Panduan Al-Quran Menghadapi Informasi Hoaks

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Islam MINA

Di media sosial akhir-akhir ini semakin marak bertebaran apa yang disebut dengan informasi . Hoaks dari bahasa Inggris hoax, artinya tipuan, menipu, bohong, palsu atau kabar burung atau belum tentu kebenarannya.

Karena itu, seperti disebutkan Wikipedia, hoaks dikatakan sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar agar mempercayai sesuatu, padahal si pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu.

Bagaimana nilai-nilai di dalam kitab suci Al-? Di antaranya yang pokok, di dalam surat Al-Hujurat ayat 6 disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 6).

Pada ayat tersebut terdapat kalimat  فَتَبَيَّنُوٓاْ  (fatabayyanuu) artinya “periksalah dengan teliti”. Berarti Allah di dalam kalam suci Al-Quran memerintahkan agar kita meneliti suatu berita dengan cermat, teliti, tidak tergesa-gesa mengiyakan lalu menyebarkannya.

Apalagi kalau itu menyangkut diri seseorang dan dapat berdampak pada masyarakat luas.

Maka, mufassir pun menyebut pada ayat tersebut kata berita dengan istilah naba’ artinya berita besar, penting, bukan dengan kata khabar (yang artinya berita secara umum). Maka, kantor berita dalam bahasa Arab disebut dengan Wakalatu al-Anba.

Dengan demikian, memang Al-Qur’an memberi petunjuk tentang perlunya memperhatikan dan menyelidiki suatu berita yang sifatnya penting. Adapun kalau sebatas isu, omong kosong, tidak bermanfaat, ya tidak perlu diselidiki apalagi di-share. Cukup dibaca dengan sekejap saja atau numpang lewat, sebab arus media sosial memang demikian derasnya.

Para ahli hadits senantiasa menggunakan prinsip “” ini dalam menerima berita yang berasal dari orang atau sumber yang berkarakter meragukan. Maka, mereka menolak setiap hadits yang berasal dari orang yang tidak dikenal identitasnya atau pribadi yang diragukan integritasnya.

Sebaliknya, mereka akan menerima berita itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian kuat, jujur, terpercaya (tsiqah). Untuk itulah seringkali para ahli hadits harus melakukan perjalanan berhari-hari bahkan berbulan-bulan, hanya untuk mengecek apakah sebuah hadits yang diterimanya itu benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.

Pada era kebebasan media sosial saat ini, kita melihat orang-orang dengan begitu mudah sekali percaya pada suatu berita yang cenderung hoaks, atau malah jatuh pada fitnah, dan kemudian malah ikut-ikutan menyebarluaskan ke berbagai jejaring media sosial lainnya.

Maka, jadilah dosa berjamaah, bahkan berlipat-lipat sebanyak dan sejauh mana tersebarnya berita hoaks itu. Lalu, apa untungnya? Apa manfaatnya? Dan apa pahalanya? Astaghfirullaah.

Pada ayat lain Allah menegur hamba-hamba-Nya:

لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتُ بِأَنفُسِہِمۡ خَيۡرً۬ا وَقَالُواْ هَـٰذَآ إِفۡكٌ۬ مُّبِينٌ۬ (١٢)

Artinya : “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan [mengapa tidak] berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (Q.S. An-Nuur [24]: 12).

Pada ayat lain Allah pun menegur kita:

وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٤)إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥)وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (١٦)

Artinya: “Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, (14) karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar. (15) Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.” (Q.S. An-Nuur [24]: 14-16).

Karena, bagi orang-orang beriman tentu sangat paham, bahwa apa yang kita ucapkan, kita tulis, kita kirim, semua mengandung konsekwensi tanggung jawab di hadapan Allah.
Allah menyebut di dalam ayat:

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ‌ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬ (٣٦)

Artinya : ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya”. (Q.S. Al-Isra [17]: 36).

Sungguh, betapa kita khususnya kaum Muslimin perlu lebih tawadhu lagi menghayati dan mengamalkan ayat ini, sebagai dorongan berakhlakul karimah dalam bermedia sosial.

Sungguh telah terjadi, betapa banyak di antara saudara atau teman berpisah dan bermusuhan disebabkan berita hoaks alias bohong. Juga tak sedikit suami-istri berseteru atau sampai berpisah bermula dari isu yang tidak benar alias hoaks.

Seseorang dapat saja menjadi begitu jahat, berlumuran dosa, tak ada kebaikannya walau secuil. Gara-gara hoaks yang menerpanya. Juga pertikaian antar kelompok manusia dapat saja terjadi akibat fitnah alias hoaks. Padahal tak ada manusia sempurna. Kesempuirnaan hanyalah milik Allah Yang Maha Sempurna.

Jika pun ada kesalahan dalam diri seseorang, maka cara terbaik adalah menasihatinya, menegurnya, mencegahnya dan bila memang perlu membawanya ke jalur hukum yang ada. Ya tempuhlah jalur itu.

Khawatir jangan sampai kita masuk ke dalam lingkaran fitnah, yang merupakan salah satu dosa besar. Bahkan lebih besar mudharatnya daripada pembunuhan. Sebab, logikanya kalau pembunuhan, orangnya mati tak mendengar lagi. Namun kalau sudah fitnah keji, orangnya masih hidup, tapi seperti terbunuh semuanya, karakternya, keluarganya, ucapannya, bahkan fisik dirinya. Akibat fitnah yang menerpanya.

Allah mengingatkan di dalam ayat:

…..وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِ…..

Artinya: “…..dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan…..” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 191).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan di dalam haditsnya kepada para sahabatnya, dan tentu untuk kita pengikutnya, yang artinya: “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa terbesar dari dosa-dosa besar?”. Mereka (para sahabat) berkata ; “Tentu wahai Rasulullah”. Beliau berkata ; “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua”. Tadinya Nabi dalam kondisi berbaring maka lalu beliaupun duduk kemudian berkata : “Dan perkataan dusta, bersaksi dusta”, beliau terus mengulang-ngulangnya hingga kami berkata : “Seandainya jika beliau diam” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dan Nabi pun mengingatkan agar kita sebagai umatnya menghindari kebiasaan menebar persangkaan, di dalam hadits:

بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوْا

Artinya : “Seburuk-buruk kebiasaan seseorang adalah menjadikan perkataan “persangkaan mereka” sebagai kendaraannya”. (H.R. Abu Dawud).

Dan langkah terbaik secara keseluruhan tentunya adalah mengembalikan segala fitnah, berita hoaks itu pada pimpinan di antara kaum Muslimin untuk diambil langkah dan upaya yang tepat sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah hidup terpimpin, tidak masing-masing apalagi anarkhis.

Allah mengingatkan di dalam ayat:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣)

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (Q.S. An-Nisaa [4]: 83).

Semoga kesatuan dan persatuan, persaudaraan dan ikatan kaum Muslimin tetap kokoh tak tertandingi, di tengah gelombang hoaks di media sosial. Tetap utuh dalam kesatuan Jama’ah Muslimin, dalam ridha dan ampunan Allah. Aamiin. (RS2/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)