Menjadi Pribadi yang Bermusyawarah (Oleh: Bahron Ansori)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Secara harfiah, syura bermakna menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu.  Syura adalah menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar individu atau kelompok. Syura juga berarti saling menjelaskan dan merundingkan serta saling tukar pendapat tentang sesuatu.

Kata syura sudah menjadi Bahasa Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah musyawarah. Dalam Bahasa Indonesia, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Dari kesimpulan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa syura adalah dilakukan oleh kaum muslimin dan sudah tentu syura itu sendiri harus berlangsung secara Islami, tidak mungkin keputusan syura itu sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam pandangan Islam, bila seseorang mau berarti dia mempunyai sifat terpuji. Sebab dalam proses musyawarah itulah akan ada dialog yang berlangsung dengan sebaik-baiknya, dengan selalu mengedepankan prinsip-prinsip akhlak mulia. Sebab musyawarah itu dalam rangka menegakkan Islam yang berarti nilai-nilai Islam harus dijunjung tinggi dalam sebuah proses musyawarah.

Kaidah-kaidah syura

Dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 159, ada beberapa kaidah yang harus dipenuhi oleh setiap muslim dalam melakukan musyawarah. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Kaidah-kaidah dalam syura itu antara lain sebagai berikut. Pertama, berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan. Bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan mereka meninggalkan majelis syura atau berada di majelis syura tapi tidak mau mengeluarkan pendapat yang benar.

Kedua, memberi maaf atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya, atau orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain, karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak tanduk oran lain terhadap diri sendiri.

Jika sikap pemaaf ini tidak dimiliki dalam musyawarah, maka hal ini bisa berkembang menjadi percekcokan secara emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahkan kekuatan sebuah jamaah.

Ketiga, harus berorientasi (mengarah) pada kebenaran, bukan menang kalah. Sebab sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan, dan semua itu dalam rangka menunjukkan ketakwaan kepada Allah. Jika musyawarahnya berorientasi hanya kepada ketakwaan dan kebenaran, tidak ada pembicaraan yang disampaikan untuk meraih kemenangan dalam perdebatan, tapi hanya untuk menjalankan nilai-nilai kebenaran.

Keempat, memohon ampun bila melakukan kesalahan, sehingga dalam musyawarah bila seseorang mengemukakan pendapatnya yang ternyata sesuatu yang salah, dia akan mencabut pendapatnya itu meskipun sudah disetujui oleh peserta musyawarah.

Kelima, bertawakal kepada Allah SWT. setelah musyawarah selesai. Bukan justeru saling menyalahkan ketika terjadi hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa jamaah.

Hikmah syura

Setidaknya minimal ada lima (5) hikmah syura yang bisa diperoleh oleh setiap orang yang melakukannya, antara lain sebagai berikut.

Pertama, keputusan yang diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah. Ini karena banyak pendapat, pertimbangan, dan alasan yang sudah dikaji sebelum keputusan diambil.

Kedua, masing-masing orang yang mengikuti musyawarah akan merasa terikat atas keputusan musyawarah, sehingga ada rasa memiliki terhadap hasil keputusan musyawarah itu, dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama. Ini karena hasil keputusan dibahas dan diambil secara bersama-sama.

Ketiga, memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam sebuah jamaah pada khususnya, yang harus saling menguatkan. Dengan begitu, bisa dihindari terjadinya perpecahan sebagai akibat tidak dipertemukannya perbedaan pendapat.

Keempat, bisa dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani minoritas, sebab dalam musyawarah, hakikat dalam pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat atau berpihak pada sesuatu persoalan.

Kelima, dapat dihindari adanya hasutan, fitnah, dan adu domba yang bisa memecah-belah barisan perjuangan kaum muslimin dalam sebuah jamaah. Mengapa? Karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang dihadapi, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh isu-isu negatif.

Dari uraian di atas, maka musyawarah menjadi hal yang tidak terelakkan. Sebab dengan musyawarah dalam keluarga, masyarakat, jamaah, suatu persoalan sepelik apapun dengan mudah akan terselesaikan, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.