Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pattani, Muslim Mayoritas di Negeri Minoritas

Admin - Jumat, 21 Oktober 2016 - 07:14 WIB

Jumat, 21 Oktober 2016 - 07:14 WIB

6070 Views ㅤ

Penangkapan semena-mena yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap 48 mahasiswa dan warga sipil di Pattani, daerah ibu kota Thailand Bangkok terjadi pada 10 – 15 Oktober 2016 menjadi perbincangan media dunia. Diangkatnya kasus ini di mata publik membuat banyak orang bertanya-tanya terkait permasalahan yang terjadi di negara yang dikenal dengan sebutan Gajah Putih itu.

Apa yang terjadi sebenarnya di salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand? Mi’raj Islamic News Agency (MINA) memiliki kesempatan wawancara kepada Faisol Abdullah, salah seorang aktivis yang pernah menjabat sebagai Koordinator Gerakan Mahasiswa Indonesia Peduli Patani (GEMPITA) dan tengah menyelesaikan pendidikan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Studi Politik dan Pemerintah dalam Islam. Berikut petikan wawancaranya;

Bagaimana sejarah dan hubungan Thailand dan Pattani?

Keinginan masyarakat Muslim Melayu untuk membebaskan diri dari kekuasaan Thailand sudah berlangsung sangat lama. Bahkan permusuhan antara masyarakat Muslim Pattani dengan masyarakat Buddha-Siam sudah berlangsung ratusan tahun lalu ataupun sejak terbentuknya masyarakat Islam Pattani.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Negeri kerajaan Pattani ditaklukkan oleh kerajaan Siam dengan peperangan untuk meluaskan kuasa teritorial atas kedaulatan pada tahun 1786. Kebangkitan melalui perlawanan untuk kebebasan tidak berhenti, yang awal perjuangannya dipimpin mantan diraja, elit kraton, pemimpin tokoh agama, penduduk lokal hingga partisipasi kalangan rakyat sipil, akan tetapi dinamika perubahan bertentangan secara tersendiri yang pada akhirnya mengikut arus perubahan terhadap pemilik penjajahan Siam.

Konflik Patani-Siam terbentuk secara sistematis baru terjadi pada masa raja Kerajaan Siam, Chulalongkorn (1868-1910). Hal ini karena terpengaruh oleh nasionalisme Barat, ia memperkenalkan model negara-bangsa (nation-state) dengan menerapkan batas wilayah kerajaan secara ketat di mana kawasan Semenanjung Malaya (Malay Peninsula) atau Pattani Raya (Greater Pattani) yang semula dikuasai oleh Kesultanan Islam Pattani dan Kelantana, dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Siam.

Menurut penelusuran semula, dua komunitas suku Siam yang berada di utara di bawah Kerajaan Siam yang sekarang disebut Kerajaan Thailand, dan masyarakat Melayu di kawasan Selatan yang kini disebut Pattani (dulu Kesultanan Pattani), hidup rukun, meskipun mereka berbeda agama dan etnis. Ketegangan dan kekerasan muncul ketika kerajaan Siam membangun nasionalisme modern Thailand dalam bentuk kerajaan konstitusional. Dalam pembentukan nasionalisme Thailand tersebut mereka menekankan pada identitas nasional dengan memasukkan daerah selatan sebagai bagian dari kerajaan. Bersamaan dengan itu, diperkenalkan sistem baru dalam negara-bangsa (nation-state) yang disebut modernisasi.

 

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Apa latar belakang pemerintah belakangan ini melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap Muslim?

Modernisasi yang diterapkan di antaranya adalah sistem yang bersifat nasional, khususnya penyeragaman bahasa dan sistem sekolah yang diharuskan mengikuti peraturan yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Maka terjadilah pemaksaan di mana mereka yang menentang kebijakan pusat mendapat konsekuensi mulai dari penangkapan, pemenjaraan sampai pembunuhan.

Program yang lebih massal adalah proses transmigrasi yang bersifat besar-besaran yang membuat komunitas Muslim di daerah tersebut menjadi minoritas. Sehingga pemerintah Thailand menerapkan kebijakan penyeragaman identitas nasional dan modernisasi yang cenderung pada penyeragaman secara paksa yang tidak sepenuhnya sejalan dengan aspirasi kaum Muslim di Pattani.

Dari periode inilah muncul perlawanan mulai dari pemogokan sipil seperti tidak mengikuti sistem pendidikan dengan tetap bertahan menerapkan sistem tradisional di pondok pesantren sampai penggunaan bahasa Melayu di lembaga pendidikan yang dilarang, hingga pemberontakan bersenjata.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

Di Thailand, misalnya, diterapkan politik bahasa dengan memaksakan bahasa Thai sebagai bahasa nasional di sekolah, termasuk di sekolah Islam dan pondok dengan melarang penggunaan bahasa Melayu. Bahkan pemaksaan bahasa Thai tersebut termasuk dalam pengajaran agama Islam. Perlawanan terhadap politik penyeragaman bahasa ini sempat menghentikan komunikasi hampir secara total.

Hal ini karena pemerintah pusat tidak bersedia berkomunikasi selain dengan bahasa Thai. Sebaliknya kaum Muslim di Selatan menolak untuk menggunakan bahasa Thai melainkan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu mereka, khususnya dalam pengajaran Islam dan ketika berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Ketegangan dan konflik tersebut membawa pada terbentuknya identitas agama-etnik (Islam-Melayu) komunitas di Selatan daerah tersebut berhadapan dengan Siam/Thai yang Buddhis yang mayoritas dan direpresentasikan oleh pemerintah pusat.

Dengan demikian, secara politik ada perbedaan kepentingan antara masyarakat di Pattani dan masyarakat mayoritas maupun pemerintah pusat. Perbedaan itu diperkuat dengan perbedaan identitas agama mayoritas versus minoritas. Pemerintah pusat Thailand memiliki program yang seragam mengacu kepada identitas nasional untuk semua wilayah di negara itu, sebagai proses perubahan atau modernisasi. Sementara itu, karena perbedaan kepentingan dengan masyarakat setempat maka kebijakan penyeragaman atau modernisasi itu mendapatkan tantangan dari mereka, karena memiliki karakter dan agendanya sendiri. Perbedaan itu menimbulkan kesenjangan ekonomi dan politik antara minoritas Muslim di kawasan Pattani dengan mayoritas. Kesenjangan tersebut pada ujungnya memunculkan ketidakpuasan yang kemudian memicu konflik dan kekerasan.

Sedangkan secara kultural, posisi mereka yang minoritas di tengah bangsa mayoritas yang bukan saja berlainan agama, tetapi juga etnis dan bahasa, menambah akumulasi problem identitas politik mereka. Secara etnis dan bahasa, Muslim Pattani tersebut adalah bagian dari kawasan etnis Melayu yang serumpun dengan Muslim di Singapura, Malaysia, dan Sumatera. Ini berbeda dengan mayoritas penduduk di negara tersebut. Lebih dari itu, minoritas Muslim di Pattani memiliki klaim historis atas tanah yang mereka diami sebagai bekas wilayah Kesultanan Islam sebelum daerah itu menjadi bagian negara nasional. Hal ini menambah akumulasi identitas politik yang berbenturan dengan pemerintah pusat.

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Bagaimana kondisi Muslim di Pattani?

Dengan konflik Siam-Pattani yang terjadi berabad-abad lalu, salah satu faktor permasalahan yang tidak bisa dipungkiri adalah konflik dan kekerasan yang melanda negeri itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan politik, melainkan juga memiliki akar yang dalam. Hal itu meliputi perbedaan kultural termasuk di dalamnya agama, bahasa, dan klaim historis atas tanah atau kawasan. Dari akar-akar itu rakyat di wilayah tersebut memiliki legitimasi untuk mengklaim bahwa tanah atau daerah mereka tidak menjadi bagian integral dari pusat pemerintahan negara Thailand dengan tuntutan merdeka. Namun, di sisi lain, di dalam komunitas Muslim itu sendiri juga muncul kelompok-kelompok dan individu yang satu sama lain berbeda pandangan dan memiliki agenda masing-masing.

Berkaitan dengan kondisi masyarakat Muslim di Pattani, saat ini masalah konflik menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan mereka. Sejak 12 tahun, atau tepatnya 2004 hingga saat ini, konflik menghantui setiap hari-hari mereka. Hanya diam tanpa kata yang bisa dilakukan, jika militer tiba-tiba datang ke rumah atau kampung mereka.

Pada awal abad 21 konflik kembali meningkat, perlawanan secara gerilya oleh kelompok bersenjata yang diwakili oleh masyarakat Pattani yaitu Barisan Revolusi Nasional Melayu Pattani (BRN) dengan pemerintah Thailand. Pada tahun 2004 merupakan cetusan manifesto politik pada era “Revolusi Pattani” dengan secara gerilya, dalam situasi dan kondisi konflik, lebih kurang satu dekade dengan tanpa titik temu alias buntu. Walaupun negosiasi politik melalui proses dialog perdamaian (peace dialogue process) antara pemerintah Thailand dengan BRN, pada 28 Febuari 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia sering beberapa kali, namun tidak begitu nampaknya resolusi yang paling terbaik dalam menyelesaikan masalah konflik, karena kondisi pemerintah pusat di Bangkok sedang melanda krisis politik internal sehingga muncul kudeta Thailand pada 2014 merampas kekuasaan kembali pemerintah diktator militer.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

14741802_120300000742893399_108627391_nBagaimana sikap pemerintah Thailand dengan Muslim Pattani yang minoritas?

Penduduk negara Thailand beragama Budha, sementara di Thailand Selatan atau Provinsi Pattani menjadi tempat tinggal Muslim. Di tempat mayoritas inilah sering terjadi konflik dan kekerasan yang terus berlanjut, hingga kini. Namun, hiruk pikuk konflik dan kekerasan lembaga dan tokoh Muslim di daerah itu yang terus menerus mengusahakan terjadinya perdamaian antara masyarakat di daerah itu dengan pemerintah pusat tanpa harus mereduksi prinsip-prinsip tuntutan atau aspirasi masing-masing masyarakat. Dengan demikian, pada realitasnya, peristiwa ini terdapat pihak-pihak yang terus menerus mencari solusi alternatif melalui perdamaian.

Adakah pembatasan-pembatasan atau diskriminasi yang ditujukan oleh Muslim?

Memasuki era globalisasi, sebagian besar penduduk Pattani antara tahun 2000-2004 adalah tahun yang penuh gejolak. Penindasan, diskriminasi, dan kekerasan memang terus berlangsung di daerah itu, tetapi dua tahun itu adalah sebuah eskalasi kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aktivitas perlawanan di Pattani mulai meningkat lagi pada pertengahan tahun 2001. Pada malam 24 Desember 2001 dengan lima serangan terkoordinasi pada pos polisi di Pattani, Yala dan Narathiwat yang menewaskan lima petugas pertahanan desa.

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Dalam daftar McDuncon, ICG, dan juga data yang diberikan oleh sebuah rekomendasi dari Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC-National Reconciliation Commission), menunjukkan eskalasi tersebut. Selama tahun 2003 terjadi berbagai kekerasan yang menyolok di antaranya yang paling menonjol adalah penyerangan terhadap polisi patroli perbatasan dengan Malaysia yang terjadi pada 26 April dan 03 Juli 2003, lima polisi dan satu sipil mati dalam suatu penyerangan terhadap check point keamanan. Sementara tahun 2004 adalah puncak kekerasan.

“Tiga peristiwa” yang terkenal adalah “Serangan Kemp Pileng” pada 4 Januari 2004 berupa operasi penyerangan skala besar serangan berani sekitar 100 kelompok gerilyawan di basis kemp militer di Chok-Ai-Rong, provinsi Narathiwat disertai pencurian senjata lebih dari 400-an senapan serbu dan senjata ringan lainnya diambil, dan empat tentara Thailand tewas di gudang militer sekaligus pembakaran sekolah SD sebanyak 18 sekolah secara serentak di seluruh provinsi pada malam yang sama, pembakaran jelas merupakan pengalihan perhatian, menunjukkan perencanaan yang matang.

Menurut kementerian statistik, insiden kekerasan meningkat dari 50 kejadian pada tahun 2001 ke 75 kejadian di tahun 2002, 119 pada tahun 2003 dan kemudian, dalam eskalasi yang dramatis, lebih dari 1.000 pada tahun 2004. Peningkatan perlawanan pada tahun 2004 diyakini banyak pihak dipicu peristiwa tragis atas di “Pembantaian Masjid Kresek” di Pattani pada 28 April 2004 dan demonstran “Tragedi Tak Bai” pada 25 Oktober 2004.

Pada 12 Maret 2004, misalnya, dicatat sebagai salah satu hari gelap bagi warga Muslim-Melayu Pattani di Thailand Selatan mengiringi kekerasan di daerah itu yang bergelombang sejak awal 2003. Hari itu adalah hari hilangnya Abu Bakar yang lebih kenal Somchai Neelapaijit, seorang lawyer pembela korban-korban penculikan, penahanan dan mereka yang dituduh terlibat terorisme di Thailand Selatan secara gratis (pro bono). Meskipun ia tinggal dan berasal dari Bangkok dan bukan Muslim-Melayu melainkan Muslim-Thai, tetapi kegigihannya membela korban kriminalisasi aktivis politik dan tertuduh terorisme di Thailand Selatan banyak diakui.

Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya

Peristiwa Masjid Kresek 28 April 2004

Pada 28 April berupa penyerangan secara simultan di berbagai check point pengamanan yang berpuncak pada penembakan oleh polisi terhadap kaum insurgen yang berada di dalam masjid Kresek. Masjid Kresek adalah masjid bersejarah bagi Muslim Pattani karena berkaitan dengan masuknya Islam di Kerajaan Pattani. Penyerangan itu berakhir dengan kematian 105 kelompok insurgen di dalam masjid dan lima orang keamanan serta satu orang sipil.

Pada perlawanan dengan beberapa kelompok pemuda bersenjatakan parang dan senjata api melakukan serangan simultan terhadap polisi dan pos militer di wilayah Selatan, menewaskan lima petugas keamanan. Setelah itu, setidaknya 107 pemuda dibunuh oleh pasukan keamanan di berbagai lokasi, termasuk 32 tewas ketika pasukan keamanan menembakkan roket dan granat di Masjid Kresek yang bersejarah di Pattani.

Penduduk di wilayah tersebut mengkritik cara yang digunakan pemerintah sehingga menyebabkan lebih banyak kematian daripada menundukkan para pemuda yang hanya bersenjata ringan. Sembilan belas orang tewas di pasar Sabayoi di Songkhla juga dilaporkan mengalami luka tembak di belakang kepala dan tanda-tanda bahwa tangan mereka telah terikat, menimbulkan kekhawatiran adanya eksekusi di luar hukum.

Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap

14798938_120300000739605218_583840660_nTragedi Demonstrasi Tak Bai

Demonstrasi “Tragedi Tak Bai” pada 25 Oktober 2004, enam anggota unit pertahanan sipil yang dianggkat oleh pemerintah untuk menjaga desa atau disebut runda malam ditangkap berdasarkan ketentuan darurat militer, dituduh memberikan senjata mereka kepada gerilyawan. Beberapa ribu orang kemudian datang ke kantor polisi di Tak Bai, Narathiwat. Mereka datang memprotes, dan berkumpul untuk doa bersama untuk perdamaian atau orasi dan pidato politik. Peristiwa itu kemudian disusul 25 Oktober yang bertepatan dengan bulan puasa Ramadhan dengan demonstrasi besar di balai polisi kota kabupaten Tak Bai, provinsi Narathiwat yang menuntut agar teman mereka yang ditahan dibebaskan.

Namun polisi menembaki kerumunan, secara membabi-buta terhadap barisan demonstran di jalanan itu yang mengakibatkan tujuh demonstran tewas, tidak dapat menemukan pemimpin dalam aksi tersebut, polisi dan pasukan militer menangkap lebih dari 1.300 orang, memaksa mereka untuk merangkak dengan tangan terikat di belakang punggung mereka, memukul mereka dengan senapan, dan kemudian mereka disusun dalam beberapa lapisan dalam truk untuk dibawa menuju tahanan ke kamp militer sejauh 90-mil di kemp Inkayut Pattani. Ketika truk pertama tiba itu menemukan bahwa satu orang telah meninggal dalam perjalanan. Tidak ada tindakan yang diambil untuk segera membongkar atau bahkan menginformasikan orang-orang yang bertanggung jawab atas kendaraan lain, beberapa di antaranya tidak datang sampai berjam-jam kemudian. Pada saat semua truk diturunkan, 85 orang tewas karena sesak napas atau patah tulang sampai mati. Pada akhirnya, sebagian besar korban dibebaskan, 58 didakwa dengan perusakan harta milik negara dan kepemilikan senjata. Respon pemerintah pusat juga tidak kalah kerasnya.

Semua tiga peristiwa besaran itu membuat pemerintah pusat makin ketat mengawasi rakyat di Pattani dengan diterbitkannya akta kecemasan Emergency Degree (ED) di mana aparat negara bisa menahan 30 kali 24 jam siapa saja yang dicurigai tanpa bukti awal. Peraturan ini melengkapi Martial Law (ML) yang sudah berlaku sebelumnya yang masih berlaku di mana aparat bisa menahan mereka selama 7 x 24 jam tanpa bukti awal. Jadi keseluruhannya aparat bisa menangkap siapa saja yang dicurigai selama 37 hari tanpa bukti yang cukup.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 3)

Ketidakadilan

Menurut Peneliti dari British Columbia University, David Brown, sparatisme di Thailand adalah akibat dari “Kolonialisme internal”, yaitu ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Kesimpulan tersebut didukung dengan fakta bahwa separatism tidak hanya terjadi di Selatan yang Muslim, melainkan juga terjadi di Utara (komunis dan enis Issan) dan Timur laut (etnis perbukitan yang beragama Buddha).

Militer yang represif sejak dulu, pemerintah Thailand mengandalkan kekuatan militer untuk menghadapi pemberontakan di selatan. Sekitar 65.000 tentara, paramiliter dan polisi ditempatkan di kawasan itu. Selain itu, militer juga mempersenjatai kelompok lokal Budha dan memberi pelatihan senjata kepada sekitar 80.000 relawan. Militer menghadapi para gerilyawan dengan sangat brutal. Menurut organisasi Human Rights Watch, banyak warga Muslim yang diculik, disiksa dan dibunuh. Militer bertindak di bawah undang-undang darurat dan undang-undang khusus lain, sehingga mereka luput dari sanksi hukum.

Aktivis LSM HAM sudah lama mengkritik penerapan undang-undang darurat. Karena aturan ini memberi militer kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar. Penerapan undang-undang darurat mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 2)

Sejak belaku berbagai kasus yang tidak tuntas tentang pembunuhan ilegal, penyiksaan dan penculikan. Banyak orang diculik dan menghilang. Tidak ada pelaku yang dikenai sanksi. Tindakan seperti itu justru dijadikan alasan oleh para pemberontak yang terus melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, militer bertindak lebih represif lagi.

Spiral kekerasan ini berputar makin lama makin cepat, seperti lingkaran setan. Yang paling menderita adalah penduduk setempat yang terperangkap di tengah lingkaran kekerasan ini. Sekitar 90 persen korban kekerasan adalah warga sipil. Pemerintah harus menjamin, bahwa praktek-praktek ilegal semacam itu tidak dilakukan lagi. Dan kalau ini terjadi, pelakunya harus dihukum. Hanya dengan cara itu pemerintah pusat bisa mengembalikan rasa percaya masyarakat.

Apakah mungkin nasib Muslim Patani akan sama dengan nantinya ke depan seperti Muslim Rohingya?

Bisa saja terjadi, karena fakta sejarah telah mencirikan berbagai peristiwa pembantaian secara brutal, kini pun terdapat informasi pembunuhan secara tersembunyi sering dilakukan setiap hari maupun penyiksaan kepada mereka yang ditangkap untuk memaksa mereka mengaku telah membuat kekacauan atas pelaku konflik sehingga muncul pelanggaran HAM berat. Hal itu tidak pernah dapat mengatasi masalah di masa mendatang, bahkan bisa jadi kebangkitan perlawanan rakyat Melayu-Muslim di Pattani pada saat mempertahankan kemerdekaan sebagai pembebasan nasional bagi umat Muslim dibawah kolonialis Siam dan emprialis Bangkok dari pemerintah Thailand.

Dan ketidakpedulian masyarakat internasional, media, maupun negara asing sebagai aktor ketiga dalam memantau isu konflik di Pattani. (L/004/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Feature
Asia
Pendidikan dan IPTEK