Oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation*
Ada satu argumen yang seringkali dilemparkan oleh pendukung atau pembela kaum Luth. Bahwa kecenderungan menjadi homo atau lesbi memang disebabkan oleh genetik sejak lahir. Itu di satu sisi.
Di sisi lain, mereka menyebutkan bahwa kecenderungan homo atau lesbi itu bukan penyakit, dan bukan pula karena pengaruh lingkungan (pergaulan). Tapi lebih kepada “variasi preferensi seksual” manusia.
Saya akan mencoba merespon kepada kedua argumentasi tersebut. Tentu tanpa tendensi menghakimi orang lain. Toh dalam dunia yang terbangun di atas keterbukaan, khususnya informasi, perbedaan ide, pendapat, bahkan pilihan iman, adalah lumrah.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Lingkungan vs Preferensi Seksual
Saya memulai dari argumentasi yang mengatakan bahwa kecenderungan homo dan lesbi bukan penyelewengan seksual yang diakibatkan oleh salah satunya lingkungan dan/atau pergaulan. Tapi lebih kepada variasi preferensi seksual.
Saya tidak memahami istilah variasi preferensi seksual itu, jika memang terbawa lahir. Sebab baik kata “variasi” ataupun “preferensi” bernuansa “pilihan” dan bukan bawaan.
Artinya istilah “variasi preferensi seksual” yang diyakini sebagai alami terbawa sejak lahir adalah sangat aneh. Saya tidak membawa lahir untuk menyukai “coto Mangkasara”. Tapi karena saya lahir di daerah Sul-Sel maka saya menjadikannya sebagai “preferred” (preference) makanan saya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Oleh karenanya jika kecenderungan homo dan lesbi itu karena variasi preferensi seksual maka itu bukan hal yang terbawa lahir. Tapi lebih kepada ditumbuhkan oleh suasana sekitar, lingkungan atau pergaulan.
Saya masih teringat ketika pertama kali saya membeli durian di New York. Saya makan durian itu di depan teman Amerika. Dia hampir muntah karena tidak tahan dengan baunya. Saya membujuk agar menutup hidung mencobanya. Singkat cerita teman itu kini doyan durian.
Saya bisa mengatakan bahwa dia telah menjadikan durian sebagai variasi preferensi taste-nya. Dan itu karena lingkungan pergaulannya dengan orang-orang Asia.
Maka argumentasi yang mengatakan bahwa kecenderungan homo dan lesbi itu bawaan dan variasi preferensi seksual dan bukan penularan adalah argumentasi yang bertolak belakang.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Bayangkan di kota New York, di akhir pekan di bagian bawah Manhattan ada tempat yang disebut East dan West village. Ribuan mereka yang mengaku gay (pria wanita) menjalai akhir pekan mereka.
Dari sekitar 8 juta penduduk Kota New York, masuk akalkah ribuan di antaranya terlahir dalam keadaan demikian? Kenapa mereka semakin bertambah setelah pergaulan itu dinyatakan lumrah atau bahkan menjadi HAM dan kebebasan?
Jawabannya karena pergaulan itulah yang ditopang oleh rasa ketidakpuasan dalam hidup menjadikannya berkembang pesat.
Tidak Tersembuhkan
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Betulkah kecenderungan homo dan lesbi tidak dapat dirubah? Betulkah jika upaya pengobatam atau penyembuhan itu adalah sia-sia?
Saya ingin menyebutkan dua kasus bagaimana seorang pria sejati berubah menjadi gay. Dan seorang yang pernah mengaku gay berubah menjadi seorang suami dan ayah.
Mungkin banyak yang kenal Jim Mcgreevey, mantan gubernur New Jersey di AS. Setelah bertahun-tahun menjadi seorang politisi sukses, seorang suami yang ideal dengan tiga anak, tiba-tiba mengumumkan jika dirinya adalah seorang gay.
Setelah diteliti secara dekat oleh beberapa kolega di New Jersey ternyata perubahan suami dan ayah tiga putri yang cantik-cantik itu disebabkan oleh pergaulannya dengan salah seorang asistennya yang juga gay.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Dengan demikian Jim berubah preferensi seksualnya ketika sering bergaul dengan seorang gay. Mungkin terbiasa di bawah ke dunia itu dan mengalami pengalaman baru dalam suasana ketidakpuasan hidup. Dia pun harus mengakhiri karirnya sebagai politisi yang briliant.
Cerita lain adalah murid saya sendiri. Cerita ini bukan baru karena sering saya ceritakan di mana-mana.
Beberapa tahun lalu saya ditelepon oleh seorang sopir limo di Kota New York. Menurutnya ada pelanggang mobil dia yang ingin belajar Islam. Saya meminta dia agar datang ke masjid.
Di suatu hari datangkah orang itu. Orang putih tinggi besar dan bertato. Setelah duduk saya tanya kenapa mau belajar Islam? Dia mengatakan karena dia ingin jalan hidup yang menuntunnya dalam 24 jam 7 hari.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Dia beragama Budha saat itu. Walaupun lahir Katolik, lalu pindah Protestan, dan akhirnya masuk Budha. Bahkan ketika datang ke saya dia berpakaian biksu untuk tujuan menghargai saya sebagai Imam.
Singkat cerita saya menjelaskan bagaimana Islam menuntun hidup manusia dalam 24 jam sehari semalam.
Baru beberapa menit dia memotong saya dan bertanya: apakah benar saya bisa diterima sebagai Muslim?
Saya jawab: semua manusia dirangkul oleh Islam dan semua memiliki peluang yang sama untuk menjadi yang terbaik.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Saya kemudian lanjut menjelaskan tuntunan Islam. Tapi dia memotong saya lagi: are you sure I can be accepted in Islam?
Karena terkejut saya tanya: kenapa bertanya demikian?
“Because I am a gay” jawabnya jujur.
Saya lalu bertanya kepadanya: sejak kapan anda merasakan seperti itu? Apakah sejak kecil?
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Dia diam sejenak lalu mengatakan: tidak. Saya gay baru ketika memulai bisnis saya.
Apa bisnis anda? Tanya saya. Ternyata dia adalah event organizer dalam bidang fashion show. Pergaulannya di dunia model yang menjadikannya memiliki kecenderungan seperti itu.
Singkat cerita saya katakan: menjadi Muslim bukan sekedar pindah agama. Tapi mau melakukan perubahan. Dan anda pernah berubah. Maukah anda berubah?
Dia jawab dengan tegas: Yes, I will.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Alhamdulillah, setelah masuk Islam, dua bulan kemudian di bulan Ramadan dia menelepon saya memberitahu kalau dia puasa dan merasakan ketenangan.
Setahun kemudian di musim haji saya kembali mendapat telepon menyampaikan kalau dia lagi di Maroko untuk melamar calon isterinya. Dia rupanya diam-diam mencari jodoh lewat biro jodoh di internet.
Alhamdulillah, teman kita ini sudah berkeluarga dan berbahagia.
Penutup
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Tidak ada di dunia ini yang tidak bisa berubah. Apalagi itu adalah bagian dari preferensi gaya hidup. Saya memang kurang mengerti dengan mereka yang membela homo dan lesbi. Di satu sisi meninggikan “kemampuan manusia untuk menentukan pilihan”. Tapi di sisi lain mereka berargumen seolah kaum homo dan lesbi itu tunduk patuh pada ketentuan lahir.
Di dunia ini memang banyak paradoks!
New York, 16 Pebruari 2016 (R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*) Shamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan. Shamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).