Nikmat Syukur

Oleh Kurnia Muhamad Hudzaifah, Wartawan MINA

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari ()-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)

Kemudian Allah juga menegaskan dalam ayat:

شَاكِرًا لِّاَنۡعُمِهِ​ؕ اِجۡتَبٰٮهُ وَهَدٰٮهُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسۡتَقِيۡمٍ

وَاٰتَيۡنٰهُ فِى الدُّنۡيَا حَسَنَةً​  ؕ وَاِنَّهٗ فِى الۡاٰخِرَةِ لَمِنَ الصّٰلِحِيۡنَؕ‏

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik, Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” (QS. An-Nahl: 120-121).

Nikmat yang selalu kita dapatkan merupakan anugrah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan. Maka sebagai hamba yang taat dan patut tiada henti-hentinya setiap waktu bersyukur dan pastikan saat kita menerima nikmat-Nya atau dalam kegiatan apapun ucapkan “Alhamdulilah”.

Penting bagi seorang Muslim memahami apa itu sebenarnya. Imam al-Qusyairi mengatakan, ”hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah yang di buktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi, syukur itu adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat.

Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah”. (H.R Ahmad dan Baihaqi)

Karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah, dan mempergunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah.

Sebagian ulama mengatakan kata syukur berasal dari kata “syukara” yang berarti “membuka”. Sehingga kata syukur adalah lawan dari kata “kafara” (kufur) yang berarti menutup atau melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Syukur itu ialah mengerjakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala baik secara lahir maupun batin, serta menjauhi segala maksiat yang bersifat lahir dan batin, dengan berusaha menjaga hati, lidah, mata, telinga, dan segala anggota lahir dan batin dari kecenderungan untuk melakukan kemaksiatan.

Sedangkan, Iman Abu Bakar al Waraq mengatakan, syukur itu ialah mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala yang dengan kemurahan-Nya mengaruniakan nikmat kepada hamba-Nya yang tidak terhingga banyaknya serta tak ternilai harganya. Dengan itu tidaklah timbul rasa benci atau kufur.

Sementara Ibnu Abbas menjelaskan, Syukur itu ialah taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala anggota zhahir dan bathin, baik secara diam-diam atau terang-terangan.

Menurut Imam Al-Ghazali Syukur Ada Tiga Perkara:

Pertama, pengetahuan tentang nikmat, bahwa seluruh nikmat berasal dari Allah, dan Allah-lah yang memberikan nikmat pengetahuan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya. Adapun yang lain hanya perantara untuk sampainya nikmat itu.

Kedua, sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah sebagai buah dari pengetahuannya yang mendorong untuk selalu senang dan mencintai yang memberi nikmat dalam bentuk kepatuhan kepada perintah Allah.

Ketiga, menghindari perbuatan maksiat kepada Allah. Sikap yang demikian itu hanya terjadi kalau seseorang telah mengenal kebijaksanaan Allah dalam menciptakan seluruh makhluk-Nya.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, syukur dapat dipahami sebagai rasa atau bentuk terima kasih sebagai hamba Allah subahanahu wa ta’ala yang telah memberikan nikmat-Nya.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT.

Kemudian anggota badannya tunduk kepada pemberi nikmat itu. Yang disebut tunduk adalah mentaati dan patuh karena seseorang tidak disebut tunduk, kecuali jika dia mentaati perintah Allah dan patuh kepada syari’at-Nya.

Dengan demikian syukur merupakan pekerjaan hati dan anggota badan. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang cara bersyukur sebagai berikut, bersyukur dengan lisan adalah lisan mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada dirimu sendiri, daya mu, kekuatanmu, atau usahamu.

Syukur dengan hati adalah dengan keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan yang ada padamu, baik lahir maupun batin, gerakanmu maupun diammu adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya, dan kesyukuranmu dengan lisanmu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hatimu.

Sedangkan bersyukur dengan anggota badan adalah hendaknya kamu menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah bukan untuk selainnya dari makhluk.

Senada dengan imam Al-Qusyairi dan Imam Al-Ghazali, Ibnu Qudamah menyebutkan ”syukur itu dapat terjadi dengan lisan, hati, dan perbuatan”. Bersyukur dengan hati adalah keinginan untuk selalu berbuat kebaikan. Bersyukur dengan lidah ialah mewujudkan rasa terima kasih kepada Allah melalui ucapan dalam bentuk pujian kepada-Nya.

Bersyukur dengan perbuatan adalah mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah yang memberikan nikmat itu sendiri.

Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap muslim, sikap ini mengingatkan untuk berterimakasih kepada pemberi nikmat dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan bersyukur ia akan rela dan puas atas nikmat Allah SWT yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Sikap ini merupakan fondasi seseorang untuk mengikrarkan keislaman, menjadi muslim dan juga langkah menuju seorang mukmin yang sejati. syukur adalah menggunakan nikmat Allah secara fungsional dan proposional.  (A/R03/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.