar menjadi salah satu desa yang terkena dampak terparah dari gempa.

Sebanyak 95 persen bangunan permukiman di desa yang berjarak lima kilometer dari tepi pantai Lombok Utara itu roboh. Sementara 46 warganya dinyatakan meninggal dan ratusan lainnya luka-luka akibat gempa.

Namun, Kepala Desa Gumantar Japardi mengatakan, kebanyakan korban gempa di desanya tidak mau dirujuk ke rumah sakit dan puskesmas.  Mereka memilih tetap tinggal bersama keluarganya dan tidak mau berpisah dengan mereka.

Korban meninggal pun langsung dikubur oleh pihak keluarga. Mereka mengaku belum sempat melaporkan ke pemerintah karena kendala komunikasi dan suasana yang masih diselimuti kepanikan, sehingga belum terpikir untuk merekap data korban.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Saat berada di desa itu, wartawan MINA yang datang bersama relawan MER-C, masih sesekali merasakan getaran gempa. Setidaknya hari itu lebih lima kali bumi bergetar dalam skala kecil.

Kemungkinan besar korban meninggal dan luka masih akan bertambah karena masih ada beberapa dusun yang belum terjamah tim relawan.

Data sementara Badan Nasional Penanggunalangan Bencana (BNPB) menyebutkan, korban meninggal sebanyak 131 jiwa, dengan rincian Lombok Utara 78 orang, Lombok Barat 24 orang, Lombok Timur 19 orang, Kota Mataram 6 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Denpasar 2 orang.

Sebanyak 1.477 orang mengalami luka berat yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.

Sebanyak 42.239 tempat tinggal dan fasilitas umum mengalami rusak berat, 458 unit sekolah rusak. (A/P2/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.