SURIAH DIBALIK ALIANSI KANAN DAN ALIANSI KIRI

Ilustrasi: Inet

Oleh Rifa Arifin, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baru-baru ini, bank data Genocide in Syria merilis jumlah warga sipil akibat serangan senjata kimia dan bom TNT, korban gugur mencapai 300.000 jiwa, korban luka-luka 1,2 juta orang, dan pengungsi mencapai 11 juta orang, ironisnya setiap menit korban selalu bertambah.

UNHCR melaporkan bahwa korban tewas dalam perang sipil di Suriah sudah mencapai angka 60 ribu jiwa. Lembaga pengawas HAM di Suriah menyatakan korban sudah melampaui 49 ribu jiwa. Laporan itu, kendati pun berbeda, tetap menunjukkan bahwa rezim Bashar al-Assad sungguh brutal.

Masyarakat internasional sampai kini belum mampu berbuat banyak. Masyhur diketahui, Suriah merupakan medan perang proxy: menyeret kembali para aktor politik dunia ke dalam era semacam Perang Dingin antara kubu (dengan aliansi Cina-Iran-Hizbullah Lebanon) melawan Amerika (dengan aliansi Uni Eropa-Israel-Liga Arab).

Secara umum, ada dua faktor yang menyebabkan krisis Suriah ini tak juga menemukan titik usai. Pertama, dari sisi internal, adalah keterbelahan faksi oposisi.

Memang sudah dibentuk Koalisi Nasional yang diharapkan bisa memayungi semua kelompok oposisi, namun prakarsa itu belum banyak berbuah hasil. Koalisi ini dianggap sebagai metamorfosis Dewan Nasional Suriah (SNC), oposisi yang berbasis di Istanbul, yang cenderung menghendaki pemberontakan militer untuk menumbangkan Assad dan dikabarkan ikut ditunggangi kelompok teroris, Jabhat an-Nushrah. Koalisi ini berlawanan dengan kehendak oposisi di Damaskus sendiri, misalnya Badan Koordinasi Nasional (NCB), yang lebih mengutamakan negosiasi dan konsesi.

Kedua, dari sisi eksternal, adalah pembelaan Rusa-Cina-Iran di berbagai forum internasional. Selama kubu ini belum bisa dilunakkan maka jalan menuju negosiasi dan konsesi politik antara rezim Assad dengan oposisi tak bisa dibentangkan.

Politik internasional yang menjadi manuver Rusia bercorak non-intervensionis. Posisi tegas Rusia adalah biarkan rakyat Suriah menentukan nasibnya sendiri. Meskipun pada akhirnya harus ada reformasi dengan membentuk pemerintahan transisi, Rusia tetap bersikeras rezim Assad mesti terlibat. Menlu Rusia Sergei Lavrov belum lama ini menyatakan, Assad tidak akan mau undur diri sebab yang ia inginkan adalah konsesi politik, bukan untuk hengkang dari kuasa; sebagaimana kemauan mayoritas oposisi.

Dalam aras eksternal ini, solusi yang diteriakkan lantang oleh komunitas internasional adalah bagaimana bisa menembus persekutuan Suriah-Rusia itu. Demi penghentian , dunia mengharapkan Rusia mau melunak. Ini bukan usaha yang mudah. Pertalian Rusia-Suriah bukan sekedar hubungan perdagangan dan persenjataan yang terbangun sejak masa Hafez al-Assad, atau adanya pangkalan militer Rusia di Tarsus. Tetapi, lebih dari itu, hubungan Rusia-Suriah sarat dengan dimensi ideologis.

Aliansi Kiri

Kubu perlawanan yang menyatukan Moskow-Beijing-Teheran-Damaskus itu disebut dalam harian Al-Hayat, al-Yasar al-Gharbiy wa an-Nizham as-Suriyy, sebagai “aliansi kiri”. Ke-kiri-an ini sudah memiliki akar sejarah sejak masa mandat Inggris-Prancis menguasai Timur Tengah, sebelum terbentuknya negara Israel.

Hubungan itu mulai kukuh terjalin setelah Perang 1967, dan semakin menyatu erat ketika perjanjian Oslo 1993 antara Israel dengan Otoritas Palestina (PLO) disepakati. Sejak itu, aliansi kiri bertambah “anggota”, yakni Hamas Palestina, dan tegak dengan satu tujuan: melawan neo-imperialisme Barat.

Dengan citra ideologi perlawanan ini lalu muncul kesan bahwa sesungguhnya bukan mereka yang merepesi, justru merekalah yang membentengi Arab dari dominasi Barat. Kesan inilah yang dipropagandakan Assad ke dunia internasional dan relatif berhasil untuk memecah kelompok-kelompok oposisi. Assad kerap menyuarakan peringatan bahwa kaum oposisi ditunggangi oleh dua kelompok berbahaya: teroris (Al-Qaeda) dan penjajah (Barat-Israel).

Betapa pun demikian, seiring dengan semakin ganasnya rezim Assad membantai rakyatnya sendiri, aliansi kiri itu akan semakin tercoreng citranya. Rezim Assad bahkan kini sudah mengalami defisit politik secara drastis. Pertama dengan pembelotan banyak pejabatnya. Kedua, dengan derasnya kecaman internasional kepadanya.

Kecaman internasional itu bukan saja mengenai Assad, melainkan juga ke para “anggota” aliansi kiri. Rusia didesak untuk segera melepaskan mitra strategisnya di Timur Tengah itu. Sebab, jika tidak, manuver Rusia di Suriah itu akan mencoreng citra negara itu sendiri.

Terlebih, keterlibatan Rusia semakin menjadi setelah kunjungan Assad ke Moskow bulan lalu, yang isi pembahasannya lebih mengerucut bahwa Barat dan sekutunya tidak efektif dalam menyelesaikan konflik ISIS di negaranya. Dengan itu, Rusia pun semakin menjadi-jadi memborbardir kawasan ISIS dan kawasan “ aliansi kanan “ , bahkan Turki diprediksikan akan terlibat dalam prahara ini setelah menembak jatuh pesawat tempur Su-24 yang diklaim melewati batas regional negaranya. Kendatipun demikian, Rusia menegaskan ini adalah tusukan dari belakang.

Alhasil, semakin ganas Assad bersikeras bertahan, cepat atau lambat, akan semakin keras tekanan dunia ke Rusia. Pada akhirnya, jika bukan Assad yang akan bernasib seperti Qadhafi, maka Rusia yang akan dipaksa untuk melakukan konsesi politik dengan “aliansi kanan”. Ini mesti diantisipasi oleh Rusia, sekalipun berkali-kali melalui Menlunya Rusia menyatakan ” tidak mau” mengintervensi urusan dalam negeri Suriah.

Konsesi yang kini coba diupayakan adalah membentuk pemerintahan transisi dengan tetap menyertakan anasir dari rezim lama. Konsesi ini untuk sementara dipandang sebagai jalan tengah dan dianggap bisa meminimalisasi dampak polarisasi sektarian yang akan terjadi jika nantinya Assad harus melepaskan kekuasaannya. (P013/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0