BHIKSU MYANMAR ANGGAP PENENTANG BEDA AGAMA PENGKHIANAT

Nay Pyi Taw, 15 Rajab 1435/14 Mei 2014 (MINA) – Sebuah gerakan nasionalis menyebut kelompok masyarakat sipil Myanmar “pengkhianat” karena mereka keberatan dengan RUU yang diajukan oleh para biarawan.“Mereka yang menolak UU pernikahan beda agama adalah pengkhianat pada urusan naasioanal,” kata pernyataan Kelompok biarawan, juga dikenal sebagai gerakan 969 atau Asosiasi Perlindungan Ras dan Agama (Mabatha).

Gerakan radikal yang berbasis di Mandalay itu mengatakan mereka mengutuk para kritikus, yang didukung oleh kelompok-kelompok asing, untuk mengangkat isu-isu hak asasi manusia dan tidak bekerja sama dalam kepentingan publik dan tidak loyal kepada negara.

Dalam beberapa bulan terakhir, gerakan 969 yang diketuai oleh U Wirathu telah menyewa pengacara untuk menyusun RUU yang jika diberlakukan akan mempersulit wanita Buddhis untuk mendapatkan izin dari orang tua dan pejabat pemerintah sebelum menikah dengan seorang pria dari agama lain. RUU ini juga menyerukan untuk laki-laki non-Buddhis mengkonversi ke agama Buddha sebelum menikahi wanita Buddhis.

Bagian lain dari RUU itu akan melarang poligami dan termasuk pembatasan jumlah anak dan menegakkan tindakan keluarga berencana.

U Wirathu telah berulang kali menyatakan bahwa Muslim minoritas yang ada di Myanmar yang mewakili sekitar 5 persen dari negara dari sekitar 55 juta orang merupakan ancaman bagi Buddhisme. Dia mengatakan kepada Irrawaddy pada Senin bahwa RUU itu akan melindungi perempuan dari laki-laki Muslim dan tidak melanggar hak-hak perempuan. Dia menambahkan bahwa ia berharap RUU yang akan dikeluarkan pada awal Juni.

RUU yang diusulkan pada saat ketegangan antar-agama di Myanmar terjadi. Kekerasan anti-Muslim di negara bagian Arakan dan puluhan kota di Myanmar menewaskan ratusan orang dan 140.000 mengungsi, sebagian besar mereka umat Islam, pengungsi sejak 2012.

Gerakan radikal 969 selalu menghembuskan pidato kebencian terhadap Muslim dan menyerukan bagi umat Buddha untuk menghindari pergi ke toko milik Muslim.

Gerakan ini mengklaim telah mengumpulkan 4 juta tanda tangan dalam kampanye petisi untuk mendukung RUU dalam beberapa bulan terakhir. Baik pemimpin pemerintah maupun anggota parlemen telah berani menentang inisiatif politik pendeta Buddha, yang sangat dihormati di Myanamar.

Pada Maret lalu, rancangan biarawan itu diterima untuk dipertimbangkan oleh Departemen Agama dan Kejaksaan Agung, yang sedang mempersiapkan RUU untuk pemungutan suara di Parlemen.

Kelompok masyarakat sipil Myanmar semakin khawatir tentang RUU pernikahan beda agama yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan Ras dan Agama, yang akan melanggar standar hak asasi manusia internasional.

Dipelopori oleh aktivis hak-hak perempuan, sekitar 130 LSM menandatangani pernyataan pekan lalu mengutuk RUU dan kegiatan politik berbasis agama dan berpendapat bahwa “peristiwa dan ide-ide yang dirancang untuk mengalihkan perhatian publik sebelum pemilu 2015.”

Aung Myo Min, direktur Kesetaraan Myanmar, menepis serangan gerakan 969 pada kelompok-kelompok masyarakat sipil. “Kami bukan pengkhianat ras atau agama kita,” katanya. “Kami khawatir ini akan meningkatkan perpecahan dan akan berdampak buruk dengan adanya RUU yang mengatasnamakan Perlindungan Ras dan Agama.”

Sein Sein Shwe Latt, juru bicara kelompok hak-hak perempuan Phan Tee Eain, kata kelompok-kelompok masyarakat sipil akan mengirim surat kepada Presiden Thein Sein meminta pertemuan di mana mereka akan berbagi keprihatinan mereka dan menawarkan rekomendasi tentang RUU nikah beda agama.

“Idenya adalah untuk bertemu dengan presiden, serta dengan biksu terkemuka, otoritas masing-masing dan para legislator, dan berbagi saran kami,” katanya.

May Sabae Phyu, koordinator Jaringan Kesetaraan Gender mengatakan, RUU harus dihentikan karena menghalangi masyarakat terutama hak-hak perempuan untuk membuat keputusan tentang pernikahan mereka dan mempengaruhi hak mereka untuk kebebasan beragama juga.

May Sabae Phy mengutuk partisipasi pemerintah dalam menyusun RUU yang akan melanggar hak asasi manusia yang paling mendasar jika berlaku. “Ini adalah tindakan yang sangat memalukan jika kita melihat dari segi hak asasi manusia atau standar internasional,” katanya.

Dia juga menolak klaim para biarawan bahwa RUU dibuat untuk meningkatkan perlindungan hak-hak perempuan, menambahkan, “Dengan penyusunan RUU ini tampaknya masyarakat Myanmar akan kembali ke usia tua konservatif.”(T/P08/EO2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Admin

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0