Mencontoh Khadijah, Menjadi Isteri yang Tak Tergantikan

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Bagi kaum , tidak perlu berkecil hati ketika kalian diciptakan oleh Allah sebagai wanita, yang memang difitrahkan oleh Allah Ta’ala berada di bawah kepemimpinan pria.

Namun, pada faktanya, Allah Maha Adil dengan tetap memberikan kepada kaum Hawa beberapa keutamaan yang tidak bisa dimiliki oleh kaum Adam, salah satunya adalah menjadi figur penentu di balik kehebatan para pria hebat dan sukses.

Ada ungkapan yang memang tidak bisa dibantah, “di balik laki-laki yang hebat ada wanita yang hebat”. Sebab, sudah menjadi fitrah bahwa salah satu tugas adalah mendukung suaminya dalam kehidupannya. Terlebih itu dalam memperjuangkan agama ini, mendukung suaminya dalam menuntut ilmu agama, mengamalkan ilmunya dan mendukungnya dalam dakwah.

Hal ini sesuai dengan fitrah wanita dan didukung juga oleh syariat, karena wanita tidak dibebankan amal sebanyak amalan laki-laki, seperti: jihad, bakti kepada orang tua, dan dakwah.

Ini pun sesuai dengan kodrat wanita yang lebih lemah baik fisik dan mentalnya dibanding laki-laki.

Demikian Allah istimewakan para , dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa wanita cukup melakukan empat hal saja untuk masuk surga dari pintu mana saja, padahal untuk masuk surga dari pintu mana saja, memerlukan kesungguhan yang sangat tinggi. Salah satu empat hal tersebut adalah menaati suaminya. Mendukungnya dalam dakwah adalah salah satu bentuk “mencari rida ” sehingga ia bisa masuk surga.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

Artinya, “Apabila seorang wanita (1) mengerjakan salat lima waktunya, (2) mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, (3) menjaga kemaluannya, dan (4) menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.)

Karena sosok Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi suri teladan bagi umat adalah seorang suami, maka dalam hal menjadi sosok di belakang kesuksesan seorang suami tentunya harus mencontoh para istrinya. Istri yang paling utama dalam hal ini adalah sosok Ummul Mukminin binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.

Khadijah penghibur hati Nabi

Khadijah tampil sebagai orang pertama yang membela, membantu, memelihara, meringankan penderitaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa tahun-tahun penindasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, terkait risalah yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam siarkan.

Ia tegak di sisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sepulangnya dari gua Hira’ dalam keadaan ketakutan dan gemetaran, setelah Rasulullah bertemu dengan Malaikat Jibril. Khadijah menyelimuti Nabi hingga reda rasa takutnya.

“Bukankah Tuan akan menjadi pemimpin umat, Tuan orang yang baik budi, suka memuliakan tamu, mengasihi anak yatim piatu dan sebagainya?” kata Khadijah menghibur suaminya tercinta.

Setelah itu, Khadijah mengajak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke rumah saudara sepupunya yang bernama Warqah bin Nufel yang memahami kitab Taurat dan Injil, untuk menanyakan perihal yang dialami oleh sang suami.

Di samping Khadijah, jiwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi tenteram, karena Khadijah menjadi pendamping yang beriman, membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, percaya dan optimis, serta sangat mencintai Nabi. Keimanan dan kepercayaan Khadijah tidak sedikit pun goyah ketika kaum Quraisy mengingkari agama Islam yang dibawa oleh suaminya. Pemuka-pemuka utama Quraisy bahkan melontarkan tuduhan-tuduhan dengan menyebut Rasulullah sebagai tukang sihir atau menyebutnya orang gila.

Bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tercinta, Khadijah rela hidup keras menanggung derita dakwah yang luar biasa, sangat kontras dengan kehidupan masa kecil hingga masa-masa sebelum suaminya diberikan wahyu oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam usianya yang sudah lanjut, Khadijah ikhlas menukar kehidupan yang biasanya lembut, mewah dan tenang, menjadi kehidupan yang keras penuh perjuangan.

Tak Tergantikan Sepanjang Masa

Ketika Khadijah wafat, penindasan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para pengikutnya yang beriman, sedang gencar-gencarnya. Namun, Khadijah telah memberi tempat bagi dakwah Islamiyah dan meninggalkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dampingan para sahabat yang beriman dan ikhlas, orang-orang yang juga rela berkorban untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Walaupun Khadijah telah tiada, kenangannya selalu membekas di hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pada suatu hari, adik perempuan Khadijah yang bernama Halal datang mengunjungi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinah. Ketika mendengar suara Halal di depan rumah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam gemetar karena terharu dan rindu kepada Khadijah. Sebab, suara Halal sangat mirip dengan suara Khadijah.

Setelah Halal pulang, Aisya radhiyallahu ‘anha berkata cemburu, “Apa sajakah yang Rasulullah ingat, terhadap seorang wanita Quraisy yang sudah tua dan merah mulutnya, sudah pergi bersama dengan berlalunya waktu dan Allah telah memberi gantinya yang lebih baik untuk Rasulullah?”

Mendengar kata-kata Aisyah itu, wajah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam spontan berubah dan menjawab dengan nada membentak, “Demi Allah, sungguh, Allah tiada memberikan gantinya yang lebih baik kepadaku. Dia beriman kepadaku di saat orang lain mendustakanku, ia menolong perjuanganku dengan uang atau apapun, di saat orang orang lain tidak mau memberikan hartanya kepadaku.”

Karenanya, wahai para istri, jadilah sosok yang kemudian tidak akan tergantikan di mata suamimu.

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

(P001/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.