Rahasia Menasihati Amir

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Amir atau pemimpin bukan seorang Nabi apalagi malaikat. Pemimpin, adalah manusia yang terkadang salah, kadang benar, kadang emosi kadang juga egois. Semua sifat-sifat baik dan buruk itu dimiliki oleh manusia. Namun demikian, menasihati pemimpin berarti membantunya dalam menegakkan kebenaran. Menaatinya dalam kebenaran, mengingatkannya dengan cara lembut dan sopan terhadap hak-hak umat dan tidak melakukan pemberontakan.

Imam Nawawi berkata, “Menasihati para pemimpin berarti menolong mereka untuk menjalankan kebenaran, mentaati mereka dalam kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut terhadap kesalahan yang mereka perbuat, memperingatkan kelalaian mereka terhadap hak-hak kaum muslimin, tidak melakukan pemberontakan dan membantu untuk menumbuhkan situasi dan kondisi yang aman.”

Imam Al Khattaby berkata bahwa termasuk nasihat terhadap pemimpin adalah shalat berjamaah di belakang mereka, jihad bersama mereka, membayar zakat kepada mereka, tidak keluar dari menaati mereka tatkala terjadi penyelewengan dan kezhaliman, tidak memuji secara dusta atau cari muka, ABS (asal bapak senang) dan selalu mendoakan kebaikan untuk mereka.

Nasihat yang paling penting adalah mendatangi mereka dalam rangka menyampaikan kekurangan dan kebutuhan umat serta menjelaskan kelemahan para bithonah (pembantu)nya khususnya hal-hal yang berdampak negatif bagi umat. Mengingatkan agar takut kepada dan hari akhirat, mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang tentang kemungkaran serta mendorong mereka agar hidup sederhana dan wara’.

Jenis Pemimpin

Para pemimpin kaum muslimin terbagi dua. Pertama, pemimpin fajir  (jahat). Ia hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka, perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kezaliman dan tidak segan-segan menindas siapa saja yang mencoba untuk menggoyang kekuasaannya meskipun dia melanggar syari’at. Tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap harta baitul maal.

Rusaknya para pemimpin antara lain karena; lemahnya pengamalan prinsip syariat, senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka, sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan, bithonah dan penasihat kepercayaan yang tidak baik atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu kepercayaan. Selain itu, menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa pahlawan dan ihklas, diktator dalam mengendalikan kekuasaan, terpengaruh dengan sistim negara-negara kafir dan meninggalkan sistem Islam.

Pemimpin yang adil lagi bijaksana. Artinya selalu mendahulukan kebenaran dan kepentingan umum, sungguh-sungguh dalam menerapkan syariat Islam dan sangat adil lagi bijaksana dalam memberikan hak-hak umat serta hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam membelanjakan harta negara.

Cara Menasihati

Islam memiliki etika tersendiri yang tidak boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin secara umum perlu memakai kaedah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaedah dan etikanya.

Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat itu, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” (HR. Imam Ahmad).

Sangat tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga menimbulkan banyak fitnah. Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin ‘Affan bukan dengan cara mencaci-makinya di tempat umum atau mimbar. Imam Ibnu Hajar berkata bahwa Usamah telah menasihati ‘Ustman bin ‘Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata bahwa siapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah menasihati dan menghiasainya dan siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka dia telah mempermalukan dan merusaknya. Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Menasihati seorang pemimpin harus berangkat dari sebuah kepahaman tentang hal apa yang akan dinasihatinya. Karena itu, orang yang akan menasihati pemimpin hendaknya memiliki bekal antara lain;

Pertama, harus ikhlas dalam memberi nasihat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Abdullah bin Amr, “Wahai Abdullah bin Amr jika kamu berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas dan jika kamu berperang karena riya’, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang riya’ dan ingin dipuji.” (HR. Abu Daud).

Kedua, mendahulukan sikap kejujuran dan keberanian. Seorang yang ingin menasihati pemimpin hendaknya bersikap jujur dan pemberani sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud).

Cara Orang Shalih Menasihati Pemimpin Shalih

Dikisahkan bahwa seorang Arab pedalaman (Badui) datang kepada Sulaiman bin Abdul Malik rh, dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku akan mengatakan suatu perkataan kepadamu, terimalah sekalipun engkau tidak menyukainya karena di belakangnya ada sesuatu yang engkau inginkan bila engkau sudi menerimanya.”

Sulaiman menjawab, “Katakan.” Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau dikelilingi oleh orang-orang yang membeli duniamu dengan agama mereka, ridhamu dengan amarah Rabb mereka, takut kepadamu dalam hak-hak Allah dan tidak takut kepada Allah berkaitan denganmu, menghancurkan akhirat dan memakmurkan dunia, tunduk kepada dunia.

Maka jangan memercayai mereka atas apa yang Allah amanatkan kepadamu, karena mereka tidak memperhatikan amanat selain menyia-nyiakannya, padahal engkau bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, jangan memperbaiki dunia mereka dengan merusak akhiratmu. Sesungguhnya manusia paling merugi adalah orang yang menjual akhiratnya dengan dunia orang lain.”

Sulaiman berkata, “Engkau benar-benar telah menghunus lisanmu yang ternyata lebih tajam daripada pedangmu.” Dia menjawab, “Tidak salah wahai Amirul Mukminin, untuk kebaikanmu, bukan keburukanmu.”

Sulaiman bertanya, “Adakah hajat pada dirimu yang hendak engkau sampaikan kepada kami?.”

Dia menjawab, “Kalau khusus untuk diriku, bukan umum sebagaimana masyarakat banyak, maka tidak.” Kemudian ia bangkit dan keluar.

Sulaiman berkata, “Mengagumkan, betapa mulia asal-usulnya, betapa kuat hatinya, betapa derasnya lidahnya, betapa jujur niatnya dan betapa bersih jiwanya. Demikian seharusnya kemuliaan dan akal.” Wallahu’alam.(R02/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.