Pengaruh Puasa Terhadap Kepribadian Mukmin (Oleh: KH. Abul Hidayat Saerodjie)

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk melakukan shaum/puasa di bulan , firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة [۲]: ١٨٣)

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)

Pada kalimat “telah diwajibkan atas kamu berpuasa”, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menggunakan kata furida atau wujiba, tetapi menggunakan kata kutiba dalam arti an-naqsyu ‘ala al hajar, mengukir di atas batu. Dengan kalimat tersebut dimaksud agar shaum betul-betul membekas dalam jiwa yang pengaruhnya mampu mengukir karakter atau kepribadian orang yang berpuasa.

Shaum juga berarti alimsaaku artinya menahan diri atau pengendalian diri dari perkara yang tidak terpuji. Orang yang berpuasa adalah orang yang terlatih dalam hal pengendalian diri, matang dalam berpikir, bijak dan hati-hati dalam bertindak, tidak grusa-grusu.

Kama kutiba ‘alalladzina min qoblikum, seperti yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, artinya puasa tidak bisa lepas dari manusia. Baik manusia dulu maupun manusia sekarang bahkan manusia akan datang. Jika ingin tetap exis mempertahankan dirinya dan terangkat martabatnya sebagai manusia yang mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka harus menjalani prosesi kematangan diri yang disebut shaum atau puasa.

La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, sebatas ceremonial tahunan, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan bena, maka shaumnya sia-sisa. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Artinya: “Beberapa dari banyak orang yang berpuasa hasil yang diperoleh dari puasanya hanya lapar dan dahaga saja. Dan beberapa banyak dari orang yang shalat malam hasil yang diperoleh hanya berjaga malam saja.” (H.R. Ibnu Khuzaimah dan Ath-Thabrani)

Untuk itulah, hendaknya kita memahami hakikat dan adabiyah dari perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan shaum yang tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang beriman hari ini, melainkan juga kepada manusia terdahulu.

ADABIYAH SHAUM

Untuk melakukan shaum yang berkualitas, perlu memperhatikan adabiyah shaum antara lain sebagai berikut:

Pertama, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak shaum, seperti mengumpat, menggunjing, mencela, memaki, dan sebagainya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan zur (dusta, umpat, fitnah, dan perkataan yang menimbulkan murka Allah, permusuhan) dan tidak meninggalkan pekerjaan itu serta sikap jahil, maka tak ada hajat bagi Allah, ia meninggalkan makan dan minumnya.” (H.R. Bukhari)

Kedua, tidak rakus dengan memperbanyak berbagai macam makanan dan minuman di kala berbuka dan bersahur.

Ketiga, tidak banyak tidur di siang hari, tetap tetap beraktivitas dan meningkatkan ibadah dan amal sholeh.

Keempat, menahan hati dan pikiran dari angan-angan dan keinginan-keinginan yang rendah apalagi tidak terpuji.

Kelima, mentafakuri dahsyatnya lapar dan dahaga serta sengsaranya hari kiamat yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.

Keenam, menumbuhkan kepekaan iman, ketajaman penglihatan mata hati, dan rasa harap-harap cemas apakah shaum kita diterima atau ditolak.

ATSAARUS SHIYAM (pengaruh puasa)

Jika puasa kita lakukan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasulullah ﷺ maka puasa akan berpengaruh dan memberi sibghah terhadap karakter dan mampu mewarnai sikap dan perilaku:

Pertama: Dengan Imanan wahtisaban menciptakan iklim kondusif bagi hubungan seorang hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hubungan sosial yang harmonis. Dan ini menjadi sumber segala keutamaan dan kemaslahatan. Keikhlasan dan kejujuran hanya muncul bila seseorang mampu menghubungkan jiwanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga di manapun dia selalu merasa dikontrol, diawasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Karena itulah puasa sarat akan makna yang berdimensi nilai spiritual dan sosial yang tinggi, mulia, dan suci. Al-Quran menyebut sebagai Hablum minallah wahablum minannas. Dengan dua hal tersebut manusia terangkat harkat dan martabat diri dan terjaga dari kehinaan di mata Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Q.S. Ali Imran [3]: 112)

Karena manusia mulia disebabkan iman dan taqwanya. Manusia berkualitas karena amal baik terhadap sesamanya. Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan hartamu, tetapi Allah akan melihat pada hati dan amalmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kedua: Puasa dengan karakternya akan menyentuh relung hati nurani, menggugah rasa cinta kasih terhadap sesama dan membangkitkan ketulusan jiwa yang melahirkan sikap itsariyah atau altruisme yaitu sikap tenggang rasa, kepekaan sosial dalam kebersamaan serta rela berkorban untuk peduli dan kebahagiaan orang lain dengan simpati dan empati. Dan hebatnya lagi dilakukan atas dasar mahabbah lillahi ta’ala tanpa pamrih. Dan hendaknya sifat ini tertanam dalam jiwa sekurang-kurangnya untuk sebelas bulan kemudian, bukan sebaliknya, selepas Ramadhan menjadi sepi kembali. Jika ini terjadi, harus kita renungkan hasil shaum yang kita laksanakan selama ini!

Ketiga: Puasa menurut penelitian para psikolog dan kenyataan membuktikan, bahwa puasa mampu mengembangkan superego (nafsul muthmainnah). Kematangan emosional dan pengendalian diri dalam segala keadaan baik senang maupun susah, lapang maupun sempit tetap stabil. Tidak meledak-ledak seperti petasan atau merajuk-rajuk gelap mata dalam keputus-asaan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan kematangan superego atau nafsul muthmainnah ini menjadi produk puasa inilah yang mampu mengikis emosional yang destruktif, egoisme, dan arogan.

Sayang seribu kali sayang keutamaan dari karakter Ramadhan pun hanya indah di bulan Ramadhan, tetapi kemudian perlahan-lahan pudar bersama berlalunya Ramadhan. Astaghfirullah..

Keempat: Puasa yang benar dengan segala adabiyahnya ini akan memberikan terapi terhadap berbagai macam penyakit sosial. Seperti akibat buruk dari falsafah sekuler, liberalisme, hedonisme, eksistensialisme dari barat yang diekspor ke berbagai Negara muslim termasuk Indonesia, sehingga umat Islam meninggalkan syareat agamanya dan cenderung menjadi penganut mereka yang permissive society, masyarakat bebas nilai jor-joran semau gue.

Kita merasakan betul keprihatinan berjangkitnya penyakit sosial yang sudah menjadi wabah bahkan epidemi, seperti korupsi, manipulasi, prostitusi, aborsi, mutilasi, dan ekstasi. Subhanallah!

Ini semua adalah produk dari manusia yang jiwanya sakit, nuraninya mati, karena kufur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Banyak orang pintar keblinger, banyak orang kaya harta miskin jiwa, banyak orang berpangkat tinggi tetapi martabatnya rendah. Banyak orang pandai bersolek mempercantik diri menjadi tampan dan cantik tapi hatinya busuk dan keji. Naudzubillahi mindzalik.

Upaya memperbaiki keadaan seperti itu, harus diperbaiki manusianya. Manusia hanya bisa diperbaiki dengan konsep dan cara-cara yang datang dari yang menciptakan manusia yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegaskan bahwa manusia yang hidup itu punya jiwa, nafsu dan syahwat. Sedang nafsu dan syahwat itu hanya bisa dikendalikan oleh shaum atau puasa bukan dengan yang lain.

KESIMPULAN

Dari sedikit uraian di atas kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa: Shaum atau puasa adalah ibadah khusus yang berdimensi spiritual dengan ibadatur sirri mampu menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya iman dan ihsan yang menjadi inti dan sumber segala kebajikan dan keutamaan manusia. Membangun karakter dan kepribadian mukmin sejati yang bertanggungjawab terhadap segala ucapan dan amal perbuatannya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia.

Hidup itu memberi, bukan mereguk dan meraup apa yang ada dengan keserakahan. Seperti tamtsil sebuah pohon. (Q.S. Al-Fath [48]: 29 dan Q.S. Ibrahim [14]: 24–25).

Akarnya menghujam ke bumi, teguh pendirian di atas aqidah Laa ilaaha illallah. Batangnya tegak di atas aqidah, tabah dan tegar menghadapi problem dan masalah. Daunnya rimbun, indah, sejuk dan menyejukkan. Siapapun dekat dan berlindung di bawah naungan akhlak pribadinya akan merasakan anggun, aman dan nyaman. Memberi buah setiap musim tanpa diminta. Dari pribadinya mengalir kebajikan dan keutamaan tiada henti sepanjang hayat di kandung badan.

Inilah jati diri rijalul mu’minin yang dicelup oleh celupan Ramadhan yang diberkati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sami’na wa atha’na terhadap segala perintah dan titah Allah (Q.S. An-Nur [24]: 51). Tulus dan ikhlas mengabdi tanpa pamrih (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5). Menempatkan skala prioritas Allah, Rasul dan jihad di atas segalanya (Q.S. At-Taubah [9]: 24). Hidup terpimpin, taat, tertib dan disiplin dalam satu kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian (Q.S. Al-Maidah [5]: 55-56 /An-Nisa [4]: 59)

Bisakah kita mendapatkan fadhilah Ramadhan pada tahun ini? Tergantung bagaimana kita memanfaatkan moment penting bulan mulia dan suci yang penuh barokah ini.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّابِ

(A/R1/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.